Mohon maaf sebelumnya. Saat membaca cerita, jika ada yang kesulitan terjemahannya, mohon untuk meninggalkan komentar supaya langsung bisa merevisi. Karena jika misal tidak komentar apa pun, sedangkan sy akan berulang kali merevisi halaman yang jumlahnya mencapai 1000 hal word, itu memakan waktu yang lama. 😃😃
Novel ini direvisi setiap saat. Jadi, sy revisi sudah berulang kali, sebenarnya. Maka, dengan panjenengan meninggalkan komentar, itu akan memudahkan saya mengetahui langsung pada bab mana dan bagian mana yang sulit. Dan, sy tidak perlu revisi berulang kali dengan jumlah halaman yang seperti kereta. 🙈🙈🙈
🌹🌹🌹
Flasback
Keinginan terbesar aba dan uma saat aku lahir adalah aku bisa tumbuh dan berkembang seperti orang pada umumnya. Dulu, aku pernah didiagnosis dokter suatu saat aku bisa mengalami kelumpuhan. Mungkin hati aba dan uma tidak tenang hingga sekarang. Aba dan uma sangat memberiku perhatian lebih dan lebih. Aku tahu. Uma pernah bercerita padaku soal itu. Tapi, telapak dua pasang telapak tangan itu tidak pernah berhenti memberikan kehangatan. Cinta mereka utuh. Tidak ada rongga di sisi-sisinya. Aku selalu yakin aku bisa melalui semuanya dengan baik. Buktinya, sekarang aku sudah mampu melewati tujuh belas tahun pertamaku tanpa ada kejadian apa-apa.
Justru sekarang, keluarga kami bertambah. Kekhawatiran aba dan uma yang dibendung selama ini, setidaknya mencair karena kelahiran Si Kembarku. Aku turut bahagia. Setiap pagi aku melihat wajah umaku yang berseri-seri. Wajah abaku yang tidak pernah kendur semangatnya saat hendak pergi bekerja—tukang jual bakso. Wajah-wajah mereka tidak lagi dihantui rasa khawatir. Mereka punya kesibukan lain selain hanya dengan memikirkan apakah aku sudah makan, di mana aku berada, juga kapan aku pulang—pertanyaan uma yang selalu ditanyakan padaku saat aku pergi. Pesan baik-baiklah selalu anakku setidaknya tidak akan sering kudengar dari mulut aba.
Aba berangkat bekerja setelah berpamitan pada kami. Aku tersenyum lega merelakan kepergian aba dengan wajah penuh semangat itu. Aku selalu iri melihat aba jika begitu. Aku pun mendekati uma di seberang pintu—sedang menyusui.
“Ma, Aba kenapa selalu bisa semangat begitu, ya?”
Uma menatapku dengan senyum. Sebelum menjawab, ia mencium wajah Indi.
“Abamu, kan, selalu begitu, Rana. Jadilah seperti Abahmu yang gigih!”
Aku mengangguk mengerti. Aba adalah sosok pahlawan bagi uma. Aku tidak heran jika yang kudengar melulu kalimat itu.
“Eh, Ma. Adik aku panggil Bocil, ya. Boleh, kan?”
Uma tertawa. “Loh, kenapa gitu?”
“Ya dia masih kecil. Makanya kupanggil Bocil.” Aku gemas menciuminya.
“Iya terserah kamu saja, deh.” Uma menyembunyikan senyum.
Lantas uma berusaha meletakkan Bocil Indi. Ganti menggendong Bocil Anda. Lalu, berdiri lagi.
“Ehmm... Ma, aku mau ngomong sesuatu.” Aku ragu mengatakannya. Kugigit bibirku.
Uma menoleh, menatapku dengan saksama. “Apa?”
Kugaruk dahiku yang tidak gatal. “Tapi, Uma bilang boleh dulu dong,” kataku merayu-rayu.
“Ya nggak bisa, Rana. Apa dulu? Coba bilang sama Uma!” kata uma sambil mengayun-ayun.
Aku masih bergeming. Takut uma tidak mengizinkanku.
“Lho kok diam?” Uma pun duduk. Dia menatapku dalam. Mencoba memahami.
“Kamu suka sama seseorang?”
Bibirku spontan melongo. “Suka, Ma?”
Uma tertawa memperlihat giginya. “Terus apa?”
“Bukan itu lo. Aku pengen mondok, Ma. Nanti kalau aku sudah lulus MA.”
Uma diam. Aku jadi khawatir.
“Soalnya aku pikir Uma dan Aba sudah punya Si Kembar sekarang. Nanti aku pengen mondok di pondok Alquran, Ma. Gimana menurut Uma? Boleh, kan?” Aku memegang lengan uma. Kupandang ia penuh harap.
“Sekarang kamu sudah tujuh belas tahun...”
Aku memotong, “Berarti boleh, kan?”
“Nanti siapa yang bantu Uma merawat Adikmu kalau tidak ada kamu, Rana?”
Dahiku berkerut. Aku belum berpikir sampai ke situ. Tidak malah.
“Ya Uma sama Abah,” jawabku cengar-cengir.
Uma menghela napas. Dari situ, aku bisa menyimpulkan kalau uma tidak setuju. Uma menaruh harap aku di rumah saja, lalu ikut merawat Si Kembar. Belum juga tidak ada yang bantu-bantu aba jualan bakso di lapak.
“Uma, aku mondoknya setelah lulus, kok. Jadi, nanti Si Kembar pas sudah bisa jalan. Aku janji selama setahun ini, aku akan bantu Uma sama Aba. Sebelum aku pergi ke pondok.”
Uma terus menatapku. Seperti hendak mengiyakan atau tidak tega memangkas permintaanku.
“Nanti kita bicarakan sama Aba kalau Aba sudah pulang. Sekarang bantu Aba di lapak, gih!”
“Oke. Kalau begitu aku berangkat, Ma.” Kucium bergantian dua bocilku. Lalu, kukecup punggung tangan uma.
“Assalamu’alaikum?”
“Wa’alaikumussalam.”
Kali ini alasan uma memang bukan lagi soal kekhawatirannya padaku. Aku sendiri sebetulnya pun balik tidak tega membiarkan uma berjuang sendirian merawat Si Kembar dan aba yang harus jualan bakso sendirian. Belum lagi kalau pas lapak lagi ramai, pasti kewalahan. Tapi, tekatku sudah bulat. Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Mungkin awal aku masuk madrasah tsanawiyah. Program jurusan agama yang kupilih setahun lalu pun kugunakan sebagai celengan aku masuk pondok quran.
Di usia tujuh belas tahun pertamaku, aku ingin meraih cita-cita terbesarku. Aku ingin terbang tinggi bersama mimpi-mimpiku di langit yang kuwarnai sendiri. Lalu, berjuang meraihnya hingga titik darah penghabisan. Aku sudah punya celengan lima juz. Kuhafalkan dalam kurun waktu kurang dua tahun. Kupikir aku juga tidak membutuhkan waktu yang lama berada di pondok. Jika aku benar-benar fokus di Alquran pasti dua tahun saja cukup. Dan, setelah itu mungkin aku akan kuliah sampai lulus S2. Atau, aku berkarir lebih dulu sebelum kuliah.
Aku terus berjalan menyusuri pinggir jalan setapak. Debunya beterbangan teseret tiupan angin musim kemarau panjang. Beberapa kaleng atau bekas minuman plastik kutendang ke sembarang arah. Terpental mengenai benda keras. Rasanya aku ingin segera meraih itu semua. Sesaat kemudian, lamunanku buyar karena dipanggil aba yang sudah melihat kedatanganku lebih dulu.
“Sini Rana! Bantu Aba cuci mangkuk dan gelas yang banyak itu.” Aba langsung menarik lenganku—memperlihatkan segunung tumpukan mangkuk dan gelas kotor. Kutatap mata sibuk aba.
Aba kembali melayani pembeli. Aku urung menyentuh kran air. Aku jadi sungkan dan tidak tega melihat kucuran keringat di pelipis aba. Rasanya ingin selalu kusentuh, kuhapus agar lelahnya setiap hari menjadi butiran semangat yang luar biasa. Sebab, aba memang senang jika aku membantunya. Aku langsung berpaling, buru-buru menyalakan kran ketika aba balik memerhatikanku.
“Tidak usah buru-buru.” Aba tersenyum.
“Hari ini rame ya, Ba?”
“Alhamdulillah rame. Kalau warung kita rame, kita bisa segera mengakikahi Adikmu, Ran.” Aba tersenyum bahagia. Dan, gerak gerik tangannya itu pertanda kegigihan aba memperjuangkan anak-anaknya.
“Butuh berapa banyak, Ba, kira-kira kalau akikahan begitu?”
“Ya kira-kira tujuh jutananlah. Lebihnya paling, ya, sedikit.”
“Sekarang sudah kumpul berapa duit?”
“Alhamdulillah sudah hampir cukup.”
“Rana tambahi sisanya, ya? Biar Si Kembar cepet diakikohi.”
“Lah, tidak perlu. Aba masih kuat kerja tiap hari. Kamu bantu kalau pas longgar saja yo.” Aba mengacak jilbabku saat aku menaruh mangkuk bersih di dekatnya—di rak tempat makan warna merah jambu pudar. Aba memperlihatkan semangatnya padaku dan memperlihatkan jiwa tanggung jawabnya yang besar. Aku meringis.
“Insyaallah nanti uangnya pasti sisa. Kalau sisa, nanti uangnya untuk persiapan kamu kuliah. Mau kuliah atau mondok kamu?”
Betapa girangnya aku mendengar pertanyaan pilihan itu. Saking gembiranya aku melompat-lompat. Aku tidak sadar diperhatikan pelanggan yang masih berusaha menghabiskan makan.
“Ba, Ba, Aba yakin ngasih pilihan itu ke Rana?” Mataku berbinar-binar menatap aba. Saking tidak mampu menahan kebahagiaan.
“Mau kuliah atau mondok?” Aba mengulangi. Abah menuangkan kuah ke mangkuk. Aromanya mengudara. Tercium kuah kaldu sapi yang membuat perut lapar.
Aku berbisik. “Aku pengen mondok aja, Ba.”
“Iya. Kasih baksonya ke laki-laki di pojok itu dulu.”
“Oke, Ba.”
Aku berjalan menghampiri laki-laki itu. Kutaruh mangkuknya.
“Minumnya sudah?” Kutawari.
“Belum. Es jeruk aja, Mbak.”
“Siap.”
Aku berbisik lagi, “Ba, pokoknya aku mondok, Ba.”
“Pondok mana?”
Kujawab sambil membuat es jeruk, “Pondok Quran. Terserah di mana aja, Ba. Aba yang milihkan boleh, kok. Aku mah pokoknya ngikut asal bisa setoran hafalan nanti.”
“Kamu memang kesayangan Aba, Rana. Aba saja tadinya mikir, apa kamu mau mondok. Soalnya kamu tidak pernah cerita ke Aba kalau ingin mondok.”
“Rana tidak berani. Karena sekarang sudah ada Si Kembar, Rana memberikan diri, Ba, “ kataku sejujur-jujurnya.
Aku beringsut memberikan es jeruknya. Benih semangat itu kini bertumbuh lagi. []
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 244 Episodes
Comments
Arum Sekar Sari
telapak dua pasang telapak thor ..typo kyknya ya
2022-10-14
1
Wanda Harahap
hadir lagi
2022-02-11
1
Zeeylaa To Zila
rana ...semangatnya dirimu
2022-01-30
1