"Lo langsung pulang aja ya Ris, gausah mampir." Gue copot helm, langsung gue sodorin kedadanya Harris. Males basa-basi, gue langsung melengos mau masuk gerbang.
"Raya!" Suara Harris menggelegar, seksi. Ih! gemes.
"Apa lagi?" Jawab gue males.
"Jaket!"
"Oh iya." Nyengir kuda dong gue, kok bisa lupa sih. Buru-buru gue copot, terus gue lemparin ke muka nya haris. Mamp*us.
"hahaha." Dalam hati gue ketawa.
Tanpa ngucapin terima kasih gue masuk ke gerbang, gue tutup lagi. Sekilas gue lihat kayaknya Harris senyum deh. Ih bodo amat lah, gue langsung masuk ke rumah.
"Mamiiiii!!!"
"Mamiiii!"
Jam segini papi belum pulang kantor ya, jadi fokus panggilin Mami.
"Mamiii!!"
"Raya stop teriak-teriak di rumah sayang." Mami Renata (Renata Tamim, Mami) keluar dari arah dapur, pasti abis nyiapin makanan untuk makan siang.
"Mami, Raya lulus di kampus ABC." Muka berbinar penuh kebahagian gue suguhin ke Mami, sambil gue peluk erat tubuh bau bawang Mami.
"Mami kok mukanya biasa aja." Gue heran, kok mami biasa-biasa aja, gak ada ekspresi bahagia, seenggaknya kaget kek.
"Mam?"
"Kita makan dulu, Nadira dan Papi sudah menunggu di meja makan." Mami pergi duluan.
Hati gue tiba-tiba terasa penuh dan sesak. Ada rasa dongkol yang begitu terasa dihati gue. Sakit banget, susah banget untuk bernafas normal.
Tapi apapun itu, gue harus terbiasa. Udah sering juga gue nerima perlakuan seperti ini. Toh ini adalah pilihan gue sendiri, untuk jadi orang yang dibenci Mami dan Papi.
Dulu Mami dan Papi selalu adil sama gue dan Nadira. Tapi apapun yang dilakuin Mami dan Papi, Nadira selalu menganggap Mami Papi itu pilih kasih. Dia selalu bilang, sayangnya mami sama papi cuma buat gue.
Gue lahir disaat dia masih kecil dan semua perhatian Mami Papi teralihkan seluruhnya ke gue. Nadira marah-marah dan benci keadaan seperti ini. Dia selalu berharap gue gak pernah lahir.
"Raya!" Panggilan Mami bawa gue kembali ke alam sadar lagi. Gue sedikit berlari ke arah meja makan, gak mau buat mereka nunggu terlalu lama.
"Raya, kalau didalam rumah jangan berlari-lari." Papi Johan (Johan Kohler, Papi) protes.
"Iya Pi." Gue duduk disebelah Nadira (Nadira Kohler, kakak) Salah lagi kan gue.
Setelah makan siang kami semua duduk di ruang keluarga. Pengen banget gue bilang ke Papi, kalau gue keterima dikampus ABC, kampus yang sama dengan Nadira. Gue pengen nunjukin ke papi kalau gue mampu, gue juga bisa. Tapi apalah daya, suasananya saat ini berubah nggak asik.
"Dira, Raya papi ingin bicara serius. Papi sengaja berbicara ini sekarang agar kalian berdua bisa lebih fokus untuk kuliah nanti." Papi berhenti sejenak. Gue, Nadira dan Mami cuma dengerin aja.
"Papi sangat yakin, Nadira bisa melanjutkan kuliah dengan baik dan bisa menggantikan Papi di perusahaan suatu saat nanti." Papi melirik ke arah gue, gue langsung nunduk. Perasaan mulai nggak enak.
"Papi bingung Raya, bagaimana masa depan kamu nanti? Kalaupun kuliahmu berantakan dan tetap meneruskan bisnis keluarga, apa tidak tambah hancur?"
Deg!
Jantung gue berhentik sejenak, baru kali ini seumur hidup gue, Papi ngomong serius dan amat sangat menyakitkan hati. Gue rela diomelin Mami 7 hari 7 malem, daripada harus diceramahin papi walau cuma 5 menit.
Perlahan air mata gue netes. Biar, gue gak ada niat ngehapus air mata itu. Dan gue gak ada niat buat bantah omongan papi. Karna itu emang benar.
Tapi aku udah diterima di kampus ABC pi? Dan kita nggak ada yang bisa tau masa depan nanti gimana? Bisa jadi aku lebih sukses dari Nadira pi? Hati gue menjerit. Pengen banget teriak begitu, tapi akhirnya gue cuma diem.
"Papi sudah putuskan, Raya kamu akan Papi jodohkan dengan Harris anaknya om Yuda."
Deg!
Jantung gue serasa mau copot.
"Selama kamu kuliah kalian akan Papi tunangkan, dan Harris nanti yang akan membimbing kamu untuk menaikkan nilai-nilai mu, sekaligus Harris akan merubah sifat barbar mu itu." Papi mengambil nafas.
"Dari kamu kecil sampai sekarang Papi tidak pernah sekalipun memaksa, Papi suruh kamu rajin belajar, tapi kamu main terus. Papi suruh kamu rajin sekolah, tapi kamu bolos terus, di sekolah selalu berantem sama temen-temen mu yang lain. Papi suruh ikut bimbel kamu tidak mau, dan malah entah kabur-kabur kemana." Tambah Papi.
"Sekarang apa jadinya kalau kamu Papi bebasin juga saat kuliah? Bahkan walaupun kamu diterima di kampus yang sama dengan Nadira, Papi tetap tidak percaya Raya." Papi menghela napas kecewa.
Tapi nggak gini juga kan pi. Gue tambah nangis. Gue rasain mami mulai ngelus lembut punggung gue.
"Papi, Raya nggak harus dijodohin sama Harris. Biar Dira nanti yang akan bantu Raya untuk belajar." Gue terharu Nadira belain gue setelah sekian lama dia cuekin gue. Biasanya dia selalu senang tiap gue dimarahin papi seperti saat ini. Gue liat wajah Nadira sekilas, ada keseriusan disana.
"Tidak Dira, ini sudah keputusan Papi dan Mami. Om Yuda juga sudah setuju. Papi tidak ingin kamu terbebani Raya. Kamu cukup fokus dengan kuliahmu. Sedangkan Harris dia kuliahnya juga sudah mau selesai. Dan citra dia dikampus juga sangat bagus, pasti akan mudah jika hanya untuk mengawasi Raya." Papi.
"Tapi apa Harris mau pi dijodohin sama Raya? Raya barbar gitu, kayak langit sama bumi pi." Walaupun bahasa Nadira nyakitin, tapi makasih ya Ra lo udah belain gue.
Gue gak bisa ngomong apa-apa lagi. Kayak tersangka yang semua bukti-buktinya pas, siap masuk penjara.
"Apapun itu tetap tidak ada yang bisa membatalkan perjodohan Raya dan Harris, ini sudah keputusan Papi." Papi.
"Seenggaknya Papi tanya dulu sama Harris. Bisa aja Harris gak mau Pi. Jangan Hancurin hidup anak orang lain, cuma buat Naraya Pi." Nadira pantang menyerah, makasih lo ya dir.
"Harris pasti setuju, Papi yakin itu. Harris anak yang baik, dia akan selalu menuruti perintah ayahnya dan Om Yuda pun sudah sepakat. Ini sudah keputusan kami sebagai orang tua Dira." Final Papi.
Akhirnya Nadira nggak bisa bantah lagi.
"Papi." Bergetar bibir gue coba untuk ngomong.
"Raya bakal buktiin kalau Raya bisa berubah, tanpa harus ada perjodohan." Gue beraniin natap mata papi, tapi Papi malah beranjak berdiri dari posisi duduknya, Papi pergi dan masuk keruang kerjanya.
Habis sudah harapan gue. Gue nangis sesenggukan sambil nutup wajah pakai kedua tangan gue. Lagi-lagi terasa belaian lembut tangan Mami dikepala.
Aku peluk mami erat.
"Mi aku gak mau dijodohin sama Harris Mi." Sesenggukan aku coba jelasin ke mami.
"Aku bisa berubah sendiri Mi, tanpa harus ada Harris Mi". Gue tetap berusaha.
"Harris itu sebenernya jahat, dia nggak baik. Raya nggak mau dijodohin sama orang jahat Mi". Gue tetap nangis, sampai baju mami basah. Setelah beberapa menit, akhirnya Mami dorong badan gue, dia tatap mata gue.
"Kalau begitu tunjukkan kepada Mami dan Papi." Mami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Afrilho
masih menyimak
2022-01-10
0
Sis Fauzi
bagus banget kisahnya 👍 mantap gan 😀
2021-04-04
0
Wiselovehope🌻 IG@wiselovehope
👍❤️🔥👍❤️🔥
Mampir teman2 di karyaku "The Prince & I" dari teen sampai 18 plus ada 😍😍😍 Dijamin ketagihan 🔥🔥🔥 Follow for follow, terima kasih.
2021-02-12
1