⚠️⚠️Demi memudahkan pembaca, bagi yang tidak memahami bahasa jawa, langsung pergi ke kata yang bertanda kurung (terjemahannya). Abaikan cetak miring. Setiap pengulangan bahasa jawa, tetap saya berikan terjemahan meskipun kata tersebut telah diulang sebelumnya.
🌹🌹🌹
Jika ada yg ditanyakan bisa tulis di kolom komentar. 😊🙏
🌷(Masuk cerita) 🌷
Seperti kata uma kemarin, uma memang tetap tidak bisa mengantar. Ini bukanlah perpisahan, tapi rasanya begitu mengharu biru. Berpisah dengan uma, aba, dan bocil-bocil. Tadi, uma juga tidak banyak berkata-kata. Justru takut bila aku banyak mengenang nantinya. Tapi, ciuman uma di keningku masih sangat terasa hangat.
Aku hanya berangkat dengan aba naik motor. Satu tas besar kupangku dan yang satunya ditaruh di depan. Barang-barang lain bisa kubeli nanti di sana.
Setelah melawan arus perjalanan muda-muda di hari Minggu selama hampir dua jam, aku menatap gerbang pondok bertuliskan kaligrafi arab “Manbaus Salam”. Aku menggelar senyum. Sejenak batinku mengatakan wah. Dari gerbang pintu masuk masih berjarak tiga ratusan meter menuju halaman pesantrennya. Sedangkan, gerbang kedua yang masih terbuat dari kayu jati, menjulang tinggi hampir tiga meter dipajangi banner penyambutan santri-santri baru—tepat di depan halaman.
Inilah halaman pondokku yang luas. Seukuran dengan lapangan sekolah pada umumnya. Tepat di tengah-tengahnya ada aula kuno hampir mirip seperti joglo. Tapi, bentuknya sudah agak berubah. Renovasinya menambah sedikit campuran nuansa modern dengan keramik-keramik berkilau di enam pilarnya. Meski begitu, nuansa klasiknya masih kentara. Aku memang belum pernah ke sini. Aba mendaftarkanku sendirian. Sekilas aku menerka ini pondok salaf kuno.
Ini pondok pilihan aba. Dulu, aba juga pernah mondok di sini walaupun katanya tidak lama. Tidak genap tiga tahun karena setelah itu aba harus segera menikahi uma. Memang katanya cobaan terberat santri itu kalau sudah ketikung urusan bab nikah. Aku tahu kenapa aba memberiku pilihan kuliah atau mondok. Ya karena aba dulunya juga nyantri. Tapi, karena aba nyantrinya tidak begitu lama, maka aku pun tidak harus mencari ilmu di pesantren.
“Ranaa, kita menemui pengurusnya dulu baru nanti sowan ke ndalem (rumah) Yai dan Bu Nyai sepuh.”
Aba tampak berpengalaman. Aba tidak perlu bingung-bingung harus begini atau begitu. Peraturannya masih sama seperti dulu. Aku mengekor di belakang aba. Derap langkahku lebih pelan daripada aba, sembari mengerlingi wilayah pondok yang bisa kujangkau.
Kalau dilihat sekilas, pondok ini sepertinya tidak terlalu luas. Halamannya saja yang membuat kesannya luas sekali. Tapi, aku juga belum tahu kalau di belakang beberapa ruangan yang seperti kamar santri itu, apakah juga masih wilayah pondok apa bukan. Yang jelas di samping aula yang luas, berjejer dua rumah yang bangunannya lebih apik dari bangunan lainnya. Itu pasti ndalem (rumah) yai dan bu nyai serta ẓurriyyah-nya—berjarak sepuluh meter tepat di sebelahnya ruangan kamar yang kumaksud tadi.
Aku menghitungnya dengan jari. Satu dua tiga ada lima belas kamar berhadap-hadapan. Dan, masih ada bangunan bersekat yang sepertinya itu kamar mandi dan dapur. Sekat tembok itu menghalangi pandanganku. Tapi, aku melihat ada kang santri keluar dari sana—ada yang membawa handuk dan ada yang membawa sepiring makanan.
“Oh, ini pondok putra, Ba?"
“Iya. Ini pondok putra.”
“Pontrinya mana?”
“Iya ini kita mau ke sana.”
Aku manggut-manggut.
Ternyata dan ternyata, di belakang kamar kang santri adalah wilayah pontri. Jarak antara gerbang dan tembok kamar kang santri kira-kira dua puluh meteran. Ada gerbang kecil yang terdapat tulisan peringatan laki-laki dilarang masuk kecuali pengasuh dan wali santri pendaftar.
“Aba kalau njenguk nanti di mana?”
Aba menyuruhku menoleh ke samping kanan. Ada tiga saung dan tempat istirahat yang digunakan untuk wali santri menjenguk anak-anaknya. Berarti saung-saung di samping aula tadi juga tempat sambang untuk kang santri—pikirku.
Aku tetap membuntut. Aku dan aba masuk menemui pengurus. Hanya untuk sekali ini aba boleh masuk dan dilarang seterusnya masuk wilayah pontri. Tulisan tadi menjadi peringatannya. Aku membaca tulisan di tembok, piket penerimaan santri baru. Ada seorang mbak santri duduk di depan kantor menulis sesuatu di meja. Aba dan aku mendekat.
“Assalamu’alaikum?”
Karena mengetahui kedatanganku, mbak-mbak santri yang tersadar segera berhamburan ke dalam kamar. Menutup rapat pintu-pintunya. Seperti keong yang mendelep ke dalam cangkangnya. Yang hanya berjilbab sekenanya buru-buru membenahi.
Lantas berjalan cepat sambil menunduk-nunduk menuju kamar. Aku mengamati mereka sambil menahan senyum.
Tanpa dipersilakan aku duduk begitu saja di kursi yang nganggur.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah.
Daftar atau mengantarkan santri, Pak?” Mbak yang berwajah manis putih itu cepat tanggap tanpa menunggu aba menyampaikan maksud.
“Kemarin sudah daftar. Ini tinggal mengantarkan.”
“Berarti kamarnya sudah dapat, nggeh, Pak. Atas nama siapa? Dalem lihat sekedap (sebentar) .”
“Ranaa Hafizah, Mbak. Semua administrasinya sudah lengkap termasuk pembayarannya, Mbak. Kecuali, KK nanti menyusul.”
“Oh, enjeh (iya), Bapak. Bisa diantarkan pada hari sambangan berikutnya, nggeh,” jawab mbak itu sambil menunduk karena masih menulis.
“Jadwal sambangan berubah apa tidak?”
“Alhamdulillah kami istiqamah dari dulu sampai sekarang, Pak. Bapak nopo alumni mriki?”
Terjemah: (Alhamdulillah kami istiqomah dari dulu sampai sekarang, Pak. Apa Bapak alumni sini?)
Aba tersenyum. Artinya iya. Mbak santri itu cepat mengerti.
“Kapan, Ba?” Aku berbisik.
“Minggu ke dua awal bulan. Harinya bebas.”
“Bapak, ngapunten (maaf) untuk peraturan membawa baju tidak boleh lebih dari sepuluh termasuk seragam khusus pondok dan wajib bermukena putih terusan sudah mengerti, njeh (ya)? Juga dilarang membawa ponsel dan tidak boleh pulang selama tiga bulan pertama masuk pondok.”
“Alhamdulillah istiqamah juga. Iya, Mbak. Semuanya beres.”
“Untuk peraturan khusus nanti akan disampaikan saat sosialisasi penerimaan santri baru minggu depan.”
Kata aba, aku memang datang seminggu lebih cepat. Ya supaya aku lebih cepat beradaptasi dengan santri-santri.
“Sebentar, Mbak.”
Aba mengajakku menyisih. Aba mengeluarkan dompetnya yang semakin usang. Warna hitamnya mengabu. Sudutnya jebol. Tipis tidak banyak berisi uang. Apalagi, setelah aba mengeluarkan empat lembar uang ratusan ribu. Aku meringis tidak tega. Hatiku tergores—nanti di rumah makan apa?
“Aba masih punya duit?”
“Sudah itu tidak usah dipikirkan. Ada... ada masih, Ran.” Entah itu jawaban yang jujur atau tidak. Kedengarannya, sih, menutupi sesuatu. Dompet aba kembali masuk saku.
Aku memasukkannya dengan hati-hati di saku tas.
“Aba harus pulang sekarang. Kamu akan diantar sama pengurus itu.”
“Oke, Ba. Ranaa tahu apa yang harus Ranaa lakukan. ”
Karena mendengar jawabanku, aba merasa mendapatkan kepercayaan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Terciptalah senyum di bibir aba.
“Semoga Rananya Aba menjadi anak yang salihah. Aba pamit.” Aba menciumku, masih memperlakukanku sebagai anak SMP.
“Iya, Ba. Hati-hati. Salam rindu untuk Uma dan bocil-bocilku, Ba. Kalau mereka sudah bisa diajak ke sini, ajak, ya, Ba. Aku pasti kangen pol.”
Aba mengangguk. Sekali lagi tersenyum melepaskanku. Aku tidak melihat guratan kesedihan apa pun di wajah aba. Jadi, aku pun harus demikian. Saling melepaskan dengan hati lapang akan menghilangkan kesedihan. Aku masih berdiri di tempat sampai aba menghilang. Tanganku masih mengambang, melambai, walau aba sudah berpaling.
“Mbak Ranaa?”
“Iya. Ke kamar, Mbak?”
“Njeh (iya). Tak antar ke kamar dulu menaruh barang, habis itu saya ajak keliling.”
“Loh, Mbak tadi kata Abaku sowan ke ndalem (rumah). Tapi, Aba malah sudah pulang. Gimana, tuh?”
“Ya sudah tidak apa-apa. Nanti kita sowan sendiri.”
“Iya, sih, Mbak. Aba kemarin juga sudah bilang kalau sudah sowan. Waktu daftar.”
Aku langsung bisa merasakan keakraban dengan pengurus ini.
“Mbak, siapa namanya?” Kupandang dengan mata membelalak dan bibir merekah.
“Sayyidati. Panggil aja Dati."
“Siap, Mbak.”
Lantas aku ke kamar. Tempatnya di lantai dua. Naik tangga sebelah kamar pengurus. Bangunan pontri ini membentuk leter U menghadap ke selatan. Halamannya hampir seluas halaman depan. Semua sisi dibangun benteng agar keamanannya terjaga. Masih kelihatan baru. Saat aku masuk kamar, aku melihat hanya ada beberapa orang di dalam. Tapi, ada sepuluh lemari.
“Kamarnya semua ada berapa, Mbak?”
“Ada dua puluh kamar.” Jika setiap kamar terisi penuh, jumlah keseluruhan santri ada dua ratus.
Aku segera meletakkan barang-barang. Keluar lagi. Kami berjalan berdampingan menyisiri semua ruangan pontri. Aku masih di lantai atas. Ruangan atas yang digunakan untuk kamar santri ada lima belas dan lima kamar yang lain jelas ada di lantai bawah. Ruangan yang paling pinggir sebelah timur ada aula untuk kegiatan serbaguna. Sebelah utaranya pas juga ada perpustakaan dan poskestren.
Kami turun tangga samping aula langsung menuju ndalem (rumah) ning dan gus. Hanya ada satu ndalem, tapi lumayan lebih luas dari ukuran ndalem (rumah) di pondok putra. Samping kanan, utaranya ndalem berjarak tiga meteran adalah ruangan luas untuk kegiatan masak sehari-hari santri.
“Itu tempat apa, Mbak?” Aku menunjuk jalan kecil yang agak menjorok ke timur. Pas utaranya dapur.
“Yang kelihatan pintunya itu kamar mandi. Ada sepuluh kamar mandi dan lima toilet, Mbak. Ya cukup tidak membuat semua santri mengantre. Tempat nyuci dan jemuran juga di sana. Masih luas lo itu tempatnya. Ayo ke sana!”
Aku terus mengekor. Selalu mengangguk bila diberitahu.
“Iya e, Mbak. Masih luas ternyata. Kukira cuma segini. Bagus. Mungkin aku akan nyaman di sini. Tempatnya juga masih nuansa jaman dahulu banget. Asri sama pepohonan yang mengelilingi pondoknya.”
“Pondok ini memang sudah berdiri sekitar enam puluh tahun. Ya tepatnya lima puluh sembilan, Mbak. Yai sengaja tidak banyak ngutus merenovasi selain karena beliau ingin selalu mempertahankan kekhasan pondok ini. Tapi, Gus Alba kadang meminta Yai untuk merenovasi satu atau dua tempat. Contohnya yang sudah disetujui Yai seperti aula utama depan itu. Itu baru direnovasi setahun lalu. Soalnya, pernah sempat hampir retak pilar dan temboknya. Lantainya juga retak-retak. Beginilah pondok kami. Harapan kami semua santri baru dapat segera menyesuaikan diri.” Mbak Sayyidah memberi senyum manisnya di akhir kalimat.
“Kamar pengurusnya hanya satu, ya?”
“Betul. Satu, tapi dua kali lebih luas dari kamar santri. Ada dua puluh pengurus utama. Dan, pengurus lainnya disebar di seluruh kamar. Setiap kamar ada satu pengurus yang diutus langsung berbaur dan mengamati aktivitas Mbak-mbak santri.”
Aku sangat menyukai cara Mbak Sayyidah menjelaskan. Dengan satu pertanyaan, dia gercek menjelaskan hal-hal lain yang berkaitan. Aku pun tidak kebanyakan mengajukan pertanyaan.
“Masih liburan jadi masih agak sepi, Mbak, ya?”
“Njeh (iya). Tapi, masih banyak juga yang tidak pulang, Mbak. Alhamdulillah rata-rata santri-santri di sini sangat kerasan. Banyak yang dari luar pulau.”
“Pasti yang tidak pulang kebanyakan dari luar pulau dan luar provinsi itu.”
“Hahaaha. Njeh, Mbak.”
“Nah, berarti Mbak Sayyidah juga dari luar pulau?”
“Tidak. Saya asli Blitar malah.”
“Kenapa tidak pulang, Mbak?”
“Alah mboten nopo (tidak apa), Mbak e. Lebih nyaman saja di pondok ketimbang di rumah.”
“Haa aku tahu. Kadung nyantrinya sudah luama, kan?”
Mbak Sayyidah hanya tersenyum, lalu mengajakku ke kantin. Kantinnya ada di ruangan pojok barat daya dengan ukuran sekitar 5 x 5 meter. Semua kebutuhan santri bisa langsung didapatkan di sana. Kebutuhan mandi, cuci, pakaian, jilbab, perlatan tulis menulis, dan lainnya.
“Kitabnya beli di mana?”
“Kita punya toko kitab di seberang jalan, Mbak. Toko kitab ‘Barakah’. Depan gerbang utama. Tapi, karena kita pondok quran, hanya empat kitab pokok yang dipelajari.”
“Oke, Mbak. Aku sudah paham. Terima kasih sekali sudah banyak menjelaskan.” Aku meringis sungkan.
“Woalah, njeh (iya). Tidak usah sungkan-sungkan pokoknya. Ada kesulitan langsung tanya pada pengurus ndak apa-apa. Itu sudah biasa sekali, Mbak Rana. Selebihnya bisa bertanya pada pengurus di kamar. Mereka yang meng-cover langsung kegiatan santri. Saya dan teman-teman bertugas sebagai pemandu dari utusan ndalem depan dan sini. Kalau begitu kita sowan, nggeh.”
“Bentar, Mbak. Tadi aku dibawakan sesuatu sama Abaku.”
Mbak Sayyidah menungguku balik dari kamar. Cuma dua menit aku berlari sambil menunduk-nunduk minta permisi pada santri-santri lain yang berpapasan denganku.
“Yuk, Mbak.” Aku membawa dua kresek berisi gula lima kilo, minyak tiga liter, dan sirup dua botol.
“Tak bawakan, Mbak, yang satunya. Berat kayane.”
Aku memberikan padanya. “Makasih, Mbak, ya.”
“Assalamu’alaikum?” []
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 244 Episodes
Comments
Zeeylaa To Zila
masih nyimak..
2022-01-30
0
Ety Nadhif
pokoknya kalau dah keliling jengukin anak+ ponakan di pondok bawaannya adem,ayem,tentrem
2021-10-23
0
Runa💖💓
Sangat jarang novel dengan tema seperti ini
biasanya nya selalu novel yg berlatar belakang CEO😘😘😘😘
2021-10-21
1