Weekend.
“Ke mana tempat kita selanjutnya?” tanya Bunga dengan semangat. Padahal, di tangannya sudah penuh dengan dua tas berisi baju yang usai dibeli tadi di plaza. Bukan bajunya, tetapi bajunya Nay dan Prety.
Mereka berdua memang doyan banget sama fashion, dari yang jadul sampai yang kekini-kinian. Terkadang, Nay sampai rela mengumpulkan uang demi mempercantik penampilannya. Kalau Prety memang kaya. Jadi, dia tinggal minta pasti dikasih. Apalagi, dia juga anak satu-satunya. Terkasih, tercinta, dan pastinya dia dimanja.
“Kemana lagi kalau nggak ke resto. Sepertinya perjalanan kita nggak akan lengkap kalau nggak ngisi perut dulu. Tenang aja. Aku pasti yang traktir kok, Sis,” jawab Prety sembari menyalakan mobil.
“Kamu yakin, Pret? Bahkan, setelah kejadian lusa?” bisik Nay pelan. Nay duduk tepat di belakang Prety. Prety tidak menoleh. Dia hanya memberi anggukan lewat kaca mobil.
“Dasar kalian sukanya cuma makan, terus belanja. Bung, mau juga kamu bawa baju Nay sama Prety,” kata Titian cuek tanpa merasa bersalah. Ngomong ceplas-ceplos. Dia kembali membaca novel di tangannya sambil mendengarkan musik dengan headphone.
“Aku nggak pernah ada masalah soal ini kok, Tit. Lagipula, sudah berapa lama kita kenal? Satu sama lain sudah hampir mengerti karakter masing-masing. Teman, apapun itu, aku rela melakukan untuk kalian. Teman itu kurasa jauh lebih baik setelah keluarga. Lebih dari sekedar teman yaitu sahabat. Seharusnya seperti itu, tetapi hal itu tidak berlaku untukku.”
Bunga mulai berkata sedih. Saat-saat seperti inilah dia akan merasa nyaman dengan teman-temannya. Daripada dia harus berada di rumah menyaksikan dan mendengarkan kemarahan dari orang tuanya yang tidak kunjung reda. Setiap hari selalu ada saja masalah kecil yang mereka ributkan. Telinga Bunga sudah bosan. Mata Bunga sudah jenuh. Akhirnya, kaki Bungalah yang melampiaskan ingin pergi dari rumah secepatnya. Siapa yang salah? Ibu atau ayahnya? Bunga menganggap keduanya salah. Disaat hatinya menyeruak ingin memberontak kabur dari rumah, namun disitulah dia juga masih berpikir bagaimana dia akan menjadi anak yang baik, apakah itu baik? Kalau ternyata yang salah ibunya, lalu bagaimana dengan ayahnya? Kalau yang ternyata yang salah ayahnya, bagaimana dengan ibunya? Dia juga masih terlalu sayang meninggalkan adik perempuannya, Syaila. Terkadang ada satu pertanyaan yang ingin Bunga tanyakan kepada orangtuanya. Kenapa kalian berdua bisa bersatu? pikirnya.
“Pasti nanti makanannya enak-enak kan, Pret. Aku mau pesan apa, ya?” Nay langsung mengkondisikan suasana. Dia mengalihkan pembicaraan karena dia sudah paham betul dengan kondisi keluarga Bunga. Weekend ini bukan untuk meratapi kesedihan, tetapi untuk melepas gundah dengan bersenang-senang.
“Iya, nih, Pret. Boleh nanti aku pesan dua makanan sekaligus?” tambah Lili. Dia mengerti maksud Nay barusan.
“Oke. Terserah kalian kok, hehe.”
Tibalah di resto tujuh menit kemudian.
“Ups.” Tiba-tiba Nay menutupi mulutnya. Dia meringis karena perutnya berkali-kali mengeluarkan bunyi. Dia buru-buru jalan duluan masuk ke restonya sambil cekikian menahan tawa.
“Kenapa sih, Pret, kok kamu suka banget nongkrong di resto ini? Padahal, banyak lo resto selain ini yang lebih murah dan juga lebih macam-macam menunya,” tanya Lili. Dia memegang kertas menu dan jari telunjuknya cepat sekali menunjuk makanan mana yang akan ia inginkan.
“Tit, udahan dong baca novelnya. Novel nggak bikin kenyang tahu. Cepat pilih menunya mana!” gerutu Lili. Dia menyenggol lengan Titian agak keras sampai Titian melepas headphonenya dan menatap Lili datar.
“Terserah kamu, Lil. Sama kaya yang lain aja,” jawab Titian datar. Dia kembali memasang headphonenya. Sambil senyum-senyum karena mungkin novel yang dibacanya lucu. Anehnya, justru novel yang sering membuatnya tersenyum sampai tertawa.
“Kan, resto ini spesial bagi Prety. Kenapa kalian baru nanya sekarang, sih? Telat tahu. Kan, disini ada.” Nay seketika terdiam meringis. Prety mencubit sakit sekali paha Nay. Prety memelototinya, lalu ikut meringis menatap yang lain.
“Ups. Egehmm, sory, Pret,” kata Nay berbisik. Dia sedikit malu. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Duh, hampir aja keceplosan. Kenapa, sih, ini mulut sukanya langsung nyosor aja?” Nay mengelus-elus dadanya. Berkali-kali ia menghirup udara.
“Kenapa, Nay? Gara-gara Prety asma kamu kambuh?” teriak Bunga. Orang-orang di resto pun banyak yang menoleh. Sampai Galih yang kebetulan ada di kasir juga hendak memastikan. Namun, langkahnya terhenti. Meskipun ada Prety yang ingin ditemuinya, tapi ada Lili dan Bunga yang tidak bisa ditemuinya.
“Beneran, Nay?” Prety dan Lili langsung mendekat ke Nay. Titian buru-buru melepas headphonenya dan melempar novelnya. Prety siap memegangi tangan Nay, sedangkan Lili dan Bunga mengelus-elus kepala Nay. Sedangkan, Titian masih menyeringai. Tangannya ingin menjangkau tubuh Nay, tapi ukuran mejanya terlalu lebar. Titian pun merangkak mendekat ke Nay juga.
Nay hanya terdiam dan menatap satu persatu teman-temannya yang khawatir.
“Kalian kenapa, sih? Biasa aja, tuh. Sejak kapan aku kena asma?” Nay melepas tangan Prety dan Lili. Dia malah tertawa.
“Prety, Titian, Lili, kalian itu pasti kena tipunya Bunga tahu.” Nay tertawa lebih kencang. Sontak Prety menutupi mulut Nay dengan tangannya. Dia merasa malu dan kikuk sendiri membawa teman-temannya yang terkadang bersikap aneh. Bagaimana kalau Galih juga tahu? pikirnya.
“Hih, Bunga.” Prety, Lili, dan Titian geregetan. Mereka menggerutu.
“Ya, maaf. Hehe. Aku, kan, juga cuma nebak aja, kok.” jawab Bunga sambil pura-pura tertawa. Dia cengengesan.
Ketika Galih berjalan menuju meja paling pojok, tak sengaja mata Prety berpapasan dengannya. Bertemu dalam satu kerinduan. Galih dan Prety sama-sama memberikan senyuman hangat.
“Tuhan, inikah tatapan cinta?” Prety mulai berimajinasi dan bermain dalam pikirannya. Prety terus mengawasi setiap gerak-gerik Galih dengan teliti. Mau dia jongkok, berdiri, atau duduk. Pandangan itu serasa tak mau lepas. Prety semakin menikmatinya.
“Bukan. Tetapi, itu pandangan maksiat yang berakhir dengan dosa dan siksa, Prety,” kata hatinya yang baik.
“Jika kamu rindu padanya, tetaplah memandangnya sepuas hati kamu menginginkannya. Jangan biarkan kerinduan yang datang berakhir dengan kehampaan. Rindu itu akan terobati ketika saling bertemu.” Mata batinnya yang jelek beraksi.
“Prety, dengarkan aku! Cinta yang sebenarnya ada setelah ikatan suci itu terlaksana. Jadi, jangan pernah berharap memaknai pandanganmu yang sekarang adalah cinta. Ini hanyalah dosa yang hanya akan menambah beban hidupmu terasa semakin berat.”
“Pret? Kamu kenapa, Pret?” gertak Lili keras.
“Hey, iya, kenapa? Makanannya sudah siap belum?” Prety gelagapan. Dia tidak menyadari kalau teman-temannya sudah mulai menyantap makanan.
“Pret, ini enak kok.” Nay menyuapkan sesendok puding ke mulut Prety.
“Uih. Apaan kamu, sih, Nay?” Prety memuntahkan puding itu. Ia langsung mengambil tisu di meja, lalu mengusapkan sebersih mungkin ke mulutnya. Maklum, Prety kan benci banget dengan puding yang lembek aneh begitu katanya. Makanan yang bertekstur lembek dia tidak suka.
“Makanya jangan melamun. Melamun itu juga nggak bikin perut kita tambah kenyang. Kenapa, sih? Ada sesuatu dengan cowok itu? Kelihatannya ada sesuatu gitu. Mungkin dia cakep kali ya menurut Prety. Yah, Prety, kan, sukanya emang sama yang ganteng-ganteng gitu.” Lili tertawa karena ucapannya sendiri. Kemudian, dia tersadar dengan pernyataannya.
“What?” Lili melongo. Nasi di mulutnya hampir keluar.
“Jangan-jangan emang ada sesuatu dengan Prety, di resto ini. Yap, aku mengerti,” kata Lili dalam hati.
Lili hendak memastikan itu dengan bertanya pada Prety, tapi Prety memberi isyarat dengan gelengan kepalanya. Jangan. Prety malah menunjuk-nunjuk Bunga yang asik dan lahap dengan makanan yang disantapnya. Prety tidak ingin Bunga tersadar dengan pertanyaan Lili. Jangan sampai Bunga curiga terhadap apapun.
Nay, Lili, dan Prety memandangi Bunga.
Lili masih penasaran dengan yang dipikirkannya itu benar. Dia memberi isyarat dengan membentuk kedua telapak tangannya membentuk love dan menunjuk Galih yang tiba-tiba berjalan lurus mengarah ke Prety. Prety pun tak sengaja manggut-manggut. Bibirnya meringis. Dia mengcengkram jemarinya sendiri.
“Kenapa kalian?” tanya Bunga tiba-tiba. Nay dan Lili langsung terdiam melongo seperti patung. Mereka langsung meringis dan mengedip-kedipkan mata.
“Nggak, nggak, Bung. Silakan diterusin makannya, Bung. Bercanda, kok,” jawab Nay menenangkan.
Kemudian, Bunga menatap Prety yang bertingkah aneh. Dia menoleh ke belakang menatap apa yang ditatap Prety. Masih tanda tanya. Bunga tidak mengerti apa-apa, sedangkan Nay dan Lili saling menggenggam jemari satu sama lain. Mereka berdua berharap semoga tak terjadi apa-apa. Jangan sampai Bunga mengetahui maksudnya.
Galih terus tersenyum semakin mendekat ke arah Prety. Jantung Prety semakin bertabuh kencang. Justru kemudian dia menurunkan bibir dan alisnya. Eh, ternyata Galih bukan menuju mejanya, tapi meja belakangnya. Syukurlah. Prety menghembuskan napas sekali.
“Kalian itu aneh. Jangan membuat makanan ini menjadi tidak aneh karena tingkah kalian dong.” Bunga berdecak. Menggeleng-geleng. Dia meneruskan makan. Masih ada satu piring makanan yang akan dilahapnya.
“Aduh, sebenarnya Bunga itu bego atau gimana, sih?” Nay berbisik ke telinga Lili.
“Bukannya bego, Nay. Tapi dia nggak gampang peka sama beginian. Tahu, kan, kalau dia anti pacaran,” balas Lili.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments