Bab 2

Apa yang ditakutkan menjadi kenyataan. Luna memberinya ruang dan jarak untuk bertemu. Persahabatan mereka merenggang. Gandhi menyesali perbuatannya. Tidak seharusnya ia ceroboh, seenaknya menaruh isi hatinya didalam secarik kertas yang nantinya akan ditemukan oleh Luna.

“Maafkan aku, Lun,” Gandhi memohon kepada Luna untuk tidak memutuskan persahabatan. Gandhi tidak bisa hidup tanpa Luna.

“Kenapa harus aku, Gandhi?” matanya berkaca-kaca.

“Ini bukan rencanaku, Luna. Perasaan itu tumbuh begitu saja.” Ia menyesal.

“Sejak kapan?” ia menatap nanar.

“Sejak pertama kali bertemu.” Jawabnya jujur. Luna memijit kepalanya yang dirasa begitu sakit. Ia tidak menyangka jika sahabatnya telah memendam perasaan kepadanya sejak lama.

“Kamu tidak perlu khawatir, Luna. Aku sudah terbiasa memendam perasaanku. Abaikan saja perasaanku dan tetaplah menjadi sahabatku seperti dulu. Jangan ada yang berubah. Aku mohon,” suaranya bergetar penuh harap. Luna terdiam. Ia menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Arez meninju batang pohon yang ada didekatnya. Ia meringis kesakitan karena batang pohon itu terlalu keras. Mulutnya tak berhenti memaki. Rasanya emosi itu sudah menggelegak di dadanya dan tak dapat dibendung lagi ia berlari dengan membabi buta. Menarik kerah seseorang di depannya dan ‘BUGH!’ meninju wajahnya berkali-kali. Luna menjerit panik. Tubuhnya gemetar. Dilihatnya Arez yang sedang menghajar Gandhi tanpa ampun di hadapannya.

“STOP!!” jeritnya sambil menutup telinga. Arez menghentikan pukulannya, menoleh ke arah Luna dengan sorot mata tajam. Luna menciut. Ia begidig melihat tatapan tajam Arez. Luna memundurkan kakinya tiga langkah kebelakang. Arez berjalan mendekatinya. Ia sudah tertutup nafsu amarah. Lupa jika Luna adalah kekasihnya. Dicengkeramnya wajah Luna sehingga Luna kesakitan.

“Wanita murahan!” makinya. Tangannya kanannya terangkat, siap untuk menggampar wajah Luna. Namun sebelum tangan itu mendarat di wajah Luna, sebuah tangan lain menangkapnya.

“Laki-laki pengecut beraninya memukul wanita!” teriaknya. Api amarah dalam tubuh Arez semakin membeludak. Ia menghajar Gandhi bertubi-tubi hingga wajahnya babak belur. Darah mengucur dari pelipisnya yang robek akibat pukulan Arez. Luna syock, ia menangis sejadi-jadinya. Hingga tak mampu lagi bersuara. Luna jatuh terduduk di tanah. Kakinya mendadak lemas.

Suasana menjadi riuh bergemuruh. Semua mahasiswa yang berada disekitar beramai-ramai melihat perkelahian itu. Tidak ada yang berani melerai, mereka semua tahu siapa Arez. Laki-laki terkejam di kampus yang hobinya berkelahi dengan siapapun yang di anggap menentangnya. Gandhi tersungkur ke tanah. Sudah tidak berdaya. Tubuh Arez jauh lebih kekar dari tubuhnya. Ia tak sanggup menandingi Arez. Arez sudah bosan dengan aksinya karena tidak ada perlawanan dari musuhnya. Ia berdiri, menendang Gandhi yang sudah meringkuk menahan sakit. Menoleh ke arah Luna lalu ia pergi sambil mengacungkan jari tengahnya.

Gandhi melihat Luna dengan susah payah. Pandangannya semakin kabur tertutup oleh darah yang mengalir deras di wajahnya. Tangannya terangkat hendak menggapai Luna. Luna masih terdiam sambil menangis. Gandhi berusaha merangkak mendekati Luna. Ia memeluk Luna dengan perasaan bersalah. Luna pasrah, ia menangis dalam pelukan Gandhi.

“Luna? Ayo keluar, sudah dua hari kamu tidak mau makan, kalo ada masalah cerita sama Tante, Tante jadi merasa bersalah sama Ibu kamu kalau kamu kayak gini,” bujuk Tante Silvi. Ia berdiri di depan kamar Luna. Pintunya terkunci dari dalam. Luna tak bersuara.

“Lun, ayolah, Ibu kamu bisa sedih kalau tau kamu seperti ini,” suara Tante Silvi memelas.

Sudah lebih dari sepuluh kali hari ini Tante Silvi bolak balik membujuk Luna agar keluar dari kamar. Namun tak ada sahutan. Luna mengunci pintu kamarnya dari dalam sehingga Tante Silvi dan Om Farid kesulitan untuk masuk.

“Gimana, Tante?” tanya Gandhi. Tante menggeleng dengan raut wajah sedih. Gandhi bergegas menuju ke kamar Luna. Menggedor pintunya dengan keras.

“Luna! buka pintunya!” teriaknya. Tetap tak ada sahutan dari dalam.

“Luun!” semua yang ada dirumah itu khawatir karena Luna tak bersuara sama sekali. Gandhi bersiap untuk mendobrak pintu.

“Tante, maaf,” setelah berkata begitu, dengan sekuat tenaga ia mendobrak pintu kamar Luna. ‘BRAK!’ pintu kamar terbuka, dilihatnya Luna terbaring lemas di atas tempat tidur. Wajahnya pucat. Ia kehilangan energi karena tidak makan selama dua hari. Gandhi menggendong tubuh Luna dan di masukkan ke dalam mobil. Mereka membawa Luna ke rumah sakit.

Sudah tiga hari Luna di rawat inap, Tante Silvi dan Om Farid bergantian menjaganya. Terkadang Gandhi juga kerap menjaga Luna. Luna meminta Tante Silvi untuk tidak memberitahu Ayah dan Ibu di Bandung. Luna tidak ingin membuat Ibu dan Ayah sedih. Tante Silvi menurut asalkan Luna tidak mengulangi perbuatannya.

“Gandhi, tante mau tanya, sebenarnya apa yang terjadi sama Luna?” tante bertanya penuh selidik. Ia mencurigai mereka. Saat Luna mengunci diri dikamar, Gandhi sering datang untuk menanyakan keadaan Luna dengan keadaan wajah yang babak belur. Tante sudah menduga sejak lama namun ia sengaja tidak menanyakannya langsung.

“Gandhi, tante tau, Luna pasti ada hubungannya dengan wajahmu yang waktu itu babak belur. Tante gak akan pernah izinkan kamu berhubungan lagi dengan Luna kalau kamu menyembunyikan rahasia dari tante.” Ancamnya. Gandhi berpikir sejenak. Ia ragu. Namun ia berusaha percaya kepada Tante Silvi.

“Aku menyukai Luna,” ia berkata jujur. Tante terperangah.

“Arez~Kekasih Luna mengetahui hal ini, lalu dia menghajarku dan memaki Luna.”

“Astagfirullah.” Tante menutup mulutnya.

“Maafin aku, Tante. Ini salahku.” Suaranya bergetar. Dadanya terasa sesak. Tante Silvi diam sejenak. Mencerna semua perkataan Gandhi. Menenangkan pikirannya.

“Kamu tidak salah, Gandhi. Tolong jaga Luna.” tante mengelus pundak Gandhi. berusaha tersenyum namun getir. Gandhi semakin merasa bersalah. Ia diam, menunduk.

Hari keempat Luna sudah di perbolehkan pulang. Ia harus banyak mengkonsumsi buah dan sayur agar energinya kembali. Luna pulang bersama Tante Silvi dan Om Farid. Gandhi tidak ikut mengantar karena sedang ada jam kuliah. Sesampainya dirumah, Luna langsung menuju kamar. Pintunya rusak sejak di dobrak oleh Gandhi. Tante Silvi jadi bebas keluar masuk kamarnya.

“Luna, di depan ada Gandhi.” kata Tante yang tiba-tiba sudah berada di dalam kamar. Luna yang sedang membaca buku menjadi terkejut.

“Bilang aja Luna gak ada, Tan.” Luna tetap sibuk membaca buku tanpa menoleh ke depan.

“Jadi yang di sini siapa? Kembaran Luna?” sebuah suara yang ia kenal menimpali. Luna menoleh kedepan. Gandhi sudah berdiri di sebelah Tante Silvi yang sedang tersenyum.

“Mentang-mentang pintunya udah di rusak jadi kamu bebas masuk ke kamar aku?” Luna kesal. Gandhi tertawa.

“Maaf, Lun. Aku terpaksa. Kalau gak begitu kamu akan mati lemas di sini.” Ledeknya. Luna mendengus kesal. Ia beringsut dari tempat tidur dan berjalan melenggang melewati Gandhi. Gandhi mengikutinya. Luna duduk di sofa di ikuti oleh Gandhi. sedangkan Tante pergi ke dapur untuk membuatkan minum.

“Apa kabar, Luna?”

“Gak usah basa basi.” Jawabnya ketus.

“Oh iya, nih aku bawakan tugas dari Pak Arman, minggu depan di kumpul.” Ia menyerahkan selembar kertas berisi tugas-tugas kuliah. Luna memeriksa isi kertas itu kemudian mengerucutkan bibirnya.

“Jawabannya mana, nih!” ia melemparkan kertas itu ke arah Gandhi.

“Aku pikir kamu gak mau, Lun.” Gandhi tertawa. Melihat itu Luna pun ikut tertawa.

Terpopuler

Comments

Aryani Dinda

Aryani Dinda

tiap percakapan dispasi dong Thor seperti paragraf baru. jd lebih enak bacanya

2021-06-11

1

Arnijum

Arnijum

ares gk cari gt

2020-12-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!