Evan tak berdaya, darah mulai keluar dari mulut dan hidungnya. Dan dia benar-benar pasrah jika seandainya dia harus mati di tangan ayahnya malam ini. Mungkin itu akan membuat mereka semua puas.
Minah benar-benar sudah tidak tahan lagi menyaksikannya. Dengan nekat Minah berlari ke arah Evan dan melindungi tubuh Evan.
"Cukup pak, nanti Evan bisa mati, bapak bisa di penjara!" teriak Minah nekat dengan mata yang basah karena air mata seraya memeluk Evan yang tampak berlumuran darah tak berdaya.
Beberapa saat kesadaran Wisnu seolah kembali, ia menatap Evan yang tampak terkulai di pangkuan Minah pembantu mereka. Minah terus mengusap wajah Evan untuk menyadarkan anak tak berdosa itu. Perlahan Evan kehilangan kesadarannya, sesaat dia seolah lupa dengan kejadian yang ia alami. Tapi minah terus menguat kan Evan, dia mengusap dan berusaha membuat Evan tetap tersadar. Dia benar-benar takut Evan tidak bisa bertahan.
Wisnu kembali mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, karna habis menghajar Evan habis-habisan, itu cukup menguras tenaganya. Tapi dia masih belum puas, dia menatap ke barang-barang milik Evan yang ia duga Evan beli hasil mencuri uangnya.
Dia segera mengambil baju dan laptop Evan lalu membuangnya ke halaman belakang.
Dengan sekuat tenaga Evan berusaha menahan kaki ayahnya seolah memohon bersimpuh di kaki ayahnya. Dia tidak ingin kehilangan satu-satunya barang berharga miliknya yang ia dapatkan susah payah itu.
"Jangan, Pah. Itu beneran punya aku. Aku nggak nyuri," lirih Evan lemah berupaya melindungi barang-barangnya. Dia bersujud memeluk kaki ayahnya erat meminta pengampunan ayahnya kali ini.
Tapi Wisnu malah menyentak Evan hingga Evan terpental dan Minah kembali menghampiri Evan dan memeluknya.
Wisnu menumpahkan minyak tanah dan mulai mematikkan api membakar semua barang-barang itu. Evan hanya bisa pasrah melihat itu semua dengan tatapan nanar. Dia merasa hancur dan kecewa. Melihat barang yang ia dapat dengan susah payah di bakar ayahnya begitu saja. Itu seperti membakar harapannya. Dia memejamkan matanya. Dan menarik nafasnya untuk mengikhlaskan semua, walau terasa berat baginya.
Rima terdiam, dia sama sekali tidak menyangka Wisnu bisa seberingas ini saat marah. Dia menatap Evan yang nampak tercenung oym melihat barang-barangnya yang terbakar. Tapi, dia juga puas, karena anak yang dianggapnya sebagai sumber sakit hatinya mendapatkan pelajarannya.
Untung tadi Minah belum pulang, sedangkan anaknya Minah sudah pulang terlebih dahulu. Sehingga anak kecil itu tidak perlu menyaksikan kejadian ini. Kejadian yang mengerikan.
Terlihat darah Evan berceceran di lantai keramik putih itu. Punggungnya terluka karena cambukan ikat pinggang ayahnya. Tangannya yang berusaha menahan pun ikut terluka. Dari sudut bibirnya terlihat ada robekan kecil karena tamparan ayahnya yang keras tadi.
Tidak lama Tama dan Sahila datang, tepat saat api sudah membara membakar barang-barang berharga milik Evan. Tama dan Sahila bingung apa yang terjadi. Mereka melihat Evan yang sudah babak belur, dari mulutnya tampak darah menetes juga ada di pakaiannya, Sahila segera menghampiri Evan dengan Shock. Dia berusaha mendudukkan Evan yang separuh terbaring di lantai.
"Pa! Kenapa di bakar baju yang Tama beli buat Evan?" tanya Tama. Sontak itu mengagetkan ayahnya. Dia melihat kearah Evan yang masih menatap barangnya yang terbakar dengan tatapan kosong.
"Ka-kamu yang beli? Kenapa sebanyak itu?" tanya ayahnya kurang yakin.
"Tadi aku beli baju itu di mall bareng Evan, sebab dia mau kuliah tapi nggak ada baju kemeja. Makanya Tama beliin banyak biar cukup buat dia kuliah, Pah," terang Tama dengan kesal. "Terus kenapa laptop dia hasil hadiah olimpiade nya juga papa bakar? Pah, Evan dapetinnya penuh perjuangan," ucap Tama lagi separuh berteriak tidak percaya dengan apa yang baru saja ayahnya lakukan. Tama menatap kesal dan penuh amarah ke arah ayah dan ibunya. "Kalian benar-benar keterlaluan. Kenapa kalian sebegitu bencinya dengan dia yang nggak pernah nyusahin kalian, Hah!? Kalian pengen bunuh dia? Bunuh aja sekalian. Dari pada kalian siksa dia kayak gini," ucap tama emosional dan dia mulai muak dengan sikap ibu dan ayahnya selama ini.
"Ja-jadi ini memang punya dia?" lirih Wisnu masih tidak yakin, sekaligus mulai merasa bersalah.
Dia melihat kearah Evan yang terluka, sedang di peluk Sahila sambil menangis. Evan menatap tajam kearah ayahnya. Ini sudah keterlaluan baginya. Dia akan ingat ini semua seumur hidupnya.
"Kalau bukan dia siapa yang nyuri uang papa di brankas di ruangan papa?!" tanya ibunya.
"Aku yang ambil, Pa. Robert butuh uang kemaren buat pesta ulang tahunnya bareng temen-temennya, dia janji seminggu lagi dia ganti," ucap Sahila mengagetkan semua orang dengan masih memeluk adiknya itu.
"Kenapa kamu ambil tanpa izin papa!" teriak ayahnya tidak percaya. Apalagi dengan apa yang sudah dia perbuat pada Evan atas kesalahpahaman ini.
"Robert janji paling lama seminggu, tapi tiap kali Sahila tagih dia bilang nanti-nanti terus. Sahila pikir dia bakal cepet gantinya. Mungkin uang papa nggak akan di gantinya. Makanya Sahila nggak berani ngomong," terang Syahila tertunduk. Wisnu dan Rima hanya terdiam mendengar pengakuan Syahila.
Evan lega akhirnya kebenaran terungkap, tapi tetap saja barang-barang nya sudah di bakar ayahnya. Ayahnya menatap Evan yang tengah menatap barang-barang nya yang sudah terbakar. Dia tidak mampu mengucapkan maaf pada Evan yang tidak bersalah, sehingga dia pergi begitu saja. Sedangkan ibunya juga jadi malu sendiri karena sudah menuduh Evan, tapi juga tidak mungkin mengucapkan maaf padanya, dia pun segera menyusul suaminya meninggalkan Evan yang dalam keadaan terluka.
"Maafin mbak, ya! Nanti mbak ganti semuanya," ucap Sahila dengan suara bergetar menahan tangisnya, karena sedih melihat adiknya di perlakukan begitu buruk oleh orang tuanya. Evan hanya terdiam tidak perduli. Baginya hari ini sudah cukup menjadi alasannya untuk segera meninggalkan keluarga ini.
***
Beberapa hari dia tidak masuk sekolah untuk memulihkan lukanya. Dia tidak mau semua orang tau bagaimana buruknya dia diperlakukan oleh orang tuanya di rumah. Baginya itu adalah harga dirinya dalam menjaga nama baik keluarganya. Biar lah sakit itu menjadi rahasianya sendiri bersama keluarganya.
Setelah kejadian itu Evan jadi sangat serius mengurus beasiswanya. Dia berusaha keras agar lulus A Level untuk mengikuti beasiswa di Oxford. Dia bertekad dia harus bisa masuk 30 siswa yang di undang Jardine foundation ke Hongkong, hanya dengan beasiswa penuh dari Jardine foundation lah harapan satu-satunya untuk dia bisa kuliah dan merubah masa depannya, agar ia tidak selalu dianggap menjadi Benalu di keluarganya.
Begitu menyakitkan baginya selalu dianggap Benalu yang menumpang hidup, terlalu mudah dia untuk di curigai dan di benci tanpa sebab. Betapa dia sudah berusaha menjadi anak baik selama ini, bahkan dia dianggap pun tidak. Sekedar makan satu meja bersama pun ayah dan ibunya tidak sudi dengannya.
Bila mengingat itu sering terlintas di benaknya, apa jika dia mati kedua orang tuanya akan puas. Jika surga di telapak kaki ibu, maka dia tidak akan pernah mendapatkan itu, karena ibunya tak pernah mau di sentuh olehnya.
Di tengah lamunannya, dia di kejutkan oleh Jamia.
"Kenapa?" tanya Jamia. Mereka tengah berada di toko abah Jamia atau sering di panggil Evan pak haji. Jamia putri bungsunya yang cantik, berlesung pipit dan sangat manis.
"Nggak! Nggak ada apa-apa!" ucap Evan gelagapan sambil tersenyum kearah Jamia. Jamia menatap Evan dengan senyum manisnya yang membuat mereka saling tatap untuk sesaat. Hingga beberapa kemudian mereka kembali tersadar. Evan juga menaruh hati dengannya, tapi Evan lebih memilih meredamnya bukan hanya karena dia ingin fokus sekolah, tapi juga karena dia merasa tidak pantas.
Mereka memiliki perasaan yang sama tapi saling menutupi dengan alasan yang berbeda, Jamia terlalu malu untuk mengungkapkannya karena merasa Evan yang sudah terlanjur menganggapnya adik. Sedangkan Evan malu karena merasa tak pantas.
Saat tadi mereka saling tatap ada jantung yang berdegup tidak menentu, mereka segera membuang muka dengan pura-pura sibuk. Lalu pergi. Jamia suka dengan sikap tenang dan baik hati Evan. Evan suka dengan sikap lembut dan santun Jamia. Mungkin kah suatu hari nanti mereka akan bersama dalam ikatan yang di restui tuhan.
Ah... Itu mimpi indah yang takut untuk mereka impikan. Sama-sama takut kecewa dengan harapan mereka. Dan mereka masih terlalu muda untuk memikirkan itu.
...***...
Hari sudah magrib, mereka berdua sering pergi ke masjid bersama, beserta dengan Anto. Walaupun Anto sering belok ke gang sebelah di bandingkan sampai masjid. Dia menggunakan alasan shalat di masjid sebagai senjata untuk keluyuran malam. Sedangkan Jamia dan Evan selalu sampai tujuan.
Saat pulang Evan selalu pulang belakangan karena harus menunggu kakek supri pulang dulu. Kakek supri adalah kakek tua yang sebenarnya sudah tidak kuat untuk ke masjid tapi karena keras kepala dia sering memaksa kan diri untuk pergi. Dan saat pulang dia sering lupa atau ketinggalan sendalnya, jadi Evan selalu menunggu beliau kalau pulang dari masjid untuk menuntunnya memakaikan sendalnya.
"Tuh! Jangan di ilangin lagi. Nanti di marahin bude Ami lagi kalo ilang," ucap Evan lembut yang di sambut tawa si kakek, Evan pun ikut tersenyum mendengar tawa renyah si kakek.
"Kemaren sendalnya ilang. Mau di larang Ami ke masjid kakek," adu si kakek di akhiri dengan tawa renyahnya dengan menunjukkan gigi ompongnya membuat Evan ikut tertawa.
"Ya iyalah, tiap hari beli sendal siapa yang mau?!" ucap Ami anak si kakek tiba-tiba. Evan dan si kakek pun segera menoleh ke sumber suara. Bude Ami baru saja datang hendak menjemput si kakek. "Kemaren kamu nggak ke masjid, Van. Ilang sendalnya. Ini kalo Evan udah kuliah nggak usah ke masjid lagi, nggak sanggup aku pak, ngawasin kamu ke masjid tiap hari," ucap bude Ami. Bude Ami adalah pedagang sarapan pagi, jadi kalau malam dia sibuk mengurus dagangannya.
" Dari mana bude?" tanya Evan yang melihat bawaan Ami.
"dari belanja di toko pak haji tadi. Ini tadi sekalian lewat ngeliat kakek. Di ilangin lagi nggak sendalnya," ucap Ami. Dia sebenarnya sangat menyayangi ayahnya, tapi ayahnya tidak mau mendengar ucapannya. Sehingga dia sering mengomel dengan ayahnya. Begitu lah cara dia menjaga ayahnya yang sulit diatur itu.
Si kakek sangat menyayangi Evan karena sikap Evan yang sering membantunya. Begitu pula Ami dia sangat terbantu dengan sikap baik hati Evan. Jamia selalu kagum dengan sikap telaten Evan menuntun sendal kakek Supri.
Akhirnya kakek Supri pun pulang bersama anaknya. Tinggal Evan bersama Jamia, yang tidak lama Anto pun datang. Entah dari mana dia sedari tadi.
Mereka bertiga pun juga pulang ketempat masing-masing. Jamia dan Evan ke toko, Anto ke rumahnya. Dia sudah tidak ada alasan buat keluyuran lagi.
Sesampainya di toko mereka duduk berdua di sebuah kursi di depan toko. Evan selalu ke toko sampai toko tutup. Karena tugasnya membereskan dagangan dan menutup tokonya setiap malam.
Suasana hening hanya ada suara jangkrik yang bernyanyi, karena memang sudah jam 9 malam, semua orang sudah berada di dalam rumah masing-masing.
"Eh, iya, Van! Dari tadi aku mau nanya, Kok bibir kamu kayak berdarah. Tadi juga aku lihat kamu juga sering pegang perut," tanya Jamia yang mulai menyadari fisik Evan.
"Aku di tuduh nyuri sama mami, papa kemaren malam. Aku di hajar papa. Baju sama laptop aku di bakarnya," ucap Evan. Itu membuat Jamia bersimpati. Hanya pada Jamia lah Evan mau jujur.
"Ya ampun!! Sampe segitunya mereka, Van. Terus kamu diam aja di tuduh gitu?" tanya Jamia lagi.
"Kak Syahila sama mas Tama dateng terus jelasin," ucap Evan lagi dengan raut wajah sedih. "Mereka minta maaf pun nggak karena udah nuduh aku. Kenapa aku sering dicari-cari kesalahannya? Kalau mereka nemu kesalahan aku, mereka kayak nemu alasan buat hajar aku." ucap Evan lagi." apa aku kayak Benalu di hidup mereka? Rasanya aku pengen pergi jauh dari mereka, biar mereka puas," ucap Evan. Sebercik amarah terlihat di raut wajahnya.
"Jangan dendam. Mereka orang tua kamu. Berdoa aja suatu hari nanti pintu hati mereka terbuka buat kamu, Van," ucap Jamia yang sangat takut jika Evan akan berubah jadi jahat seandainya dia mendendam. "aku nggak mau kamu jadi jahat. Kalo kamu nyimpan dendam," ucap Jamia mengutarakan isi hatinya.
"Hmmm!" gumam Evan seraya menoleh kearah Jamia, seakan mencari makna dari ucapan Jamia barusan.
"Udah malam. Aku tidur dulu," ucap Jamia langsung pergi meninggalkan toko yang Seakan-akan sadar dengan Ke ceplosannya bicara. Dia terus memukul-mukul pelan mulutnya karena merasa malu dengan yang barusan di ucapkannya. Sedangkan Evan yang masih terpaku di bangkunya hanya tersenyum melihat Jamia yang berlalu.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
𝐀⃝🥀Angel❤️⃟Wᵃf
ohh muslim 😍😍😍😍😍
2024-02-12
0
SR.Yuni
Laporin aja ke polisi minta visum Kamu kan pinter Van...
2024-02-05
2
Dandelion Kecil
😳😳😳😳
2022-07-10
0