Pernikahan Di Atas Luka
“Aku tak rela jika Arez menyakitimu.” Suaranya bergetar menahan emosi yang bergemuruh di dadanya.
“Sudahlah, aku tidak apa-apa.” Luna tersenyum. Berusaha menenangkan Gandhi. Ia sudah bersahabat dengan Gandhi selama 2 tahun. Mereka bertemu di kampus saat menjadi mahasiswa baru. Gandhi adalah teman satu kelas Luna. Luna masih ingat jika dulu Gandhi masih terlihat kekanak-kanakkan, penampilan apa adanya dan terkesan culun. Sekarang Gandhi yang ia kenal telah berubah, menjelma menjadi seorang laki-laki tampan nan baik hati.
“Jika Arez melukaimu lagi, aku tidak segan-segan untuk menghajarnya.” Katanya geram. Ia mengepalkan tinju. Luna menggenggam tangannya. Kepalan tinju itupun perlahan mengendur.
“Tenanglah, Gandhi.” Luna mengusap punggungnya. Memadamkan bara api yang bergejolak di dalam tubuh Gandhi. Gandhi menatap Luna dalam-dalam. Hatinya sedikit tenang, ia melemparkan senyum kepada Luna. Namun terkesan getir.
Arez adalah kekasih Luna. Gandhi tidak menyukai Arez karena Arez selalu menyakiti Luna. Bahkan Gandhi pernah memergoki Arez yang sedang bercumbu mesra dengan gadis lain di toilet kampus. Sejak saat itu, Gandhi membenci Arez, ia melarang Luna untuk berhubungan dengan Arez. Namun Luna tetap percaya kepada Arez.
“Kamu kenapa sih begitu percaya kepada b*jing*n kampus itu?” tanyanya dengan nada kesal.
“Huss! Dia itu kekasihku, masa kau sebut dia itu b*jing*n,” sergah Luna.
“Kekasih tak akan pernah menyakiti, Lun.”
“Dia tidak benar-benar ingin menyakitiku, buktinya dia masih selalu memberiku kabar, menelvonku setiap saat,”
“Ahh itu hanya tipuan fuckboy,” Gandhi menyela. ‘Bugh!’ Luna memukul bahunya.
“Sudah! Jangan berkata apa-apa lagi,” Luna beranjak dari tempat duduknya. Gandhi mengekor, mensejajari langkah Luna. Mereka memasuki kelas karena kuliah akan segera berlangsung. Gandhi duduk di sebelah Luna, mengeluarkan buku-bukunya. Mereka mengikuti perkuliahan hingga selesai.
“Lun, tunggu di sini, ya. Aku mau membawa tugas-tugas itu ke meja Pak Arman.” Katanya sembari membawa tumpukan tugas-tugas yang dikumpulkan untuk di bawa ke meja Pak Arman~Dosen mereka. Luna membereskan buku-bukunya dan dimasukkan ke dalam tas. Kemudian membereskan buku-buku milik Gandhi yang berserakan di meja.
‘Srak!’ sehelai kertas jatuh ke lantai, kertas itu berasal dari buku milik Gandhi yang ia pegang. Luna memungutnya karena ia mengira itu adalah kertas ujian milik Gandhi yang sengaja di selipkan di dalam buku. Ia berniat untuk mengejek Gandhi jika dilihat nilainya C. Ia membuka kertas itu dan membacanya.
“Apa ini?” gumamnya. Kertas itu bukan lah kertas ujian milik Gandhi. Melainkan sebuah catatan kecil yang isinya membuat Luna mengerutkan dahi. ‘Aku mencintainya, aku tidak rela melihatnya tersakiti, aku ingin menjadi seseorang yang amat penting dihatimu, Luna’. Luna menutup mulutnya, dadanya mendadak sesak. Ia buru-buru memasukkan kertas itu ke dalam buku dan meletakkannya didalam tas Gandhi. Ia meninggalkan kelas itu dan melupakan pesan Gandhi yang meminta untuk menunggunya.
Kelas itu kosong, hanya tersisa tas miliknya yang masih tergeletak di atas meja. Matanya berkeliling mencari-cari sesuatu.
“Dimana Luna?” ia menyambar tas itu dan bergegas keluar untuk mencari Luna. Berjam-jam ia telusuri setiap sudut kampus namun Luna tidak ia temukan. Ia pasrah dan akan menemui Luna di rumahnya.
“Assalamualaikum,” sapanya sambil mengetuk pintu. Seorang wanita separuh baya membukakan pintu itu.
“Waalaikumsalam, siapa ya?” bertanya dengan penuh selidik.
“Saya Gandhi, Tante. Teman kuliah Luna.” Katanya.
“Oh, Luna sedang Tante suruh untuk membeli sesuatu ke supermarket. Jika mau nunggu....”
“Saya akan tunggu, Tante!” ia memotong perkataan Tante Silvi - Adik dari Ibu Luna. Tante Silvi memicingkan matanya. Memperhatikan Gandhi dari atas sampai ke bawah. Kemudian mempersilahkan Gandhi untuk menunggu di ruang tamu.
Lima belas menit kemudian Luna muncul sambil membawa titipan Tante Silvi. Ia terkejut melihat Gandhi. Ia berusaha tenang dan berjalan mendekati Gandhi di ruang tamu.
“Bentar, ya. Aku kasih ini ke Tante dulu.” Gandhi mengangguk. Luna masuk ke dalam untuk memberikan titipan Tante.
“Tante, kenapa Tante izinin dia nunggu Luna?” bisiknya pada Tante.
“Loh, memangnya ada apa, Lun?”
“Em gak papa, Tante. Ya udah ini pesanan Tante.” Luna menyerahkan bungkusan itu kepada Tante kemudian bergegas mengambil air dingin di kulkas untuk diberikan kepada Gandhi.
“Nih, alakadarnya.” Katanya sambil menyodorkan minuman itu ke arah Gandhi.
“Kamu kok pulang duluan?” tanyanya dengan nada menghakimi.
“Sorry, tadi buru-buru, di telpon Tante untuk beli titipan tadi,” kilahnya.
“Oh, aku kira ada apa.” Luna tersenyum kecut. Ia meneguk minuman di tangannya untuk menghilangkan canggungnya.
“Di, mendingan kamu pulang, deh.”
“Loh, kok aku di usir?”
“Nanti Arez mau datang.” Ia berbohong lagi.
“Ooh, oke.” Gandhi segera bangkit dari tempat duduk dan melangkahkan kaki menuju keluar tanpa berbasa basi. Luna melihat api cemburu dari mata Gandhi. tulisan milik Gandhi tidak salah. Gandhi memang menyukai Luna. Dan ia memendamnya sedemikian rupa agar Luna tidak mengetahui perasaannya. Luna tersenyum kecut. Ia menjadi tidak nyaman berada di sebelah Gandhi. Ia melihat Gandhi sudah bukan seperti sahabatnya lagi, namun seperti laki-laki yang memiliki perasaan lebih kepadanya.
Sudah hampir satu minggu, Luna menghindari bertemu dengan Gandhi. Bahkan seperti bermain kucing-kucingan. Gandhi menjadi curiga dengan keanehan sikap Luna. Ia berhasil memergoki Luna yang sedang duduk membaca buku di perpustakaan. Ia menghampiri.
“Lun, kenapa kamu menghindari aku?”
“Siapa yang menghindarimu?”
“Lalu?”
“Aku hanya sibuk dengan kegiatanku.”
“Kegiatan apa?”
“Kegiatan....semacam... tugas. Ya tugas kuliah.” Luna terbata-bata.
“Bukankah kita satu jurusan? Kita kan gak ada tugas minggu ini, Lun?” Gandhi mencurigai Luna.
“Ah hahaha, aku.. sengaja buat tugas mandiri aja gitu, hehe.” Luna menggaruk kepalanya. Ia sudah kehabisan ide untuk berkilah.
“Kamu mencurigakan, Lun.”
“Hah?” Luna menoleh terkejut. Ia menjadi sangat gugup. Ia menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan sambil menghela nafas. Ia menyerah.
“Hhhh, ya udah, aku jujur. Aku memang sengaja menghindarimu.” Jelasnya.
“Apa salahku, Luna?” suaranya bergetar.
“Karena..” ia ragu untuk melanjutkan perkataannya.
“Karena apa?”
“Karena...” Luna mengigit bibir bawahnya. Gandhi mendorong Luna untuk berterus terang.
“Karena aku menemukan sebuah kertas catatan milikmu yang kamu simpan di dalam buku.” Tuturnya. Gandhi terkejut. Mulutnya menganga. Nafasnya mendadak sesak.
“Jadi, kamu sudah tahu?” tangannya mendadak gemetar. Luna mengangguk pelan.
Gandhi terdiam beberapa saat di sebelah Luna. Mereka bungkam, Luna pura-pura sibuk menatap buku di hadapannya. Padahal pikirannya telah melayang. Suasana menjadi canggung.
“Maafkan aku, Lun.” Ia membuka suara. Di tatapnya Luna yang tengah fokus membaca buku.
“Lun?” Gandhi menyentuh pundak Luna. Luna terkejut, ia menoleh.
“Aku butuh waktu untuk sendiri.” Luna berdiri. Menatap Gandhi sejenak lalu pergi meninggalkan Gandhi yang termangu di perpustakaan. Ia gundah. Perasaan yang ia simpan dengan rapi telah di ketahui Luna. Ia menyukai Luna sejak pertama kali bertemu. Namun Luna berpacaran dengan Arez. Sehingga ia hanya menyimpan perasaannya sekian lama dan tetap bersahabat baik dengan Luna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Putri Anggel
di dalam cinta ad kesabaran dan dalam kesabaran ad cinta tapi ketika hati sudah di kecewa kn maka jangan pernah percaya lagi ap kata lelaki buaya
2022-11-08
1
Aryani Dinda
di bikin jarak dong Thor tulisannya
2021-06-11
1
MARY DICE
Cinta itu seperti hantu datang tak di undang dan
pergi tak di antar..kita tak pernah bisa menahan kepada siapa cinta itu akan berlabuh. Apakah dengan orang yang tepat atau tidak.
Singgah di novel ku juga ya Kemunafikan Cinta dan Kak Dinda
Ditunggu like dan komen nya
2020-12-26
1