Malam itu Evan pulang seperti biasa, dia lewat belakang dan pintu di bukakan oleh Minah. Tampak di luar ayah, ibu dan kakak-kakaknya tengah menikmati makan malam mereka, sedangkan Evan hanya makan di dapur bersama anak Minah yang masih berusia 7 tahun. Bukan hal yang aneh dan menyakitkan lagi bagi Evan di perlakukan begitu. Rasa sakit di asingkan sudah mati di hatinya, dia sudah tidak peduli lagi dengan semua itu.
"Tadi siang nenek Adi bikinin gulai kalio ayam," ungkap minah sambil menyajikannya di meja makan sederhana mereka di dapur. Tapi walaupun begitu, Evan tetap menikmati acara makan malam sederhana ini, yang berbanding terbalik dengan makan malam mewah keluarga nya di luar dengan menu restoran mahal dan ruang makan yang besar. Tampaknya mereka tengah merayakan sesuatu dan Evan tidak masuk kebagian dari acara itu.
Nenek Adi memang keturunan padang, jadi dia pandai memasak masakan padang. Evan sering di bawakan masakan nenek Adi. Minah sengaja melakukan itu untuk Evan, tak lebih karena rasa sayangnya kepada Evan yang telah ia rawat sedari kecil.
"Adi tadi siang nambah 3 kali," terang Adi bangga pada Evan dengan expresi lucunya, Minah yang juga ada di sana tertawa mendengarnya bersama Evan.
"Pantas buncit ya!" seru Evan seraya memegang perut Adi. "kalo gitu jatah Adi udah abis, ini jatah mas Evan lagi!" goda Evan pada anak kecil gembul hitam manis itu. Karena Adi paling suka bermain sepeda bersama teman-temannya, itu membuat kulitnya menjadi gosong terkena sengatan matahari setiap harinya.
Berbanding terbalik dengan Evan yang putih bersih, itu membuat Adi merasa cemburu pada Evan, apalagi Evan sering menggodanya dengan membandingkan kulit mereka berdua. Kekesalan Adi saat di godanya itu menjadi hiburan tersendiri bagi Evan saat di rumahnya yang sudah seperti neraka baginya selama ini.
Di tengah keseruan makan malam mereka yang diselingi canda tawa Evan dan Adi, tiba-tiba Rima datang. Ia datang untuk mengambil steak yang sedang di panaskan nya tadi di microwave.
"Minah, mana steak nya?" tanya Rima dengan nada dingin. Minah pun segera mengambil steak tersebut di microwave yang sudah di matikannya dan menyerahkan nya pada. Lalu ia pun pergi tanpa menyapa Evan sama sekali.
"Mbak Syahila baru dapat kerja di BUMN katanya," terang Minah tanpa di minta kepada Evan. Evan hanya tersenyum kecut mendengarnya, lalu kembali menikmati makan malam nya bersama Adi.
Evan sudah biasa di perlakukan begitu, bahkan dia tidak pernah di tawari makan bersama, dan tidurpun masih di kamar belakang, uang jajan sekolah nya dia cari sendiri dan sesekali Tama membagikan uang sakunya pada Evan jika dia mendapatkan proyek. Sedangkan kedua orang tuanya sangat jarang memberikan nya uang. Hanya jika sudah di ingat kan oleh Tama atau Syahila baru ayahnya akan memberikannya, itu pun pas-pasan. Evan tidak habis pikir kenapa dia masih di sebut benalu di keluarga ini, padahal dia tidak banyak menuntut apapun, di beri dia terima, jika tidakpun dia tidak berkomentar.
Selesai makan dia pun segera ke kamarnya untuk beristirahat. Dia segera merebahkan dirinya di kamar 2X3 meter, kecil dan pengap yang menjadi tempat istirahat nya. Dia duduk bersandar di atas kasur tanpa ranjang itu. Kamar Evan memang kecil, tapi Evan selalu merapikannya, sehingga terlihat bersih dan tidak berantakan walaupun isinya penuh dengan barang-barang milik Evan. Terutama buku, karena Evan memang gemar sekali membaca. Kali ini Evan pun menyempatkan untuk membaca buku di sela waktu istirahatnya.
(Kamar Sederhana Evan)
Tiba-tiba Tama datang. Dan berdiri di depan pintu kamar Evan, dia mengetuk pintu kamar Evan sebagai tanda kedatangannya. Evan segera menoleh kearah sumber suara dan menutup buku bacaannya.
"Lagi apa?" tanya Tama dari depan pintu kamarnya yang kebetulan terbuka.
"Nggak lagi apa-apa, mas. Cuman lagi santai aja," jawab Evan sambil meletakkan buku bacaannya di sampingnya.
"Eh, ikut mas Tama, yuk! Kita shoping bentar," ajaknya.
"Wah! Lagi dapat proyek besar, nih!" tebak Evan sumringah. Tama hanya tersenyum penuh arti.
Evan bangkit dari duduknya dan meletakkan bukunya kembali ke rak buku sederhana di samping ranjangnya. Ia segera menjangkau jaketnya dan mengikuti Tama berjalan menuju mobilnya. Mereka segera menyusuri jalanan ibu kota yang cukup ramai dan padat di malam hari itu. Lampu malam menghiasi
jalanan, tampak banyak pemuda-pemudi yang tengah menikmati malam mereka dengan berkumpul di taman kota sepenjang perjalanan mereka.
Tidak lama Evan dan Tama sampai di salah satu Mall yang cukup besar di kota tersebut, karena memang tempat tujuan mereka tidak jauh juga dari kediaman mereka.
Mereka segera menuju salah satu toko outline yang khusus menjual barang-barang branded. Awalnya Evan agak ragu untuk masuk. Dia takut jika Tama membelikannya barang yang mahal, dia takut ibunya akan marah nanti.
"Pilih pakaian yang cocok buat di bawak kuliah. Saran mas sih kemeja aja nanti bisa buat baju kamu kuliah. Ok?" ucap Tama santai seraya mengacungkan jempolnya. Evan hanya diam dengan wajah yang tampak ragu, sedangkan Tama telah duduk di salah satu kursi di toko tersebut seraya memainkan Handphone nya.
Evan menatap Tama sekali lagi, hingga salah satu pelayan toko datang menghampiri Evan dan menanyainya. Evan tampak mulai tersadar dari lamunannya. Sepertinya dia tidak bisa menolak, kakaknya itu pasti tidak akan mau jika dia menolak. Akhirnya Evan putuskan memilih barang dengan harga termurah saja.
Si pelayan turut membantu Evan dalam memilih pakaian yang akan di belinya dengan terus memperhatikan Evan lekat-lekat, dia cukup terpesona dengan wajah tampan Evan. Pembawaan Evan yang tenang selalu dapat memikat siapapun yang melihatnya, apa lagi jika sudah mengenalnya orang-orang akan tahu betapa dewasa dan bijak nya dia. Wajah blasterannya pun tidak kalah mempesona. Dengan postur tinggi, putih dan hidung mancungnya khas orang barat sana. Berbeda jauh jika di bandingkan Tama yang sangat oriental. Karna itu banyak yang mengira Evan bukanlah adik Tama.
Setelah selesai memilih pakaiannya, Evanpun segera menghampiri Tama.
"Udah, mas Tama," ucap Evan seraya menunjukkan pakaian yang dia pilih. 1 kemeja dan 1 celana jeans.
"Kok cuman segitu? Mas Tama bilang buat baju kuliah. Segitu mana cukup. Pilih 6 lagi kemeja, terus 3 lagi celana, 2 sepatu, trus juga kamu butuh jaket beli sekalian. Cepetan, mumpung mas lagi pegang duit. Jadi kamu bisa belanja sepuasnya malam ini," ucap Tama seraya tersenyum dan menepuk pelan lengan Evan, ia pun kembali pada handphone nya setelah itu.
Evan berfikir, dia merasa itu terlalu banyak, nanti ibu nya akan berfikir yang tidak-tidak lagi tentangnya.
"Mas Tama! Jangan kebanyakkan, nanti mami marah. Aku ambil baju 2 lagi aja, ya!" ucap Evan khawatir dan mulai tidak enak.
"Ambil kayak yang mas bilang tadi, atau nggak usah beli sekalian. Itu uang mas Tam-tam bukan uang mami. Jangan takut nanti biar mas Tam-Tam yang ngomong sama mami," ucap Tama masih dengan handphone nya.
Evan hanya diam, dia tampak masih meragu sebelum kembali memilih pakaian belanjaannya.
Tama memang kakak yang baik bagi Evan, walaupun dia tidak membela Evan langsung jika Evan di marahi ibunya atau ayahnya tapi dia selalu membantu menguatkan Evan. Mungkin dia merasa tidak enak dengan kedua orang tuanya. Tapi nurani nya sebagai seorang kakak tetap terpanggil untuk melindungi Evan jika Evan kesulitan.
Setelah puas memilih akhirnya Evan menemui Tama lagi.
"Udah!" ucap Evan kali ini dengan tumpukan pakaian pilihannya di kantong belanjaannya yang belum di bayar.Tama pun menoleh kearah Evan, dan segera bangkit seraya membayar belanjaan mereka.
Selesai berbelanja mereka makan bersama, dia memesan banyak makanan untuk Evan. Dia tau Evan tidak pernah di izin kan makan makanan yang enak kalo di rumah. Jadi dengan cara ini dia memuaskan Evan. Evan tidak berani terlalu tamak, dia selalu memakan makanan secukupnya, dia seakan tidak ingin terlalu banyak mengambil keuntungan dari Tama. Ada rasa segan dan malu di hatinya.
"Udah mas Tama. Aku kenyang, habis makan juga tadi." Ucap Evan yang hanya memilih minuman dan makanan ringan.
Setelah selesai merekapun pulang. Seperti biasa Evan akan jalan lewat samping mengitari rumah saat pulang. Saat di dapur dia melihat ibunya tengah di dapur. Dia tampak keheranan dengan belanjaan Evan yang banyak, dia menatap penuh curiga. Matanya mengekori Evan hingga masuk kamar.
Evan merasa tidak enak, dia merasa seperti pencuri yang kepergok saja. Dia menatap pakaian yang di belikan kakaknya. Dia tidak menginginkan itu jika dia harus di curigai begitu. Akhirnya sesampai di kamar pakaian itu ia geletakkan begitu saja di sudut kamarnya.
Tidak lama ibunya datang. Dia membuka pintu dengan kasar. Dan BRAK suara pintu di banting nya.
"Dari mana kamu, HAH?!" tanya Rima dengan tatapan penuh curiga di depan pintu kamar. Evan cukup kaget dengan kedatangan Rima yang tiba-tiba.
"Dari belanja sama mas Tama," ucap Evan jujur.
"Jangan bohong. Tama nggak ada di rumah sekarang! Dari mana kamu dapatin uang buat beli barang-barang mahal sebanyak ini? Kamu nyuri ya!?" tuding Rima tanpa segan. "Papa baru kehilangan uang 10 juta beberapa hari ini. Dan kamu tiba-tiba bawak barang banyak gini!" Rima terus mengintimidasi Evan penuh curiga. Evan terdiam, dia bingung kenapa dia di curigai. Padahal kerumah utama saja dia jarang, karena tidak di perbolehkan. Dan kenapa Tama tidak ada di rumah. Padahal tadi mereka pulang sama-sama. Apa mungkin dia pergi lagi setelah mengantarnya tadi.
Ahhh... Mana ibunya terlihat mulai cari gara-gara lagi. Dia tidak akan punya alibi jika Tama tidak ada. Jelas ibunya tidak akan menerima alasan apapun darinya, kecuali Tama sendiri yang menyampaikannya.
"Beneran, ma! Mas Tama yang beliin. Tadi kita baru pulang," jawab Evan mencoba mejelaskan walau dia yakin pasti tidak akan di gubris ibunya.
"Tama nggak ada di rumah," ucapnya tajam dan dengan sorot mata yang tampak tak bersahabat "Ngaku saja, kamu kan yang nyuri uang papa?!" tudingnya lagi tanpa henti. Evan terdiam dan memejamkan matanya sesaat. Ia tidak tau harus berkata apalagi sekarang. "Lihat ini, juga laptop baru, kan! Dari mana kamu punya uang buat beli laptop?!" ucap Rima mulai meninggi. Ibunya ini benar-benar sedang mencari-cari kesalahannya.
"Itu hadiah aku ikut olimpiade, Mi," ucap Evan jujur dan dengan nada agak melemah, karena dia tau pasti ibunya tidak akan percaya dengan ucapannya.
"Terlalu banyak hal yang kebetulan. Beli baju dari Tama, laptop dari sekolah. Kamu udah berani mencuri dan udah berani bohong juga ya sekarang! Emang kalo anak nggak bener kelakuannya slalu nggak bener. Lebih baik kamu ngaku kalo kamu mencuri uang papa, iya kan?!" Dengan menyebutnya anak tidak baik, itu sangat melukai hati Evan yang terdalam. Padahal dia tidak melakukan apapun selama ini. Dia selalu menurut dan patuh.
"Aku nggak nyuri!" tegas evan dengan tatapan tidak percaya. Dia mulai jengah selalu di sudut kan begini. "Ini benar-benar mas Tama yang beli tadi, dan semua barang-barang ini aku dapat dari kerja keras aku. Bukan nyuri," tegasnya sekali lagi.
Tidak lama Wisnu ayahnya datang.
"Ada apa ini?!" tanya ayahnya yang baru datang.
"Lihat! Kamu baru kehilangan uang dan dia baru beli banyak barang, Pah. Apa papa nggak merasa curiga?" hasut ibunya pada ayahnya. Wisnu membongkar barang belanjaan Evan. Dan benar saja, itu semua adalah barang branded yang tidak murah harganya. Mustahil Evan sanggup membelinya.
"Dari mana kamu dapetin semua ini?" tanya ayahnya yang ikutan menginterogasi nya.
"Baju dari mas Tama, kalo laptop dari sekolah," terang Evan lagi. Ayahnya membuka kantong belanjaan Evan yang isi nya pakaian mahal semua. Dan ayahnya juga membuka tas laptopnya yang masih baru karena memang jarang di pakainya. Sengaja di simpannya untuknya kuliah nanti.
ayahnya menatap Evan tajam, sulit bagi ayahnya percaya dengan ucapan Evan, yang mana ayahnya pun baru kehilangan uang. Itu membuat ayahnya semakin mencurigainya.
Dan...
PLAK...
Tamparan keras mendarat di wajahnya, Evan terdiam tidak berani menatap ayah dan ibunya.
Itu awalan kegilaan ayahnya.
Ayahnya terus menghajarnya meminta pengakuannya, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan jika mereka tidak percaya. Dia hanya bisa diam di hajar ayahnya. Dia di tendang, di cambuk dengan besi ujung ikat pinggang dan di tampar berkali-kali tanpa ampun dan tanpa bisa ia melindungi dirinya. Minah hanya bisa diam sambil menangis di sudut melihat Evan di hajar ayahnya. Evan yang kesakitan hanya bisa meringkuk menahan setiap tendangan dan pukulan ayahnya. Dia mencoba melindungi diri dengan menahan pukulan dan cambukan itu menggunakan telapak tangannya, tanpa berani menghentikannya. Ibunya seperti puas menyaksikan itu semua. Anak yang selama ini membuatnya sakit hati di hajar oleh suaminya secara membabi buta.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
𝐀⃝🥀Angel❤️⃟Wᵃf
papa gila juga kayaknya sudah terpengaruh sama mami Rima
2024-02-12
0
SR.Yuni
Orang tuanya aneh ya...anak2nya baik tapi kenapa bapaknya lucknut juga...
2024-02-05
1
Novianti Ratnasari
dimana rumah bapa nya si Evan. aku mau hajar nich. udah ga tahan tangan udah pada gatel2 pengen tonjok
2022-12-06
1