Bab 3

“Jadi bagaimana hubunganmu dengan Arez?” nada bicaranya sedikit canggung. Takut Luna tersinggung.

“Ini Tante buatkan sirup dingin untuk kalian, silahkan di minum,” tante tiba-tiba muncul sambil membawa dua gelas es sirup dan meletakkan di atas meja. Setelah itu Tante Silvi masuk ke dalam membiarkan Gandhi dan Luna berbincang.

“Jangan sebut nama Arez di depanku lagi atau kau akan ku tuntut.” Jawabnya tegas. Gandhi tersenyum lega.

“Eh! Kenapa senyum-senyum?” tanya Luna sambil mengambil gelas sirup di depannya. Gandhi menggeleng.

“Kalau aku nembak kamu, kamu mau gak?” Luna yang sedang meminum es sirup menjadi tersedak. Gandhi panik.

“Aduh, maaf, Lun.” Gandhi menyesal.

“Kira-kira, dong. Kalau aku mati tersedak gimana?” Luna kesal.

“Besok temani aku ke toko buku, ya?” pintanya tiba-tiba.

“Siap, Bos!” Gandhi berteriak semangat.

Luna sibuk memilih novel di depan deretan buku-buku yang terjajar rapi. Sementara Gandhi hanya memperhatikannya. Ia kurang tertarik terhadap bacaan. Berbeda dengan Luna yang sangat menggilai buku. Bahkan ia menyulap kamarnya menjadi sebuah perpustakaan kecil yang di isi dengan buku-buku kesukaannya.

“Udah?” tanya Gandhi begitu Luna datang menghampirinya sambil membawa plastik berisi buku yang baru ia beli. Luna mengangguk.

“Kita makan dulu, ya? Dari pagi belum makan.” Ajaknya. Luna pun setuju, ia juga belum sempat sarapan karena Tante Silvi ada urusan mendadak di kantor sehingga ia tidak memasak.

Mereka sudah sampai di sebuah tempat makan dan segera memesan makanan.

“Lun?” Luna yang sedang asik melihat buku yang baru ia beli hanya berdehem menanggapi Gandhi.

“Kamu mau gak jadi pacar aku?” Luna terkejut. Ia menoleh.

“Silahkan, Mas, Mbak,” tiba-tiba pelayan itu datang dan menyajikan pesanan mereka di meja makan, lalu pelayan rumah makan itu mempersilahkan Luna dan Gandhi. Luna segera menyantap makananya. Ia sengaja mengalihkan rasa canggungnya dengan makan. Padahal saat ini ia sedang berdebar setelah mendengar pernyataan dari Gandhi. Gandhi hanya memperhatikan Luna dengan penuh harap. Tangannya bergerak meraih jemari Luna. Luna menoleh.

“Kamu? Gak makan?” tanya Luna dengan suara sedikit bergetar. Jantungnya benar-benar berdetak tak terkendali.

“Lun? Sampai kapan kamu mengabaikanku, sih?” nada suara Gandhi berubah. Ada sorot kekecewaan di matanya.

“Gandhi...” Luna menghentikan ucapannya. Gandhi menatapnya tajam.

“Baiklah.” Jawab Luna kemudian. Gandhi menarik nafas lega. Tersenyum senang. Ia segera melahap makanan yang ia pesan. Luna berusaha memberikan kepercayaan kepada Gandhi. Ia menerima Gandhi menjadi kekasihnya. Gandhi berjanji untuk selalu membahagiakan Luna sebisa mungkin.

“Awh!” Luna memekik. Sebuah tangan besar menariknya dengan kasar. Menyeretnya dengan paksa.

“Lepas!” Luna memberontak, berusaha melepaskan cengkeraman laki-laki itu. Namun laki-laki itu hanya tertawa sinis sambil terus menyeret Luna. memasukkannya ke dalam mobil dan membawanya entah kemana. Luna berteriak namun ia tak peduli. Di dalam mobil ada dua orang temannya yang memegangi Luna supaya tidak kabur. Mobil itu membawa Luna ke sebuah tempat asing dan menyeramkan. Mereka menarik Luna dengan paksa dan melemparnya sampai jatuh terjerembab di lantai. Siku Luna berdarah.

“HAHAHA! Bagusnya kita apakan cewek murahan ini, guys!” tawanya dengan sinis. Luna meringis kesakitan sambil mengusap siku nya yang berdarah.

“Tega sekali kamu kepadaku,” suara Luna bergetar. Ia takut, bingung, marah dan cemas.

“Apa?! Tega?!” nada suaranya meninggi. Luna begidig ngeri. Kedua teman yang tadi ikut memegangi Luna pun tertawa terbahak-bahak.

“Kamu mau apa, Arez?” Luna mulai terisak. Air matanya mengalir deras dipipi. Ia sangat takut. Arez berjalan mendekati Luna. Menyentuh dagu Luna. Kemudian, ‘PLAK!’ ia menampar wajah Luna sampai memerah.

“Berani-beraninya bermain dengan laki-laki lain di belakangku. Ini akibat yang harus kau tanggung!” suaranya penuh kebencian. Luna mendongak ke atas. Memperhatikan wajah Arez yang memerah menahan emosi.

“Lalu siapa wanita yang kau cumbu di toilet kampus tanpa sepengetahuanku itu, Arez?” sindirnya dengan sinis.

“Brengsek! ‘Plak!’, ia menampar Luna berkali-kali. Membuat sudut bibirnya mengeluarkan darah. Luna meringis menahan sakit. Dalam hatinya tak berhenti memanjatkan doa agar ada yang mau menyelamatkannya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Arez menyambar tas Luna secara paksa dan mengeluarkan ponsel Luna.

“Serahkan nyawamu atau Luna akan mati.” Katanya kepada seseorang yang menelpon Luna.

“Guys! Ikat cewek ini lalu tutup mulutnya dengan lakban. Setelah itu kita tinggal disini sampai mati. Hahahah!” ia memerintahkan teman-temannya. Lalu ia melemparkan tas dan ponsel Luna lalu pergi meninggalkan tempat itu. Teman-temannya segera mengerjakan perintah Arez lalu pergi mengikuti Arez meninggalkan Luna.

“Luna? Dia membawa Luna. Aku harus menemukan Luna,” Gandhi terkejut saat yang mengangkat telepon Luna adalah laki-laki yang mengancamnya. Gandhi berpikir sejenak. Ia teringat sesuatu. Ia pernah memasang GPS di ponsel Luna. Gandhi segera mengecek GPS. Dan benar saja, GPS Luna aktif. Berada di satu titik yang sangat jauh. Gandhi segera bergegas menuju petunjuk itu.

Berjam-jam waktu yang ia tempuh untuk sampai di titik merah di ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul 00.00 WIB. Tante Silvi sudah menghubunginya berkali-kali.

“Tolong selamatkan Luna,” suara tante terdengar lemah. Ia benar-benar khawatir dengan Luna. Gandhi berusaha menyakinkan Tante Silvi.

“Saya akan membawa Luna pulang, Tante. Percayalah.” Ia segera menutup teleponnya. Tangannya mengepal. Emosi didadanya bergemuruh.

Gandhi sudah sangat dekat dengan lokasi Luna. Ia berdiri tepat di depan sebuah gedung tua yang tak terawat. Gandhi berjalan menyusuri gedung itu, berusaha menemukan Luna. Suasana gelap gulita. Ia menghidupkan senter di ponselnya. Menyenteri setiap sudut gedung itu.

“Luna?” ia memanggil nama Luna, berharap Luna mendengarnya.

“Luna?!” nadanya meninggi. Supaya Luna bisa mendengarnya. Namun hanya suara jangkrik yang terdengar. Gandhi terus menyusuri setiap ruangan di gedung itu. Meskipun ia merasa sedikit merinding tapi demi Luna ia memberanikan diri. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 00.30 Wib. Sudah larut malam, namun Luna belum juga di temukan. Hingga sinar senternya berhenti di satu titik. Ada seorang wanita yang duduk di atas kursi dalam keadaan terikat dan mulut di tutup lakban. Wanita itu sangat berantakan. Gandhi mendekatinya.

“Luna?” panggilnya. Wanita itu mengangkat wajahnya. Air matanya berderai di wajah yang sangat kotor. Mata Gandhi membelalak. Ia segera melepaskan tali yang mengikat tangan Luna. Menarik lakban dimulutnya. Luna jatuh pingsan. Gandhi segera mengangkat tubuh Luna dan membawanya keluar dari gedung.

Luna membuka matanya. Ia menatap langit-langit ruangan tempat ia berbaring. Dilihatnya dinding putih bersih dengan aroma khas obat-obatan di sekitarnya. Pintu ruangan itu terbuka, Tante Silvi berhambur memeluknya.

“Luna!” jerit Tante Silvi. Nadanya begitu khawatir. Ia menangis.

“Tante, Luna baik-baik aja kok.” Luna tersenyum sambil menatap wajah Tante Silvi.

“Harus bagaimana lagi Tante menjaga kamu, Luna,” tante Silvi menangis terisak. Ia menyesal karena tidak bisa membuat Luna berhenti masuk ke rumah sakit. Luna menghapus air mata Tante Silvi sambil tersenyum.

“Tante udah jagain Luna dengan baik kok. Luna aja yang kurang hati-hati,” Luna melirik ke arah Om Farid yang berdiri menatapnya dengan penuh kekhawatiran.

Terpopuler

Comments

Putra Dgiel

Putra Dgiel

jadi ikutan gerem,,
andai arez ada di dpan ku udh ak hajar dia😡

2021-02-02

1

MARY DICE

MARY DICE

Arez beneran spikopat

2020-12-26

1

Fatma Kodja

Fatma Kodja

dasar pcr tdk ada akhlak😑😑😑😑

2020-12-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!