Bersama para pengawal, Aksa mengantarku ke rumah lamaku. Sesaat aku takut, tetapi juga ingin bertemu dengan ayah-bunda di rumah ini. Sayangnya saat sampai di sana, aku melihat papan 'DISEWAKAN' sudah terpasang di depan pagar.
Aku pun hanya bisa mengamati rumah itu dari luar karena pagarnya terkunci. Terselip sedikit kehangatan saat aku melihat teras depan rumah. Dulu ayah setiap pagi selalu minum kopi sambil mendengarkan radio di sana. Ayah tidak pernah sarapan berat, sering kali hanya kopi dan gorengan atau kerupuk.
Rumah ini sekarang jadi tampak kosong. Tanaman-tanaman yang dulu dirawat bunda juga sudah tidak ada lagi. Hanya tersisa pohon cabai di ujung halaman.
Aku menghela nafas dan berusaha menahan diri untuk tidak menangis. Dadaku terasa sesak, leherku seperti tercekik, dan perutku terasa mual, tetapi aku mencoba bertahan untuk tidak menangis di sini. Aku harus bisa merelakan semuanya dan berpamitan dengan masa laluku di sini.
"Ayo pulang," ucapku lembut sambil tersenyum pada Aksa. Aku bisa merasakan genangan air mata di kedua mataku, tetapi aku tidak ingin membiarkan air mata ini terjatuh di hadapan Aksa. Aku ingin Aksa melihat kalau aku sudah baik-baik saja.
"Hei, apa kamu mau jalan-jalan sebentar?" ucap Aksa tiba-tiba.
"Jalan-jalan ke mana?"
"Ke mana saja yang bisa bikin aku kenal masa lalumu," jawab Aksa dengan ekspresi datar.
"Oke," jawabku singkat. Kemudian aku mulai melangkah mendahului Aksa dan berjalan menuju rumah makan Eyang Parmi.
Aksa pun langsung mengikutiku dan berjalan di sebelahku. Kali ini ia tidak mendahuluiku dan menyesuaikan kecepatannya dengan langkah kakiku. Para pengawal langsung mengatur posisi penjagaan mereka, sementara tiga mobil sedan yang mengantar kami juga mulai beriringan mengikuti aku dan Aksa.
"Kita mau ke mana?"
"Ke tempat eyang. Dulu tiap pulang sekolah aku bekerja serabutan sebagai tukang cuci piring dan pelayan di situ. Mungkin nanti kamu gak akan cocok dengan makanannya, tapi tolong tahan sebentar. Setidaknya sampai aku selesai makan," pintaku tulus sambil tersenyum pahit.
Aksa tidak menjawab apa-apa. Ia sempat melirik ke arahku, tetapi kemudian pandangannya kembali lurus ke depan. Sepertinya ekspresi dingin dan datar memang sudah jadi mode default muka Aksa, karena khusus Aksa ekspresi dingin bukan berarti marah.
Kami sampai di rumah makan Eyang Parmi dan aku pun langsung berlari masuk menghampiri eyang. "Eyaaaaangg, Chira kangeeen," ucapku sambil memeluk Eyang Parmi.
Wanita lanjut usia yang masih sangat cantik dan selalu tersenyum lembut ini pun tertawa saat aku memeluknya.
"Aduduh, Chira. Eyang juga kangen," ucap Eyang Parmi sambil tertawa lembut dan mengelus tanganku.
Aku melepaskan pelukanku dan langsung mendekat ke tempat Aksa berdiri. Rombongan pengawal dan tiga sedan mewah yang mengiringi kami jelas menarik perhatian para pelanggan eyang yang sedang makan di tempat.
"Kalian duduk saja. Hari ini aku yang traktir kalian makanlah sepuasnya di sini," ucapku pada para pengawal, tetapi mereka tetap berdiri seperti tidak mendengar kata-kataku.
"Para pengawal tidak makan saat bekerja," terang Aksa singkat.
"Apa mereka tidak bisa membantuku menyenangkan eyang?" tanyaku takut-takut.
Sesaat Aksa hanya menatapku dingin, lalu akhirnya ia mengatakan pada para pengawal, "Duduk dan makanlah sepuasnya di sini."
Seketika para pengawal dan sopir langsung duduk rapi di beberapa meja, sementara aku mengajak Aksa duduk di meja terpisah.
"Kamu mau makan apa?"
"Terserah," jawab Aksa dingin.
"Oke, bentar," jawabku sambil langsung pergi ke tempat lauk prasmanan dan mengambil beberapa makanan yang kupikir belum pernah dimakan Aksa, seperti sambel terong, sambal goreng cumi asin dan pete, tumis daun pepaya, oseng nangka muda, dan rendang jengkol.
Kemudian aku memesan setengah ekor ayam goreng, nasi kare dan soto lamongan masing-masing satu porsi pada wanita muda yang sepertinya menggantikan posisiku, serta tak lupa dua gelas es jeruk peras.
Aku kembali ke tempat dudukku sambil membawa piring yang penuh lauk. Aksa menatap isi piring itu tanpa ekspresi, tetapi ia jelas terlihat asing dengan semua yang ada di piring.
"Apa kamu tahu ini apa?" tanyaku sambil menunjuk rendang jengkol.
"Potato," jawab Aksa singkat sambil menatapku dengan wajah datar.
Aku pun langsung tertawa mendengar jawaban Aksa. Sementara dia langsung menatap jengkol di piring dengan tatapan dingin.
"Ini, coba cicipin," ucapku sambil menyuapkan setengah potong jengkol ke Aksa.
Aksa langsung melahapnya tanpa ragu. Keningnya tampak sedikit berkerut saat ia mengunyah jengkol di mulutnya.
"Gimana rasanya? Enak?" tanyaku penasaran.
"Seperti kentang, but a bit smelly. I'm fine with it," jawab Aksa datar.
Setelah itu kare dan soto pesananku pun datang bersama dua potong ayam goreng. Semua makanan itu sengaja kutata ditengah supaya Aksa bisa mencicipi semuanya.
"Mbak, tolong bungkusin 30 nasi sayur pakai ayam ya. Sayurnya bebas 2 macam. Terima kasih," ucapku pada wanita muda yang mengantarkan makanan.
Aksa hanya diam saja, tetapi aku tahu kalau dia sedang berusaha mengamati semua menu yang terhidang di meja. Aku membiarkan Aksa mencicipi semua makanan yang terhidang dan aku sama sekali tidak menyangka kalau dia bisa menghabiskan semuanya tanpa bersisa.
"Wuaaah.. makanmu banyak juga," ucapku kagum setelah melihat porsi makan Aksa.
"Makanannya enak. Sangat tinggi kalori," balas Aksa singkat tanpa ekspresi, setelah ia menghabiskan es jeruknya.
Aku hanya tersenyum mendengar jawaban Aksa, tetapi aku senang karena dia menikmati semua makanan yang aku pilihkan. Setelah itu aku membayar semuanya dan menyelipkan sedikit lebih banyak untuk eyang.
"Terima kasih sudah datang ke sini Chira. Eyang sudah dengar semua dari bundamu. Kamu yang kuat ya, nak," ucap eyang lembut sambil menggenggam dan mengelus tanganku.
"Apa eyang tahu di mana bunda?"
"Tidak, eyang tidak tahu. Bunda dan ayahmu langsung pergi dari sini setelah berpamitan dengan eyang," jawab eyang sambil tersenyum pahit. "Sudah, tidak usah dipikirkan lagi. Sekarang kamu kan sudah akan menikah, punya keluarga baru. Kamu harus ciptain bahagiamu sendiri. Eyang doain yang terbaik buat kamu."
"Iya. Terima kasih, Eyang," ucapku dengan suara bergetar. Mataku sudah kembali basah karena air mata, tetapi aku memaksakan diri untuk tetap tersenyum saat menatap eyang.
"Apa dia calon suamimu?" tanya eyang sambil menatap Aksa.
"Ah, iya. Aku sampai lupa. Kenalin eyang, dia calon suamiku. Namanya Aksa," ucapku sambil menarik lengan Aksa untuk mendekat.
"Oh, nak Aksa. Nama lengkapnya siapa, nak?" tanya eyang sambil tersenyum lembut pada Aksa. Kedua tangan eyang menggenggam tangan Aksa dan aku sempat khawatir Aksa merasa tidak nyaman dengan ini, tetapi ternyata Aksa tampak sama sekali tidak keberatan.
"Danadyaksa Subrata," jawab Aksa singkat.
"Namanya bagus sekali," ucap eyang sambil menatap Aksa dengan mata berbinar. "Nak Aksa, eyang titip Chira ya? Chira sejak kecil sudah ikut bekerja di sini bantu-bantu eyang, jadi dia sudah seperti cucu eyang sendiri. Chira anak yang rajin, pintar, dan sopan. Dia gak pernah aneh-aneh. Jadi sekali lagi eyang mohon, nak Aksa mau jagain Chira. Chira-nya jangan dibuat sedih. Ya?" pinta eyang dengan suara bergetar.
Aku pun tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis setelah mendengar kata-kata Eyang Parmi.
"Baik. Saya pasti menjaga Chira, tapi saya tidak bisa berjanji tidak membuat Chira sedih," jawaban Aksa membuatku dan eyang langsung terkejut, sementara ekspresi Aksa tetap dingin.
"Chira setiap hari menangis. Tanpa saya melakukan apapun dia sudah sedih. Jadi itu agak sulit. Saya tidak bisa berjanji," lanjut Aksa datar dan tampak serius.
Seketika aku dan eyang langsung tertawa mendengar jawaban Aksa. Sementara Aksa malah tampak bingung melihat reaksi kami.
"Iya, iya. Chira memang cengeng anaknya. Jadi agak susah memang kalau gak buat dia sedih," imbuh eyang sambil tertawa dan mencoba memahami jawaban Aksa sebagai candaan.
"Eyang percaya kamu anak baik dan bisa jagain Chira. Semoga kalian bahagia ya," ucap eyang tulus sambil tersenyum lembut saat menatap Aksa. Aku bisa melihat setetes air mata jatuh di ujung mata eyang, tetapi eyang langsung menghapus air mata itu dan tersenyum menatapku.
Setelah itu kami berpamitan pada eyang dan seorang pengawal membantuku membawa 30 nasi bungkus yang sudah kupesan.
Kami kembali masuk ke mobil dan aku langsung meminta sopir mengantar kami ke panti asuhan di dekat SMA-ku. Sepanjang perjalanan aku mulai berani mengajak Aksa mengobrol dan ia pun terus menanggapiku meski dengan nada dan ekspresi yang dingin.
Sesampainya di halaman panti asuhan Mbak Yanti sang pengurus panti pun langsung bersiap menyambut, tetapi ia langsung terkejut saat melihatku turun dari mobil. Aku pun langsung berjalan cepat menemui Mbak Yanti dan kami sedikit heboh karena sudah lama tidak bertemu.
Aksa berdiri di belakangku dan Mbak Yanti pun langsung bertanya pelan, "Itu siapa, Chi?"
"Oh, iya. Kenalin, ini Aksa. Temanku," ucapku canggung. "Aksa, kenalin. Ini Mbak Yanti pengurus di panti ini."
Aksa sama sekali tidak mengatakan apapun dan hanya membalas jabat tangan Mbak Yanti.
Aku dan Mbak Yanti mengobrol sebentar, lalu aku pun pergi setelah menyerahkan 30 nasi bungkus dan sejumlah uang untuk panti. Aku juga memberikan nomor kontakku pada Mbak Yanti supaya kami tetap saling terhubung meski kedepannya aku pasti sulit untuk datang ke sini.
Selama aku dan Mbak Yanti mengobrol, Aksa sama sekali tidak mengatakan apapun. Ia juga tidak berusaha masuk dalam obrolan kami. Aksa tetap diam sampai akhirnya kami masuk kembali ke mobil.
"Kenapa mengajakku ke sini?"
"Dulu aku sering mampir ke sini untuk mengajari anak-anak bahasa Inggris dan matematika. Kadang aku juga membantu mereka membuat kue untuk dijual. Meski dulu aku tidak punya banyak uang, tapi aku senang kalau bisa membantu mereka."
"Dulu aku berharap bisa punya cukup uang untuk membelikan seragam atau makanan untuk mereka, jadi sekarang waktu aku sudah punya uang aku langsung terpikir untuk memberi sesuatu," terangku santai.
Aksa hanya diam saja, tanpa memberi respon apapun. Meski Aksa tidak mengatakan apapun, tapi tiba-tiba aku merasa tidak enak hati karena takut ia berpikir aku memboroskan uangnya untuk semua pengeluaran hari ini.
"Eh, ngg.. semua pengeluaranku hari ini dari uang tabunganku sendiri. Aku sama sekali belum menyentuh uang dari tabungan yang kamu kasih. Dulu aku menyimpan uang ini untuk tabungan pribadiku, tapi karena sekarang kondisi keuanganku lebih baik, jadi aku pakai buat hari ini," terangku gugup.
"Kenapa kamu menjelaskan itu?" tanya Aksa sambil menatapku dingin.
"Ngg.. sejak awal aku dan keluargaku membuatmu banyak mengeluarkan uang. Kalian bahkan sampai harus memberi uang pada orangtuaku supaya mau menyerahkan aku. Aku takut kamu berpikir kalau aku hanya ingin memanfaatkanmu demi uang. Aku bukan tipe cewek matre, kalau aku harus bantu kamu kerja aku juga tidak keberatan karena aku...."
Kalimatku terputus karena Aksa tiba-tiba MENCIUM BIBIRKU!!! OMAIGAT!!!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Rusma Yani
OMG.....aku juga kaget Thor....
2021-03-11
1
BrePandia
langsung nyosor aja nich boss😊😊😊
2021-01-31
1
Fransisca Olivia Tambunan
laaah saya juga kuaggaeeet🤭
2021-01-26
1