Suara derap langkah kaki memasuki ruangan tempat Luna di rawat. Kedua orang itu menjerit histeris sambil berhambur memeluk Luna. Luna terkejut melihat kedatangan mereka yang tiba-tiba. Ia memelototi Tante Silvi yang mengedipkan sebelah mata kepadanya. Kemudian ia pun pasrah.
“Ayah, Ibu, Luna gak apa-apa,” Luna berusaha meyakinkan kedua orang tuanya.
“Tidak usah sok kuat seperti itu Luna!” Ayah menyergahnya.
“Ayah gak pernah ajarkan kamu untuk berbohong, tapi kamu berkali-kali bohongin Ayah dan Ibu.” Tuduh Ayah.
“Bohong apa, Ayah?” Luna kebingungan, ia melirik Tante Silvi.
“Tanyakan sendiri pada Tantemu. Kalian sama saja selalu membohongi kami.” Nada bicara Ayah terdengar berat. Ada rasa penyesalan dalam setiap kata-katanya. Luna memberi kode kepada Tante Silvi.
“Maafkan Tante, Luna, Tante udah ceritakan semua sama Ayah dan Ibu kamu,” Tante Silvi menjawab jujur. Luna menepuk dahinya. Ia merasa bersalah kepada kedua orang tuanya.
“Maafkan Luna, Yah, Bu, Luna cuma gak mau Ayah sama Ibu khawatir kalau tau Luna masuk rumah sakit.” Luna memohon.
“Kamu gak boleh bohong lagi sama Ayah dan Ibu, atau kamu Ibu suruh pulang ke Bandung!” ancam Ibu.
“Iya, Bu. Maaf. Luna janji.” Luna menunduk.
“Kamu juga, Silvi. Kalau sampai anakku kenapa-kenapa kamu akan mendapatkan akibatnya!” ancam Ibu kepada adiknya.
“Iya, Kak. Aku minta maaf.” Tante Silvi menunduk. Sejak kecil Tante Silvi memang takut kepada Ibu. Ibu adalah kakak tertua dari Tante Silvi dan Arga - Adik bungsu Ibu yang kini berada di luar negeri. Ibu juga yang selalu menjaga adik-adiknya jika kakek dan nenek Luna sibuk dengan pekerjaan di kantor. Karena itulah adik-adiknya sangat menghormati Ibu. Tidak berani membantah Ibu.
Pintu ruangan itu berdecit, Gandhi muncul dari balik pintu. Ia tidak mengetahui kedatangan kedua orang tua Luna. Semua orang di ruangan itu menoleh ke arah Gandhi. Ibu memandang Gandhi dengan sorot mata tajam.
“Laki-laki ini yang buat kamu terluka?” tanya Ibu dengan sinis.
“Bukan, Bu. Dia Gandhi. Teman dekat Luna.” Luna menjelaskan. Gandhi membungkuk memberi hormat kepada kedua orang tua Luna.
“Oh.” Jawab Ibu singkat. Kemudian memalingkan wajah.
“Luna, kamu begini karena laki-laki, mulai dari sekarang kamu harus selektif jika berteman dengan laki-laki. Bisa saja laki-laki yang ada di dekatmu sekarang adalah laki-laki yang sama jahatnya dengan laki-laki yang melukaimu.” Sindir Ibu. Gandhi sedikit tersentak namun ia berusaha tenang.
“Tidak semua laki-laki sama, Bu. Gandhi itu baik, Bu.”
“Ga usah protes!” cegah Ibu. Luna terdiam. Ia melirik ke arah Gandhi yang menunduk.
Ayah dan Ibu sudah pulang, mereka tidak bisa berlama-lama di Jakarta. Pekerjaan kantornya tidak bisa di tinggal. Mereka menitipkan Luna kepada Tante Silvi dengan sedikit mengancam.
“Sekali lagi ingat kata-kataku, Silvi!”
“Iya, Kak. Aku ingat.” Tante Silvi ketakutan.
“Luna, jangan berhubungan lagi dengan Gandha gandhi gand... ah siapalah itu. Ibu tidak suka!” larang Ibu kepada Luna. Luna kecewa namun ia berusaha mengiyakan.
“Iya, Bu.” Luna menggigit bibirnya. Hubungannya dengan Gandhi menjadi terhalang. Setelah berpelukan dan mencium kening Luna, Ayah dan Ibu keluar dari rumah sakit untuk pulang ke Bandung.
“Tanteee....” rengek Luna dengan mata memelas. Tante Silvi tahu maksud Luna. Ia memegang tangan Luna.
“Tante cuma janji untuk jaga kamu. Tante gak melarang kamu berhubungan dengan Gandhi. Asal jangan sampai ketahuan Ayah dan Ibu kamu.” Luna memekik, seraya memeluk Tante Silvi.
“Terimakasih, Tante.” Ucapnya sambil mencium pipi tante Silvi. Tante tersenyum melihatnya.
“Hhh anak muda tidak bisa dilarang.” Gumam Tante Silvi dalam hati.
“Ayah Ibu kamu garang, ya? Aku aja sampai gemetaran kemarin.” kata Gandhi.
“Untung tidak sampai menangis,” ledek Luna. Gandhi mencubit pipi Luna.
“Tapi aku gak takut,”
“Jadi? Kamu mau melawan Ayahku?”
“Bukan melawan, tapi berjuang.” Katanya sambil tersenyum. Luna ikut tersenyum sambil memandang Gandhi.
Hari ini Luna keluar dari rumah sakit karena kondisinya sudah stabil. Gandhi mengantar Luna sampai ke rumah.
“Terimakasih, Gandhi. Sudah mau mengantar Luna,” ucap Tante Silvi. Gandhi mengangguk sopan dan tersenyum.
“Sama-sama, Tante. Saya juga terimakasih karena Tante mengizinkan saya tetap berhubungan dengan Luna.” Tante Silvi tersenyum menanggapi perkataan Gandhi.
“Oh, ya. Kalau boleh, besok saya menjemput Luna ke kampus, Tan?” Gandhi meminta izin.
“Oh, boleh. Tante justru lega kalo tahu Luna ada yang menjaga.” Tante Silvi mengizinkan. Gandhi pun pamit pulang.
“Udah lama nunggu?” tanya Luna sambil menjinjing tas.
“Banget.” Gandhi tertawa. Ia membukakan pintu mobil untuk Luna. Luna memasuki mobil dan mereka berangkat ke kampus bersama. Sesampainya di kampus, Luna mengurungkan niatnya untuk turun dari mobil. Gandhi sudah berkali-kali meyakinkannya kalau di kampus situasinya aman.
“Gak ada apa-apa Luna, ayo turun.” Paksa Gandhi. Luna ragu. Ia menoleh ke kanan dan kekiri.
“Arez udah gak ada di kampus, Lun.” Gandhi meyakinkan. Luna mendongak menatap Gandhi yang berdiri di dekat pintu mobil.
“Maksudnya?”
“Waktu kamu di rawat di rumah sakit, Arez di tangkap polisi dan sekarang di penjara.” Jelasnya.
“Hah?! Kok bisa?” Luna terkejut.
“Iya, dia kena tangkap waktu pesta miras dan narkoba di club.” Luna menutup mulut. Ia tidak menyangka pernah mencintai laki-laki yang ternyata berandalan. Ia bersyukur telah putus dengan laki-laki itu. Luna menurunkan kakinya ke lantai. Ia keluar dari mobil dengan tenang.
“Bilang dong dari awal!” bentaknya pada Gandhi. Gandhi tertawa dan meminta maaf kepada Luna.
Mereka berjalan menuju kelas, beberapa siswa saling berbisik ketika melihat Luna. Hampir seluruh kampus tahu tentang Luna. Gosip itu dengan cepat menyebar seperti virus yang sedang trend saat ini. Luna tidak peduli, ia merasa tidak mengganggu orang lain. Jadi ia tidak berhak marah jika ada orang yang membicarakannya di belakang.
“Lun, nanti jalan, yuk?” ajak Gandhi kepada Luna yang sibuk membaca novel yang ia bawa dari rumah untuk menghibur diri jika suntuk di kampus.
“Kemana?” tanya Luna tanpa menoleh.
“Kemana aja, senang-senang, cari hiburan.”
“Asal jangan pesta miras dan narkoba,” ucap Luna dengan maksud bercanda.
“Astaga, ya enggak lah, Lun!” timpal Gandhi kesal. Luna tertawa.
Sepulang kuliah mereka langsung jalan-jalan. Makan, atau sekedar jalan-jalan untuk menghilangkan suntuk.
“Lun, nonton, yuk. Mau?” ajak Gandhi ketika berhenti di depan bioskop. Luna mengangguk. Gandhi segera berlari untuk membeli tiket. Luna menunggu. Tak berapa lama kemudian Gandhi muncul sambil membawa dua tiket di tangannya.
“Film apa?” tanya Luna.
“Film horor.” Jawab Gandhi.
“Ih, gak mau! Aku gak mau masuk!” teriak Luna. Gandhi tertawa.
“Iya, horor bagi para jones, hahah!” Gandhi tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Luna kesal, ia mencubit perut Gandhi yang langsung meringis kesakitan.
“Ya udah, ayok!” Gandhi menarik tangan Luna masuk ke dalam bioskop. Luna menurut dan mengikuti Gandhi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
MARY DICE
Akhirnya pacaran backstreet akibat orang tua yang over protectif. Tapi Gandhi lebih baik daripada Arez.
2020-12-26
1