⚠️⚠️Demi memudahkan pembaca, bagi yang tidak memahami bahasa jawa, langsung pergi ke kata yang bertanda kurung (terjemahannya). Abaikan cetak miring. Setiap pengulangan bahasa jawa, tetap saya berikan terjemahan meskipun kata tersebut telah diulang sebelumnya.
🌹🌹🌹
Jika ada yg ditanyakan bisa tulis di kolom komentar. 😊🙏
🌷(Masuk cerita) 🌷
“Assalamu’alaikum?” Kami mengulangi lagi.
“Itu Ning Naina, Mbak. Mantunya Yai Makrus. Puinter banget. Hafalannya masyaallah apik saestu (sungguh). Dol di luar kepala.” Mbak Sayyidah berbisik ketika Ning Naina begitu kelihatan keluar dari kamar, memakai jilbabnya. Sepertinya Mbak Sayyidah mengaguminya.
Aku terpana saat didekati Ning Naina. Kulitnya kuning langsat bersih tanpa noda bekas jerawat sepertiku. Hidungnya mbangir (tidak pesek). Bibirnya nyigar jambe. Alisnya tebal dan hitam.
Aku sempat berbisik, “Gus e pintar golek bojo, Mbak.” Aku terkekeh. Lalu, kami salim menyampaikan salam ta’dzim.
Terjemah: (Gusnya pintar mencari istri, Mbak) Aku terkekeh. Lalu, kami salim menyampaikan salam ta’dzim.
“Santri baru, njeh, niki? Mlebuo, Mbak Dati! Iku banyune dicepakno sisan. Aku tak ke belakang sebentar.”
Terjemah: (Santri baru ya ini? Masuk, Mbak Dati! Itu airnya disuguh selain. Saya ke belakang sebentar)
“Ini, Mbak, minumnya.” Air mineral di keluarkan dari kardus yang masih tersegel.
“Ya, Mbak. Makasih.”
“Mbak, itu Ning Naina dijodohkan. Bukan Gus Alba yang mencari. Dapat yang gitu aja awalnya Gus Alba ndak mau nerima. Tapi, akhirnya mereka jadi pasangan yang romantis. Ke mana-mana sering berdua.”
“Hati memang begitu, Mbak.” Aku menambah.
Ning Naina kembali membawa dua toples isi rengginang dan criping pisang.
“Ki, Mbak, ro disambi yo. Saking pundi niki, Mbak e?”
Terjemah: (Ini, Mbak, sekalian disambi, ya. Dari mana ini, Mbaknya?)
“Dari Tulungagung, Ning.”
“He alhamdulillah lak cedek to yo.”
Terjemah: (Oh, alhamdulillah dekat, kan, ya)
“Enggeh, Ning." (Iya, Ning)
"Apalan targete khatam pirang tahun iki, Mbak, rencanane sampeyan?”
Terjemah: (Target hafalan selesai berapa tahun ini, Mbak, rencanamu?)
“Insyallah dua tahun.”
“Apik kui. Setahun setengah khatam luwih manteb maneh. Yowis mugo-mugo diparingi kraos kepenak. Nyaman tidak ada beban. Wis, Mbak Dati, yo. Aku tak neruske kae gaeanku.”
Terjemah: (Bagus itu. Setahun setengah selesai lebih bagus lagi. Ya sudah semoga diberikan kemudahan. Nyaman tidak ada beban. Sudah, Mbak Dati, ya. Saya mau melanjutkan pekerjaan.)
“Aamiin. Pangestune (mohon doa restunya), Ning,” jawabku dan Mbak Sayyidah tidak sengaja bersamaan. Ning Naina tangannya wangi sekali. Tapi, sebelum aku benar-benar mencium punggung tangannya, beliau terburu melepas.
Kami pun keluar.
“Kerja apaan, Mbak?”
“Ya ngaji. Gek apa lo kerjaannya Ning Naina. Lawong keluar rumah saja jarang. Hampir semua kegiatan dikerjakan di rumah. Sering keluar ketika semaan atau belanja. Nanti pasti sama Guse.”
“Oh. Kirain punya kegiatan apa gitu.”
“Tapi, ya, mestinya juga membantu Gus Alba. Soalnya Gus Alba sendiri punya bisnis online jual beli grosir yang sudah maju, Mbak. Alhamdulillah dari situ Gus Alba turut sumbangsih di pondok.”
“Mbak, Yai apa sudah sepuh sekali?”
“Yai sudah sangat sepuh. Mungkin sekarang yuswane berapa, ya...kira-kira delapan puluh lebih. Bu Nyai belum ada segitu. Tapi, jangan salah kalau Yai dan Bu Nyai ingatannya masih sangat bagus. Sek sae dengan karamah-karamahnya beliau. Sampeyan meneng wae ngoten yo, Yai paham. Banyak orang umum di wilayah sini atau luar kota datang hanya maksud silaturahmi dan sungkem ke Yai Makrus Shalih. Kalau Bu Nyai dikenal dengan manah legowo. Sabar banget. Blas tidak pernah marah ke santri-santrinya sak bandel-bandele santri. Apalane Bu Nyai drinding koyo moco koran , Mbak. Biasanya kita mengadakan acara semaan ahad kliwon. Nanti sampeyan bakal tahu sendiri.”
Terjemah: (“Yai sudah sangat sepuh. Mungkin sekarang umurnya berapa, ya...kira-kira delapan puluh lebih. Bu Nyai belum ada segitu. Tapi, jangan salah kalau Yai dan Bu Nyai ingatannya masih sangat bagus. Masih bagus dengan kezuhudan beliau. Kamu diam aja gitu, lo, Yai paham. Banyak orang umum di wilayah sini atau luar kota datang hanya maksud silaturahmi dan sungkem ke Yai Makrus Shalih. Kalau Bu Nyai dikenal dengan manah legowo. Sabar banget. Sama sekali tidak pernah marah ke santri-santrinya sak bandel-bandele santri. Hafalan Bu Nyai cepet seperti orang membaca koran. Biasanya kita mengadakan acara semaan ahad kliwon. Nanti sampeyan bakal tahu sendiri)
Dengan semua yang dikatakan Mbak Sayyidah, aku semakin penasaran bagaimana kenyataannya. Pokoknya aku dengan senang hati mengucapkan salam ta’dzimku. Hafalan dan ngalap berkah di sini semoga lancar sampai aku lulus nanti.
Sebelum salam Mbak Sayyidah menata sandal di depan. Barulah salam saat mendekati pintu.
“Assalamu’alaikum, Yai?” Kami duduk bersimpuh di depan menunggu ada orang menjawab. Kami tidak berani terlalu banyak menoleh. Banyak kang santri lalu lalang dan pasti satu dua yang lewat memperhatikan kami.
Salam kami ulangi sampai tiga kali. Remang-remang aku mendengarnya dari dalam saat kami hendak beranjak. Aku menahan tangan Mbak Sayyidah agar kembali duduk. Yang keluar Bu Nyai. Langkah pelan beliau menyuruh kami mengalah masuk dan menyalimi. Tangan hangat dan lembut itu kusentuh dengan kecupan yang agak lama. Kutatap wajah Bu Nyai dengan senyum—salam ta’dzimku padamu.
“Lingguho (duduk), Nduk," ucap bu nyai.
Aku dan Mbak Sayyidah bangkit, duduk dengan sedikit menunduk.
“Awakmu ki anak wadone Parman?" Suara sepuh itu hampir tidak terdengar.
Terjemah: (Kamu itu anak perempuannya Parman) Suara sepuh itu hampir tidak terdengar.
“Enggeh leres (iya benar), Yai.”
“Ealah. Biyen Parman tak gandoli ojo boyong disek, tapi wis kedisiken arepe rabi. Saiki piro, Nduk, tunggalmu?”
Terjemah: (Dulu, Bu Nyai melarang Parman jangan boyong dahulu, sayangnya dia buru-buru ingin menikah. Sekarang berapa saudaramu, Nduk?)
“Tigo (tiga). Kaleh adik kembar, Bu Nyai.”
“Iyo iyo. Lak apalan kui kudu tenanan. Atine kudu gathuk karo qurane ben ndang cepet nyanthol. Ndak kudu cepet, tapi sing penting apalane ora gampang ilang.”
Terjemah: (Iya ya. Kalau hafalan itu harus sungguh-sungguh. Hatinya harus terpaut dengan Alquran supaya cepat nyantol.)
“Insyaallah, Bu Nyai.” Aku terus manggut-manggut.
“Dati, ojo lali santrine anyar diopeni. Iku rodonge dibukak.”
Terjemah: (Dati, jangan lupa santri baru diurus. Itu rodongnya dibuka!)
“Njeh, njeh.” (Iya, iya)
Mbak Sayyidah selalu hafal kalau sehabis dari ndalem harus pulang membawa jajan senajan mung sak gegem . Aku disuruh menengadah. Tidak perlu lama. Kami langsung pamit kembali.
“Jenengmu sopo , Nduk?”
Terjemah: (Namamu siapa, Nduk)
Aku menoleh. “Ranaa, Bu Nyai.”
“Woh yowis (woh, ya sudah).” Bu Nyai ke dalam. Tubuhnya hilang tertutupi gorden.
“Mbak, nanti aku kasih tahu sesuatu ke sampeyan.”
Mbak Sayyidah buru-buru mendorong badanku. Malu dilihat kang-kang santri. []
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 244 Episodes
Comments
Zeeylaa To Zila
msih nyimak
2022-01-30
0
Mama Faiz👶
yg d maksud rodong apakah toples,,,soale klo d saya disebute lodhong
2021-05-27
2
liena zie
wajib sowan
neng nang pondok
2021-05-25
2