Tak terasa 12 tahun telah berlalu. Evan yang memang merupakan anak yang cerdas membawa berita gembira. Dia diterima di salah satu universitas ternama di luar negeri. Dia berlari menghampiri ibunya dengan semangat untuk menyampaikan berita gembira.
Tampak Rima tengah duduk santai di taman belakang rumahnya. Beliau sedang merawat tanaman bunganya yang tengah bermekaran dengan indahnya.
Evan dengan langkah mantap dan senyum kegembiraan yang terukir di wajahnya tampak tak sabar memberitahukan ibu sambungnya itu tentang penawaran beasiswa untuknya, tapi seketika senyumnya pudar dari wajah tampannya saat melihat reaksi ibunya yang sungguh mengecewakan.
"Uang semester memang gratis. Tapi kamu pikir uang rumah, makan, dan lain-lain. Itu nggak pakek duit pribadi?" ucap Rima seolah tidak menghargai kerja keras Evan untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Dia tampak terus asyik dengan kegiatan merawat tanaman mahalnya yang terkesan jauh lebih penting dari pada urusan Evan saat ini.
Sedangkan Evan masih berdiri terpaku mematung di sampingnya dengan sebuah berkas map kuning di tangan. Bahkan untuk membuka map itupun Rima tak sudi.
"Kalo kamu mau kuliah di luar silahkan, tapi biaya tanggung sendiri. Kita nggak ada biaya," ungkap Rima kembali mematahkan semangat Evan tanpa menatap Evan samasekali. Dia bahkan tidak perduli dengan raut sedih dan kecewa Evan saat ini.
Evan hanya tertunduk diam. Seketika semangatnya hilang, dia tampak lemas mendengar ucapan ibunya barusan. Dia merasa perjuangannya sia-sia saja .Hilang harapan satu-satunya dia untuk dapat kuliah dan menjamin masa depannya.
Dia tahu ini bukan masalah uang. Dia tahu keluarganya memiliki cukup uang jika hanya untuk biaya kuliahnya, mereka bukan keluarga pas-pasan, mereka punya banyak aset untuk menjamin kehidupan mereka. Mereka punya banyak bisnis yang menjajikan.
Evan menatap ibunya dengan tatapan tajam, sekuat tenaga dia menahan sesak di dadanya dengan meremas kuat map yang ada di tangannya. Dia menarik nafasnya sebelum dia bicara. Dia berusaha bersikap tenang.
"Tapi ... Aku nggak bisa dapat beasiswa lagi kalo aku lepas kesempatan ini. Kalau memang kita tidak punya uang, aku akan pakek tabungan aku yang ada saja, nanti biaya yang lain aku cari kerja nyampe sana," ucap Evan berusaha meredam gejolak di dadanya dan mencoba mencari solusi.
"Terserah kamu," ucap ibunya kembali tak perduli.
Rima terus saja lebih peduli pada tanamannya dari pada menanggapi Evan. Evan menatap ibunya sekali lagi, melihat kedalam mata wanita paruh baya itu, tidak terlihat sedikitpun kepedulian di sana. Evan mengangguk paham dan berlahan meninggalkan ibunya dengan ketidak pedulian nya itu.
Dia segera pergi dengan langkah cepat meninggalkan ibunya.
Lagi dan lagi dia selalu kecewa terhadap kedua orang tuanya. Apa lebih baik dia pergi saja, dari pada disini toh dia juga tidak di harapkan. Dia sudah bertahan bertahun-tahun disini. Dia tidak pernah bisa merubah kenyataan bahwa dia tidak diinginkan.
...***...
Tanpa sepengetahuan orang tuanya dia melakukan semua persiapan keberangkatannya. Jika memang orang tuanya tidak bersedia membantunya dia nekat akan mengusahakannya sendiri. Toh masih 6 bulan lagi. Cukup waktu bagi Evan untuk menabung sedikit lagi, Sekedar uang makannya sampai dia mendapatkan pekerjaan di sana.
Dia akan kejar A level untuk mengejar beasiswa Jardine Foundation, itu kesempatan yang bisa dia harapkan untuk kuliah. Dia tidak bisa mengharapkan orang tuanya. Walaupun untuk itu dia harus bekerja lebih keras. Karena bukan hal mudah untuk mendapat beasiswa tersebut.
Dia harus selesaikan A level yang sudah di jalaninya selama setengah tahun ini. Dan akan kembali ia seriuskan lagi. Dia benar-benar sudah muak selalu tidak ada dukungan apapun untuknya.
...***...
Keesokkan paginya Evan sudah bangun. Dia siap-siap akan ke toko pak haji. Dia memang bekerja di sana sudah 6 tahun ini. Awalnya hanya bantu jaga toko saat pak haji lagi sholat ke masjid, tapi lama-lama dia benar-benar bekerja di sana. Seiring dengan waktu toko pak haji makin besar dan maju. Evan biasanya membantu buka toko pagi hari sambil menyusun barang-barang. Pulang sekolah baru dia yang bantu ambil barang di grosiran pasar dan menunggu tokonya hingga malam. Jadi dia makan dan belajar di sela waktu luangnya di sana.
Waktunya benar-benar padat sekarang, dari kegiatan sekolah dan bekerja. Kadang membuat dia hanya bisa pulang saat sudah malam. Dan untungnya dengan ketidak pedulian orang tuanya terhadapnya, membuat dia tidak kesulitan saat pulang larut malam sekalipun, apa lagi kamarnya terpisah di belakang. Ada ataupun tidaknya dia di rumah tidak akan di sadari oleh orang tuanya.
Seperti biasa dia datang ke toko jam 6 kurang, tepat saat pak haji baru buka. Dia segera membantu menyusun barang dengan pakaian sekolahnya. Pak haji selalu mengagumi sifat gigih dan tekun Evan. Dia juga jujur dan dapat dipercaya. Tidak jarang Evan di minta pak haji untuk mengambil barang sekalian membayarnya. Evan selalu dapat melaksanakan amanah pak haji dengan baik.
"Eh nanti siang kamu ambil barang lagi sama Fajar ya!" seru pak haji sebelum Evan pergi.
"Iya Pak haji. Assalamu'alaikum!" jawab Evan seraya salim pada pak haji lalu berlari ke arah Anto yang juga akan pergi ke sekolah. Mereka memang selalu ke sekolah bersama.
Anto adalah teman Evan dari kecil. Dia anak nya lumayan badung, sering tawuran dan bolos. Dia selalu bersama Evan sebagai tamengnya agar tidak di marahi ibunya. Karena jika tidak bersama Evan ibunya selalu curiga dia tidak ke sekolah. Karena Evan adalah anak emas di sekolah jadi Ibu Anto percaya pada Evan.
***
Sesampainya di sekolah Anto segera meminta PR Evan seperti biasa, Evan sudah biasa dengan kelakuan Anto itu. Karena belum makan, Evan pun segera ke kantin meninggalkan Anto yang sibuk mencontek.
"Buku gue simpen di tas lagi," pesan Evan sebelum pergi, Anto hanya mengacungkan jempolnya tanpa menoleh pada Evan.
***
Evan termasuk anak yang misterius bagi teman-teman nya di sekolah. Dia tidak banyak bicara dan tingkah. Tapi dalam diam dia terkenal pintar dan cerdas. Bukan sekali dua kali dia di tawarkan jadi ketua Osis. Dia selalu menolak, dia tidak suka menjadi pusat perhatian dan berhubungan dengan banyak orang.
Hanya Anto lah teman yang bisa dekat dengannya. Selebihnya dia tidak terlalu akrab, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan atau kantin untuk sekedar makan lalu pergi. Dia tidak pernah nongkrong dengan kelompok anak laki-laki. Dia menciptakan dunianya sendiri. Dia tidak mau ikut ekstrakurikuler apapun. Walau dari pihak sekolah mewajibkan itu, Evan tetap tidak bersedia. Karena Evan pintar dan sering menang olimpiade antar sekolah jadi kepala sekolah mengalah. Khusus untuk dia kepala sekolah Mentelorir nya.
Dari olimpiade itu juga Evan mendapatkan uang tambahan untuk kuliahnya kelak dan untuk membeli kebutuhannya juga. Tidak jarang dia mendapatkan hadiah yang tidak murah. Dari laptop, sepatu, handphone, semua dia dapat karena sering ikut olimpiade sekolah.
Di kantin ada seorang gadis yang memperhatikan Evan sedang makan sendirian. Dia tengah mengantri mengambil pesanannya. Dia tampak manis dengan hijab putih yang di kenakannya. Dia terus memperhatikan Evan yang tengah sibuk dengan sarapannya. Setelah dia mendapatkan pesanannya, dia segera berjalan ke arah Evan.
Dia adalah Jamia, atau sering di panggil Mia. Dia adalah anak pak haji yang 1 tahun lebih muda dari Evan. Dia akrab dengan Evan, Evan sudah menganggapnya seperti adiknya sendiri. Dia juga merupakan anak bungsu pak haji. Dia gadis yang cantik, ceria dan juga pintar serta sangat alim.
"Anto mana? " tanya nya tiba-tiba dan langsung mengambil posisi di samping Evan. Evan langsung menoleh ke sumber suara, ternyata Mia.
"Lagi bikin PR," terang Evan singkat.
"Bikin apa nyontek?" ucap Mia sambil tersenyum kearah Evan. Evan hanya tertawa kecil tidak menjawabnya, lalu dia tersenyum kearah gadis manis itu. Mia memang selalu lengket dengan Evan jika di sekolah, hingga banyak yang mengira jika mereka berpacaran.
Sebenarnya Mia memang menaruh hati pada Evan, tapi Evan sepertinya hanya menganggapnya adik. Itulah kenapa Mia tidak berani berharap lebih. Dia lebih memilih menyembunyikan perasaannya di balik persahabatan.
"Gimana sama beasiswanya, mau diambil atau di tolak? Sayang lo kalo di tolak," ucap Mia sambil menikmati sarapannya di kantin.
"Belum tau, liat aja nanti, kalo ada biaya ya berangkat. kalo nggak, fokusin lagi di Jardine aja. Kalo nggak dapet ya ... Wasalam lah," lirih Evan seperti pasrah.
"Nabung aja dulu." Mia berusaha menyemangati. Evan pun hanya tersenyum. Dan merekapun kembali melanjutkan sarapannya.
Tak lama bel pun berbunyi tanda masuk kelas. Merekapun segera berpisah karena beda kelas. Sebelum masuk mereka Apel pagi sebagai kegiatan wajib sebelum memulai kelas belajar.
***
Sepulang sekolah Evan langsung ke toko Pak Haji. Dia memang begitu, setiap pulang sekolah akan ke sana lalu lanjut ke lesnya lagi, pulang dari les ke toko Pak Haji lagi sampai tokonya tutup baru lah dia pulang. Dia sudah membawa pakaian gantinya. Dia jarang di rumah, karena ayah dan ibunya seolah-olah selalu mencari kesalahannya jika dia di rumah.
Sudah lama dia berfikiran akan meninggalkan orang tuanya, tapi selalu di tahan pak haji. Dia sudah tidak tahan bersama mereka, hanya Tama dan Sahila yang peduli padanya. Yang lain selalu menganggapnya seperti benalu.Hanya Pak Haji dan Minah lah pengganti orang tuanya selama ini.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
𝐀⃝🥀Angel❤️⃟Wᵃf
Evan pasti suatu saat sukses ...
Rima terbuat dari apa sih hati muu
2024-02-12
0
Embun Kesiangan
semangat tuk Evan😢
2022-07-08
0
hartatik hartatik
mirisi bgt kisah hiduynya
2022-07-05
1