Aku bukan tipe orang yang pandai menyembunyikan apa pun. Apa saja yang terjadi padaku, semuanya bisa terbaca hanya dengan melihat wajahku. Kepulanganku dan aba dari lapak disambut uma dengan pertanyaan.
“Kamu kenapa, Kak?” Uma sedang menyusui Anda di depan pintu kamar tidur.
“Ma, Aba ngasih izin aku mondok lo. Uma gimana?” Bibir terus mengulum senyum.
“Iya boleh.” Uma langsung menjawabnya tanpa berpikir panjang lagi.
Tingkahku berubah seperti anak kecil lagi. Sungguh perasaan bahagiaku sedang meletup-letup. Tidak kusangka uma berbaik hati. Ledakan semangat itu menyentuh hingga relung hati. Hatiku menyala bahagia. Aku segera menciumi Bocilku Anda. Mungkin uma mengizinkan karena tidak tega menghilangkan pendar-pendar cahaya di mataku. Aku sudah telanjur berharap penuh saat aba mengizinkan. Akhirnya, aku akan mulai berproses.
***
Setahun berlalu. Aku melewati masa ujian kelas XII dengan baik. Aku dan semua teman-temanku dijamin lulus seratus persen sewaktu pengumuman tiga hari yang lalu. Ijazah, surat keterangan lulus, dan legelisirnya akan segera aku urus secepatnya—tidak boleh membuang waktu. Aba dan uma begitu bangga padaku. Belum lagi aku pun dinyatakan sebagai siswa terbaik kedua peraih nilai UN. Aku mendapatkan penghargaan, thropy, piagam, dan cendera mata. Dari awal aku memang sudah berniat membesarkan hati aba dan umaku, membuat mereka merasa berharga memilikiku. Saat mereka berbangga, mereka tidak akan lagi takut melepasku ke mana pun. Aku tidak ingin lagi membuat aba dan uma bersusah hati.
Proses ini akan segera dimulai. Satu titik fokus yang selalu kupatri dalam ingatanku adalah mondok. Betapa banyak kertas-kertas yang tertempel di dinding kamarku. Lembaran kertas yang selalu kutulis semua impianku. Apa yang harus kulakukan selama di pondok, berapa lama targetku menghafal, lalu pulang membawa kabar bahagia untuk aba dan uma.
Angin berdesir menyentuh bulu mataku. Denting-denting putaran jarum jam begitu jelas terdengar. Tidak ada suara televisi menyala. Tandanya aba sudah bergegas tidur. Juga Si Kembar yang sudah terlelap sejak isya tadi. Padahal, biasanya aba akan menyalakan televisi sampai pukul setengah sepuluh. Mungkin saja capek. Ini masih pukul sembilan.
Lampu kamar sudah kumatikan lima menit yang lalu. Saat ini, aku sedang memandangi langit-langit kamarku yang selalu bercahaya penuh bintang. Aku siap menantang malam dengan sejuta mimpi-mimpi yang kubangun. Di hatiku, aku tidak pernah lupa membenamkan doa-doa agar Tuhan senantiasa memberikanku kemudahan. Allahumma innaa nasalukal yusra wal ‘aafiyata wassalaamata fiddiini waddunya wal aakhiroh. Aku akan menggenggam semua mimpi-mimpiku dengan telapak tanganku.
“Rana?”
“Haa?” Aku bangkit. Kubuka pintunya.
“Kenapa, Ma?”
“Susu.”
“Ya Allah, Ma, kan aku bisa bikin sendiri.” Gelas beralih tangan.
“Tidak apa. Belum tidur?”
“Masih pengen begadang, Ma. Nggak tahu tidur jam berapa nanti. Uma napa belum tidur?”
“Adikmu baru ngompol.”
“Pengen aku bantu jaga, Ma?”
“Hmm tidak usah, Na. Ya sudah Uma mau tidur dulu.”
“Oke. Mimpi indah, ya, Ma.”
Beberapa bulan terakhir ini uma sering menolak bantuanku. Mungkin uma ingin terbiasa melakukannya sendiri tanpa aku. Uma tidak lagi mempersoalkan permintaannya waktu itu. Uma juga tidak lagi menyuruhku melakukan apapun. Aku sadar bahwa sebetulnya aku telah memaksa uma diam-diam. Kadang saat aku membicarakan hari keberangkatanku ke pondok, mata uma berubah harap-harap cemas. Mata uma yang mengisahkan banyak sesuatu, yang terpendam ataupun yang terungkap. Tapi, uma diam. Sikap uma tidak berubah sedikit pun. Yang uma sering lakukan akhir-akhir ini hanya memperlakukanku sebagai ratu. Contohnya ya susu yang kupegang ini.
“Uma, aku janji aku akan pulang membawa kebahagiaan. Doakan aku, Uma.”
Aku menepi di sudut jendela. Kuamati hamparan sawah milik tetangga yang menjadi lautan hitam saat malam. Ujung-ujung daunnya bercahaya dihinggapi kunang-kunang. Sama indahnya dengan malam bersinar karena purnamanya. Kugambar semua pemandangan menjadi goresan abstrak. Lembar buku gambar di tanganku akan penuh dengan coretan-coretan saat aku menumpahkan imajinasi seperti ini.
Aku menghadap langit. Lusa aku akan berangkat ke pondok. Terbayang sudah kisah-kisahku nanti di sana. Aku harus menyiapkan hati yang lapang mulai malam ini. Sebab, pondok itu tempat tirakat, berjuang ngalap barakah. Keseharian yang pasti jauh berbeda dengan rumah. Dan, kalau bisa aku ingin menjadi santri kesayangan bu nyai. Seperti terdengar agak berlebihan, tapi entahlah itu terlintas begitu saja.
Tiba-tiba aku menguap. Semilir-semilirnya makin membuatku mengantuk. Kututup jendelanya. Aku lekas berbaring. Selimut kutarik sampai dada. Selamat datang mimpi indah. Bismikallaahumma ahyaa wa amuut.
Aku menyambut pagi. Tapi, hatiku gundah. Semalam aku mimpi apa. Hanya dapat kuingat samar-samar. Yang kuingat aku menangis terduduk di kursi. Aku tidak pernah mimpi seperti itu di malam-malamku sebelumnya. Aku sedikit terganggu. Nasi di tanganku kubiarkan sampai dingin.
“Rana, nasinya di makan setan.” Aba berceletuk sambil menyangga piring di tangannya. Hendak duduk di kursi, di hadapanku.
“Aba apa-apaan, sih.” Aku tidak mood bercanda.
“Sudah packing?”
Aku diam. Tepatnya aku tidak mendengarnya karena aku sibuk menerka-nerka arti mimpiku. Jadi, uma yang menjawab, “Kemarin sudah Uma bantu, Ba. Si Kakak itu pengennya cuma bawa baju lima pasang. Tak suruh bawa sembilan dia.”
“Semuanya sudah lengkap, kan?”
Aba bertanya padaku, tapi yang menjawab tetap uma.
“Insyaallah sudah, Ba. Tinggal ngangkut.”
“Loh, kok, diam ki kenapa to?”
“Iya, Ba?”
“Mikirin apa kamu?”
“Ehmm tidak ada, Ba. Oh, ya, Uma sama Si Kembar besok tidak bisa ikut, ya?” Aku mengalihkan pembicaraan.
“Kita tidak dapat pinjaman mobil, Kak Na. Tidak mungkin bawa kembar naik motor.”
“Bocil dititipin ke tetangga dulu aja, Ma.” Entahlah aku tidak rela pergi tanpa uma. Mimpi itu benar-benar mengganggu.
“Ya tidak enak to, Kak. Tetangga lo pada sibuk semua. Sudah tidak apa.”
“Dititipkan aja, Ma.” Aku mendadak jadi manja.
“Rana, sudahlah kasihan Uma juga kalau harus perjalanan jauh.”
Aku diam memaksa menyendok makanan.
“Ya sudah, Ma,” kataku sambil mengunyah. []
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 244 Episodes
Comments
mbemndut
ke-3 kakakku mondok, masku sekolah SMK, akupun akan sekolah SMK.. dulu waktu masih SD selalu berpikir untuk mondok.. tapi karena baru dalam keadaan susah aku berpikir lagi, kalo aku mondok yang bakal bantu mama siapa? sedangkan kakak" ku sudah pada sibuk dengan urusanya masing". adekku masih ada satu. jadi gimana... aku bepikir untuk sekolah dismk dekat rumah saja biar bisa bantu mama jualan, dan memperbaiki perekonomian keluarga..
minta dukungannya yaa, semoga ujian nya dipermudah dan diberi nilai yg bagus.. dan usahanya (jualan) dilancarkan dan barokah. aamiin
2022-04-18
3
Zeeylaa To Zila
semangat rana..
jngan mikir macam2
2022-01-30
2
Ety Nadhif
jadi inget waktu nganterin anak ke pondok,,,liat suasana pondok hati berasa nyessss,,,,,
insyaAllah anak kedua juga mau mondok karna dr kecil minta mondok trs mungkin karna liat KK kknya ,,saudara PD mondok semua jd kebawa
2021-10-23
2