Amarah Bunga

“Berarti kalau emang kurang peka, itu bisa membuat orang jadi kelihatan bego, ya?” tanya Nay polos.

“Yah, bisa jadi,” jawab Lili. Sesekali dia minum seteguk es teh yang terasa segar sekali di tenggorokannya.

“Eh, Bunga mana? Barusan dia duduk di sini.” Mata Prety mengerdar ke seluruh sudut resto. Baru sekejap saja dia sudah menghilang tanpa jejak. Tetapi, tas ranselnya masih di samping Nay.

“Iya, nih. Kemana dia ngilangnya?” Nay mendongakkan kepalanya. Melepaskan sedotan di mulutnya.

“ Tit, kamu tahu nggak kemana Bunga?”

“Ke kamar mandi. Tadi ke arah situ, tuh. Makanya, jangan ngomong melulu,” jawab Titian ketus. Dia menjawab tanpa memandang yang bertanya. Masih asik sendiri dengan yang dibacanya.

“Hih, tadi nggak langsung jawab kalau kamu tahu.” Nay memukul paha Titian dengan dengan tasnya. Tetapi, Titian tetap tidak mau peduli. Wajahnya selalu kelihatan datar dan santai. Tetapi, justru karena itulah kadang teman-teman yang lain geregetan dengan sikapnya.

“Salah sendiri nggak nanya.” Dia berlalu dalam kenikmatan alunan musik pop barat yang disukainya. Kepalanya terus manggut-manggut mengikuti irama lagu yang asik. Biasanya, sih, soundtrack film-film yang membuatnya baper begitu.

“Hih, Titian. Kenapa, sih, aku harus ketemu sama teman model kayak kamu? Nyebelin setengah mati.” Nay mengunyah makanan di mulutnya dengan cepat. Garpu di tangan kirinya menusuk-nusuk daging di piringnya.

Brak! Auh!

Seorang laki-laki tiba-tiba berteriak mengaduh kesakitan. Semua orang di resto spontan menoleh kanan kiri memastikan apa yang terjadi. Tetapi, di tempat makan tidak terjadi apa-apa.

“Apaan, tuh?” tanya Prety.

Nay dan Lili menaikkan pundaknya. Mereka berdua juga tidak tahu.

“Alah, pasti cuma orang iseng,” jawab Nay.

“Sebentar. Bunga kenapa lama banget di kamar mandinya, sih?” tanya Prety khawatir.

“Jangan-jangan.” Lili respek mengangkat kepalanya. Dia tidak jadi menghabiskan minumannya yang tinggal sedikit. Tiba-tiba dia menduga Bunga sedang berbuat keributan dengan orang yang berteriak itu.

“Gawat. Ayo kita lihat ke kamar mandi, Prety, Nay, Tit!” Lili mencengkeram paha Nay.

Nay, Lili, dan Prety lantas buru-buru ke kamar mandi. Mereka bertiga langsung paham dengan maksud Lili. Pasti Bunga sedang membuat ulah. Kecuali Titian yang tidak mau ikut-ikutan ke kamar mandi.

“Bung, apa yang kamu lakukan. Jangan!” teriak Nay kencang. Dia menghampiri Bunga dan melepas kasar tangan Bunga di leher laki-laki itu.

“Kenapa, sih, kamu emosi? Ada apa? Ada apa? Selesaikan dengan kepala dingin kalau ada masalah. Jangan gunakan tanganmu ini untuk menyelesaikan semuanya.” Nay mencengkeram kuat lengan Bunga. Dia menahan supaya Bunga tidak lagi menghabisi laki-laki itu sendirian. Akan terjadi bahaya dan Bunga bisa celaka kalau Bunga tidak lekas mengendalikan emosinya.

“Tanya sendiri sama dia,” jawab laki-laki itu kasar. Dia membenahi kerah bajunya yang berantakan. Laki-laki itu tampak kesal sekali. Dia memandang Bunga dengan sorot mata penuh benci.

Nay menatap perempuan yang sedang berdiri bersandar di tembok menatap lemah laki-laki itu. Dilihatnya Perempuan itu sendiri sedang khawatir ketakutan dengan meremas jemarinya.

“Oh, karena cewek itu masalahnya,” seru Lili langsung menyimpulkan permasalahan. Dia berjalan pelan menghampiri laki-laki itu dan menatapnya seolah sedang mengancam. Laki-laki itupun berdehem. Kakinya sedikit berjalan mundur. Pelan-pelan Lili mengangkat tangannya ke arah wajah laki-laki itu.

“Lil, kamu yakin?” tanya Bunga. Dia berpikir kalau Lili akan ikut menghabisi laki-laki itu juga.

Suasana hening dan tegang. Laki-laki itu tampak lebih tegang. Urat lehernya kaku dan terangkat.

“Mas, jangan kasar-kasar kalau sama perempuan,”

Ngiek.

Nay dan Prety langsung nyengir. Mengaduh. Terlebih Bunga spontan melongo.

Lili malah kemudian senyum-senyum menatap laki-laki itu. Yah, itu hanya salah satu triknya untuk menggertak laki-laki. Dia bisa berperan seakan-akan dia bisa mengancam orang dan seperti akan menghabisinya di tempat.

“Lil, kamu malu-maluin kita.” Nay menghentakkan kakinya. Dia menyeret lengan Lili.

“Jangan suka mencampuri urusan orang lain. Emang lo siapa?” Laki-laki itu kembali marah. Dia benci kalau urusan pribadinya harus dicampurtangani orang lain.

“Dasar lo laki-laki nggak punya perasaan. Beraninya cuma mukulin cewek. Heh, tampang-tampang lo, tuh, emang tampang cupu. Cowok nggak bermutu. Gue lihat dengan mata gue sendiri kalau lo mukul pipi cewek itu. Lo siapanya dia? Pacar? Iya. Terus lo sok bisa berkuasa atas cewek itu? Nggak. Lo nggak bisa seenaknya memperlakukan dia,” teriak Bunga. Panas. Darah tinggi. Bunga sedang mengeluarkan emosinya. Sifat Bunga yang sesungguhnya itu tampak serius dan amarahnya kedengaran mengerikan.

“Eghem.” Laki-laki itu berdehem. Sepertinya laki-laki itu masih mencari-cari alasan. Tenggorokannya naik turun. Gerak-gerik bola matanya menandakan kalau dia laki-laki yang tidak baik.

“Terus, terus lo mau apa? Pukul kalau lo emang pengen mukul gue.” Laki-laki itu berjalan ke depan sambil membusung-busungkan dadanya. Karena tidak tahan dengan sikapnya, Bunga melepaskan genggaman Nay dan meninju pipi itu sampai meninggalkan bekas merah dan darah di sudur bibir. Satu kali laki-laki masih sok kebanyakan gaya. Sekali lagi Bunga meninju lebih kuat.

“Auh, hebat juga. Anak cecungut sudah berlagak sok jago.” Mendengus. Laki-laki itu tersenyum sinis. Menyeka perlahan darah di bibirnya. Meludah.

”Gue tertarik sama cewek model kaya lo.”

“Apa kamu bilang? Dasar kamu cowok kurang ajar.” Mata perempuan itu melotot selebar-lebarnya. Sekali lagi laki-laki itu kena tamparan maut dari pacarnya yang langsung meninggalkan dia begitu saja.

“Rasain lo. Pergi nggak? Kalau nggak mau nih gue bogem lagi. Haa?” Bunga sudah menyiapkan kepalan tangannya lagi.

“Udahan, Bung. Kamu, tuh, cuma ngabisin waktu aja ngurus cowok brengsek kaya dia,” sergah Prety sembari ikut menahan amarah Bunga.

“Awas lo, bakalan gue bales.” Laki-laki itu beringsut pergi dan dia meninggalkan tatapan kebencian pada Bunga.

Dengan wajah santai dan tanpa ada rasa bersalah dan khawatir, justru Nay, Lili, dan Prety yang ngiris, Bunga malah tersenyum senang.

“Gila kamu, Bung. Kalau nekat jangan di sini tempatnya. Kalau ada apa-apa kamu bisa minta tolong. Emangnya kamu itu anggap kita itu apa? Setan yang nggak ada wujudnya, iya, begitu maksud kamu?” Nay terus mengoceh dan cemberut, sedangkan Bunga justru tertawa terbahak-bahak melihat mereka bertiga.

Prety tak sengaja melirik ke depan dan Galih sedang berdiri di sana. Rasanya kaya ditampar saja. Galih jadi tahu dengan siapa Prety berteman. Tanpa sadar Bunga sudah memperlihatkan kejelekannya sendiri dan itu membuat Prety malu sekali.

Prety hanya menyapa Galih dengan senyum dan anggukan pelan. Agak sedikit ragu, tapi daripada tidak sama sekali. Ternyata Galih juga membalas senyuman itu. Prety bernapas lega. Setidaknya senyuman itu tak mengartikan apa-apa yang akan membuatnya khawatir. Biasanya kalau marah, wajah Galih akan terlihat kaku.

“Tenang aja, Teman. Aku, kan, hebat. Hehe,” tegas Bunga dengan percaya dirinya. Padahal sesuatu bisa saja terjadi padanya melihat dia sering mukulin orang karena pendapat dan keegoisannya sendiri. Dan karena kurangnya berpikir panjang untuk melakukan hal yang seharusnya dia lakukan dan tidak.

“Uh, keluar sombongnya,” ujar Lili keceplosan.

“Iya. Aku juga tahu, Bung. Tapi, kamu masih anggap kami teman, kan?” tanya Prety merangkul pundak Bunga. Rangkulan yang nyaman daripada merangkul teman-teman yang lainnya karena Bunga lebih pendek darinya. Bahkan, paling pendek.

“Tentu sajalah. Yups, kita teruskan makannya.”

“Awas kamu kalau macem-macem lagi, Bung. Ngeri tahu nggak. Aku nonton kamu mukulin orang gitu. Nyali kamu double berapa, sih, emangnya?” Lili masih mendecak kagum.

“Hemm, mungkin lima kali lipat nyali kamu, Lil. Makanya kapan-kapan kita ajarin Lili berantem, Teman. Biar perut buncitnya itu juga agak mendingan. Sekalian diet juga, kan?” Bunga menatap Nay dan Prety bergantian dan kemudian tertawa bersamaan.

“Eh, nggak jadi, deh. Nanti kalau dia jadi langsing jangan-jangan dia langsung di tembak sama cowok. Aku lebih suka Lili yang ngejomblo, kok. Ya nggak?”

“Apa kamu bilang? Aku lo pun..” Kalimatnya terpotong. Hampir saja Lili keceplosan karena ulah Bunga. Untungnya dia bisa ngerem. Dia hampir mengatakan rahasianya sendiri, kalau sebenarnya dia juga memiliki pacar. Pasti bukan cuma laki-laki tadi yang kena tinjunya, Lili juga. Lili cengar-cengir sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!