Juni 2007
Sarah baru saja selesai menjemur pakaian di halaman belakang. Ketika masuk ke dapur, terlihat Regan sedang membuat kopi.
“Eh sini mas biar aku yang buat,” ucap Sarah seraya mendekati Regan.
“Ga usah, bikin kopi instan tuh gampang, ngga perlu nyusahin istri,” jawab Regan sambil tersenyum pada Sarah.
“Kamu abis ngapain?”
“Abis jemur baju.”
“Kan mas udah bilang, kalau nyuci, nyetrika sama bersih-bersih rumah biar bi Parmi aja.”
“Aku bisa sendiri kok mas.”
Regan meletakkan cangkir kopinya di meja, lalu memegang tangan Sarah dengan kedua tangannya.
“Mas tau kamu bisa ngerjain itu semua. Tapi mas ngga mau kamu terlalu cape ngurus rumah ini sendirian. Lagian kalau semua kamu yang ngerjain, kasian bi Parmi jadi pengangguran. Jadi untuk urusan bersih-bersih rumah, nyuci, dan nyetrika biar bi Parmi yang mengerjakan, kamu cukup masak dan ngurus mas aja.”
Regan mencubit pelan hidung Sarah, membuatnya tersenyum. Dia kembali mengambil cangkir kopinya, menyeruputnya pelan.
“Oh iya, kayanya dua minggu ini mas bakalan sibuk banget, karena banyak tugas yang harus diselesaikan. Belum lagi pekerjaan di rumah sakit, jadi mas bakalan sering pulang malem kayanya.”
Sarah hanya diam tak menanggapi. Sudah terbayang hari-hari membosankan yang akan dilalui nanti.
“Kalau kamu bosen, kamu bisa main ke rumah tante Dina, atau ajak Debby ke sini. Katanya kalian mau ngerancang konsep usaha WO kalian.”
“Iya, tapi nanti nunggu Debby dulu. Dia lagi mudik ke Bogor.”
“Pokoknya mas dukung kamu seratus persen. Asal kamu ngga ngelakuin hal-hal yang ngga baik.”
Sarah mengangguk tanda mengerti. Setelah menghabiskan kopinya, Regan masuk ke ruang kerjanya. Dia harus segera menyelesaikan tugas makalahnya.
❤️❤️❤️
Regan terburu-buru menuruni tangga lalu berjalan cepat keluar rumah. Sarah yang sedang berada di dapur segera memanggilnya, tapi tak didengarnya. Dia menyusul ke depan, terlihat Regan baru saja akan masuk ke mobilnya.
“Mas, ngga sarapan dulu?”
“Ngga sayang, barusan telepon dari rumah sakit, ada pasien darurat. Mas harus pergi sekarang.”
“Hmm...”
“Mas pergi ya, assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Regan segera masuk ke dalam mobilnya. Sarah nampak kecewa, gara-gara pasein darurat Regan sampai lupa padanya. Dia langsung membalikkan badannya tanpa menunggu mobil berlalu seperti kebiasaannya saat mengantar sang suami berangkat kerja. Sarah baru saja akan melangkah masuk ke dalam rumah, ketika Regan menarik tangannya.
“Belum berangkat?” tanya Sarah dengan suara datar.
“Ada yang lupa.”
“Apa?”
Regan tak menjawab. Langsung diciumnya kening dan bibir Sarah.
“Sekarang mas berangkat ya. Senyum dong, jangan cemberut gitu.”
Kali ini Sarah tersenyum. Regan kembali ke mobilnya. Tak berapa lama deru mobil terdengar meninggalkan kediamannya.
Untuk mengusir kebosanan, Sarah memutuskan berkunjung ke rumah tante Dina. Sebelumnya dia mampir dulu ke swalayan untuk membeli oleh-oleh dan juga beberapa bahan masakan. Dia ingin belajar masak pada tante Dina.
Sesampainya di rumah tante Dina, Sarah langsung menuju dapur. Dia mengeluarkan semua bahan masakan yang dibelinya tadi. Hari ini akan belajar membuat sop buntut dan juga sapo tahu. Sarah mengerjakan semua yang diinstruksikan oleh tante Dina, sebelumnya tak lupa dia mencatat bumbu-bumbu yang harus disiapkan agar mudah nanti kalau membuat sendiri di rumah.
Setelah berkutat di dapur selama satu jam lebih, akhirnya masakan Sarah selesai juga. Tante Dina mencicipi dan memuji kalau rasa masakan Sarah sudah cukup enak. Semua masakan hasil Sarah dipack rapih ke dalam wadah. Tak lupa dia membaginya untuk tante Dina. Berhubung hari sudah sore, Sarah pun pamit pulang.
Sesampainya di rumah, dia menata masakannya di meja makan. Biasanya Regan pulang ke rumah sekitar pukul enam sore. Sarah pun tak lupa berhias diri. Dia selalu ingin terlihat cantik di mata suaminya saat pulang kerja. Sarah keluar dari kamarnya saat bi Parmi baru saja akan berpamitan.
“Masih ada yang harus dikerjain lagi ngga mba Sarah?” tanya bi Parmi.
“Hmm.. kalau kerjaan sih udah beres bi, tapi bibi mau ya temenin saya dulu sampe mas Regan pulang?”
“Iya boleh mba.”
Sarah mengajak bi Parmi turun ke bawah. Mereka menunggu di ruang tengah sambil menonton televisi. Adzan maghrib terdengar, Sarah dan bi Parmi bersiap-siap shalat. Selesai shalat, Sarah kembali menunggu Regan sambil ditemani bi Parmi.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam tapi belum ada tanda-tanda Regan akan segera pulang. Sarah memutuskan mengirim pesan untuk menanyakan kapan Regan akan pulang. Tak lama balasan pesan dari Regan masuk. Wajah Sarah tampak kecewa.
“Bibi pulang aja, mas Regan masih lama pulangnya,” ucap Sarah dengan nada kecewa.
“Oh iya bi, ini masakan yang tadi saya masak bawa aja,” lanjutnya.
Sarah berjalan menuju meja makan. Memindahkan sapo tahu ke dalam wadah lalu memberikannya pada bi Parmi.
“Nanti kalau mas Regan mau makan gimana?”
“Buat mas Regan ada sop buntut kok bi.”
“Ya sudah, makasih ya mba Sarah.”
Bi parmi pamit pulang. Sarah segera mengunci pintu lalu naik ke atas, masuk ke dalam kamarnya. Dia mengambil novel yang baru dibelinya dari atas meja lalu naik ke atas kasur. Mulai khusyu membaca.
Tak terasa malam mulai larut. Sarah sudah mengantuk. Dia melihat jam di dinding, jarum pendek menunjuk di angka sebelas. Terdengar helaan nafasnya. Regan masih belum pulang. Sarah pun memutuskan untuk tidur. Baru beberapa saat terlelap, dia mendengar suara mobil berhenti di depan rumah, tak lama terdengar suara pintu pagar terbuka. Sarah bangun dari tidurnya bergegas keluar kamar. Buru-buru Sarah turun membuka pintu.
“Baru pulang mas?”
“Iya.”
Regan segera naik ke atas. Setelah membersihkan diri di kamar mandi, tanpa banyak bicara langsung naik ke atas ranjang. Tak berapa lama langsung terlelap.
Sarah memandangi suaminya yang sudah terlelap. Sebenarnya hatinya kesal karena Regan tidak mencicipi sama sekali hasil jerih payahnya memasak tadi siang. Namun dia mencoba untuk mengerti kesibukan Regan, masih ada hari esok, ucapnya dalam hati. Setelah itu dia berbaring di samping Regan, mencoba untuk tidur kembali.
❤️❤️❤️
Sudah seminggu ini Regan selalu berangkat sehabis shubuh dan pulang tengah malam. Kesibukannya di rumah sakit dan banyaknya tugas kuliah yang harus diselesaikan membuatnya jarang berada di rumah. Sarah mulai merasa kesepian. Sehari-hari hanya bi Parmi yang menemaninya. Debby juga belum kembali dari Bogor. Sarah juga sungkan kalau terlalu sering berkunjung ke rumah tante Dina.
Sarah melihat ke kalender yang tergantung di kamar, melingkari tanggal hari ini. Genap sepuluh hari sudah dia menjalani hari-hari dalam kesepian dan kejenuhan. Sarah terdiam sebentar. Tak bisa seperti ini terus, dia berinisiatif untuk menggunakan waktu senggangnya menyusun konsep WO-nya. Sarah mulai bekerja, mencari vendor yang sesuai dengan kebutuhannya.
Sarah masih berkutat dengan laptopnya ketika mendengar suara mobil memasuki rumah, itu pasti mas Regan, batinnya. Dia memilih meneruskan pekerjaannya. Tak lama berselang Regan masuk ke dalam kamar. Nampak istrinya tengah serius di depan laptop.
“Belum tidur sayang?”
“Hmm...”
“Lagi ngerjain apa?”
Kali ini Sarah hanya diam, malas untuk menjawab. Regan tak bertanya lagi. Dia langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Regan keluar dari kamar mandi. Sarah masih tetap di posisinya, sengaja berdiam diri. Ingin tahu apa suaminya sadar kalau saat ini dia sedang ngambek. Perlahan Regan mendekati Sarah lalu duduk di sampingnya. Sejenak memperhatikan apa yang dikerjakan Sarah. Dia mengusap puncak kepala Sarah.
“Besok lagi diterusin, sekarang udah malem.”
“Belum ngantuk.” jawab Sarah ketus.
“Ngambek ya.”
Sarah hanya diam. Regan melingkarkan tangannya ke bahu Sarah. Dia sadar kalau akhir-akhir ini kurang memperhatikan istrinya.
“Maafin mas ya. Kita jarang menghabiskan waktu berdua karena kesibukan mas. Tapi mas janji, libur nanti akan menghabiskan waktu sama kamu, terserah kamu mau kemana.”
“Bener?” tanya Sarah memastikan. Regan mengangguk sambil tersenyum. Hati Sarah luluh, dia mulai tersenyum.
“Sekarang tidur yuk, mas ngantuk.”
Sarah yang memang sudah mulai mengantuk segera mematikan laptopnya. Mereka naik ke ranjang. Regan merentangkan lengannya, Sarah merebahkan tubuhnya di samping Regan. Tak berapa lama keduanya sudah tertidur pulas.
❤️❤️❤️
Sarah mondar mandir di dalam kamarnya. Sudah pukul dua malam tapi Regan belum juga pulang. Beberapa kali dia mencoba menghubungi ponsel Regan tapi selalu terhubung ke kotak suara. Sarah mencoba menelpon ke rumah sakit. Namun betapa terkejutnya dia saat tahu Regan sudah meninggalkan rumah sakit sejak pukul sepuluh malam. Kecemasan langsung melanda, dia takut sesuatu terjadi pada suaminya.
Untuk menghilangkan kecemasannya, Sarah segera mengambil wudhu. Dia melaksanakan shalat tahajud dua rakaat. Dalam doanya meminta keselamatan untuk suaminya di mana pun dia berada. Sarah masih duduk diam di atas sajadahnya. Hatinya tak henti-hentinya berdoa. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, sebuah pesan dari Regan masuk. Buru-buru Sarah membukanya.
Sayang, maaf mendadak mas ada urusan keluar kota. In Sya Allah pagi mas udah pulang ke rumah. Kamu tidur aja ya, jangan lupa kunci rumah.
Airmata Sarah mengalir membaca pesan dari Regan. Perasaannya lega karena akhirnya mendapat kabar darinya. Namun di satu sisi dia kesal karena Regan sudah membuatnya cemas seperti ini. Sarah tak dapat menahan perasaannya lagi. Dia menangis sesenggukan sampai akhirnya tertidur di atas sajadahnya.
Sayup-sayup terdengar adzan shubuh. Perlahan Sarah membuka matanya dan bangun dari tidurnya. Tubuhnya terasa kaku karena semalaman tidur di lantai hanya beralas sajadah. Setelah berdiam diri sejenak, dia beranjak ke kamar mandi. Bersiap untuk shalat shubuh.
Sarah sedang memasak di dapur. Berkali-kali dia melirik ke ponselnya namun pesan maupun panggilan yang ditunggunya tak kunjung ada. Sarah melihat lagi ke ponselnya, waktu sudah pukul sembilan pagi. Regan masih belum datang. Sarah mencoba menelponnya, tapi ponselnya lagi-lagi tidak aktif. Dia mencoba tetap bersabar sambil meneruskan pekerjaannya.
Masakan yang disiapkan untuk Regan sudah matang. Sarah duduk di depan meja makan. Dia kembali menelpon namun masih belum tersambung. Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh lebih. Kini rasa cemas yang dirasakannya sudah berganti dengan amarah. Sarah berdiri dari duduknya, berjalan menuju kamarnya. Sesampainya di sana, dia menuju lemari pakaian. Mengganti pakaian, berhias seadanya kemudian mengambil tasnya. Sarah duduk di depan teras menunggu pesanan taksinya. Sepuluh menit kemudian taksi yang ditunggunya datang. Sarah masuk ke dalam taksi. Setelah menyebutkan alamat yang dituju. Taksi meluncur pergi.
Jam dua siang Regan sampai di rumah. Suasana rumah nampak sepi. Dia menggerakkan gagang pintu namun terkunci. Regan mengetuk-ngetuk sambil memanggil Sarah. Tak ada jawaban. Dia mengeluarkan kunci rumah miliknya. Membuka pintu lalu masuk ke dalam.
Regan naik ke atas sambil memanggil Sarah tapi tak ada jawaban. Tak ada siapa-siapa di kamar. Begitu pula kamar mandi. Tak ada tanda keberadaan Sarah di rumah ini. Regan mengeluarkan ponselnya untuk mengecasnya. Kemudian dia masuk ke kamar mandi. Selesai mandi Regan menyalakan ponselnya. Terdapat beberapa panggilan tak terjawab dari Sarah. Dia pun menelpon balik, terdengar nada sambung namun Sarah tak kunjung mengangkatnya. Regan mengakhiri panggilannya lalu menelpon kembali tapi tetap tidak ada jawaban. Dia mengirim pesan pada Sarah.
Kamu dimana?
Sarah keluar dari tempat penyewaan kursi dan tenda, ini adalah tempat ketiga yang dikunjunginya. Sarah sedang mensurvey beberapa vendor untuk keperluan WO nya nanti. Dia mengambil ponselnya hendak menelpon taksi. Terlihat ada pesan masuk dari Regan. Sarah hanya membacanya dan tak membalas. Dia mencari nomor telepon perusahaan taksi. Tiba-tiba sebuah suara memanggilnya.
“Sarah.”
Sarah menengok. Di sampingnya sudah ada Anto, teman kuliahnya dulu.
“Anto.. ya ampun apa kabar?”
“Baik-baik, kamu lagi ngapain?”
“Aku lagi survey buat WO aku.”
“Jadi nih mau bikin WO bareng Debby?”
“In Sya Allah, doain ya.”
Mereka terlibat percakapan seru. Anto mengajaknya ke cafe terdekat, kebetulan beberapa teman kuliahnya juga berkumpul di sana. Sarah langsung setuju mengikuti Anto. Benar saja, di cafe sudah ada beberapa temas sekelasnya. Dia segera bergabung. Bertemu dan berbincang dengan teman-temannya membuatnya melupakan Regan.
Regan berjalan mondar mandir di depan rumahnya. Sudah jam tujuh malam tapi Sarah belum juga pulang ke rumah. Bahkan istrinya itu tidak menjawab telepon atau membalas pesannya. Dia sudah menghubungi Debby kalau-kalau Sarah bersamanya, tapi Debby masih berada di Bogor. Regan juga menghubungi tante Dina namun Sarah tak ada di sana. Bahkan Regan menelpon bi Parmi. Ternyata hari ini bi Parmi tidak datang ke rumah untuk bekerja.
Regan memutuskan untuk mencari Sarah. Dia masuk ke dalam untuk mengambil kunci mobil. Baru saja akan membuka pintu mobil. Terlihat sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Keluar Sarah dari dalam mobil. Anto menurunkan kaca mobilnya. Setelah mengucapkan terima kasih, Sarah melambaikan tangannya pada Anto. Tak berapa lama mobil meluncur pergi.
Sarah membuka pintu pagar. Terkejut karena Regan sudah menunggunya di halaman rumah.
“Sudah pulang mas?”
“Kamu dari mana?”
“Abis survey buat keperluan WO.” jawab Sarah santai.
“Kenapa ngga angkat telpon?”
Regan mulai kesal. Bukannya menjawab, Sarah hanya melihat sekilas lalu masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa.
“Sarah!”
Sarah tak menghiraukannya. Dia terus masuk langsung menuju kamar. Regan mengikutinya dari belakang. Sesampainya di kamar langsung ditariknya tangan Sarah.
“Mas pulang kamu ngga ada di rumah. Dari siang mas tunggu kamu.”
“Gimana rasanya mas menunggu seseorang? Baru beberapa jam aku pergi mas sudah marah-marah, terus bagaimana dengan aku? Semalaman aku ngga bisa tidur karena nungguin mas. Hp mas ngga bisa dihubungi, mas pikir aku baik-baik aja? Aku ketakutan setengah mati mas. Aku takut terjadi apa-apa sama mas,” Sarah langsung menumpahkan kekesalannya.
“Jadi karena itu kamu pergi ngga bilang-bilang?”
“Ngga.. aku pergi karena aku kesal mas ngga nepatin janji. Mas janji hari libur akan menghabiskan waktu denganku, mas janji akan sampai ke rumah pagi, tapi mana?”
“Mas minta maaf soal itu. Tapi mas udah bilang kalau ada urusan mendadak. Salah satu pasien mas meninggal dunia dan mas ngga bisa ngelakuin apa-apa. Jadi mas menawarkan diri untuk mengantar jenazahnya ke Sukabumi.”
“Selalu soal pekerjaan, mas selalu mengutamakan pasien, tapi mas ngga peduli soal aku. Mas ngga peduli gimana perasaan aku kemarin, gimana takutnya aku.”
“Mas bukannya sengaja bikin kamu khawatir atau batalin janji denganmu. Mas cuma ngga tega lihat orang tua pasien. Mereka datang jauh-jauh dari desa tapi kita ngga bisa ngelakuin apa-apa karena sudah terlambat bagi pasien mendapat pertolongan.”
“Mas ngga tega sama mereka, tapi mas tega sama aku!”
Suara Sarah mulai meninggi. Dia sudah tak dapat menahan amarahnya lagi. Regan terdiam, mengambil nafas dalam-dalam mencoba menenangkan dirinya agar tidak ikut terpancing emosi. Kemudian mendekati Sarah, memegang kedua bahunya.
“Mas minta maaf, sekali lagi mas minta maaf. Mas janji akan memperbaiki ini semua.”
“Janji lagi? Yakin mas bisa menepati janji mas kali ini?”
Sarah melepaskan tangan Regan dari bahunya. Kemudian duduk di atas ranjang. Regan kembali menghampiri Sarah. Sambil berlutut dia memegang kedua tangannya.
“Sayang.”
Belum sempat Regan melanjutkan, tiba-tiba ponsel Sarah berbunyi. Ada panggilan masuk dari Anto.
“Siapa Anto?”
“Itu teman kuliah aku, yang tadi nganter aku pulang.”
Regan berdiri, melihat Sarah dengan tatapan tajam.
“Jadi seharian ini kamu pergi dengan dia?”
“Kalau iya kenapa?” jawab Sarah pelan.
“Kamu sadar kalau kamu sekarang ini wanita yang sudah menikah? Bagaimana bisa kamu jalan berduaan dengan laki-laki yang bukan muhrim kamu? Jadi karena dia kamu gak jawab telpon mas?”
“Mas ngga percaya sama aku? Baru sekali aku keluar rumah tapi mas sudah marah dan menuduhku yang bukan-bukan. Aku kebetulan bertemu dia di tempat survey.”
“Terus kenapa kamu ngga jawab telpon mas? Kalau kamu jawab, mas bisa jemput kamu.”
“Karena aku mau mas juga merasakan apa yang aku rasakan semalam. Bagaimana rasanya tidak bisa menghubungi seseorang yang kita tunggu.”
“Mas bukan sengaja ngga jawab telpon kamu, tapi batre hp habis. Tapi kamu sengaja tidak menjawab, itu berbeda Sarah. Sikap kamu tuh kekanak-kanakan.”
“Terserah mas, aku cape.”
“Mas juga. Kamu pikir mas ngga lelah dengan semua ini. Dengan pekerjaan, kuliah ditambah dengan cara berpikir kamu yang masih seperti anak kecil.”
“Kalau begitu kenapa mas mau menikah dengan aku? Kalau di mata mas Regan aku masih seperti anak kecil kenapa mas mau menikah sama aku?!”
“Karena mas sayang kamu! Karena mas yakin kita bisa membangun rumah tangga bersama-sama! Mas ngga mengharap yang macam-macam, cuma mau kamu mengerti tentang kondisi mas sekarang, bersikaplah lebih dewasa Sarah!”
Sarah bertambah kesal mendengar ucapan Regan. Dia mengambil bantal dan melemparkan ke arahnya. Regan tak mempedulikannya. Dia segera keluar dari kamar, menutup pintu dengan keras. Regan masuk ke kamar sebelah lalu merebahkan diri di atas ranjang.
Sarah terdiam, dia mulai menangis tersedu-sedu. Perasaannya campur aduk saat ini. Sejak bertemu dengan Regan belum pernah dia mendengar Regan berteriak padanya, atau melihatnya dengan tatapan tajam.
Semalaman Sarah tak dapat memejamkan matanya. Tak bisa berhenti memikirkan pertengkaran yang terjadi. Sarah duduk terdiam di atas sajadahnya. Matanya sembab karena tak berhenti menangis. Sedangkan Regan entah jam berapa dia meninggalkan rumah, tanpa berpamitan langsung berangkat ke rumah sakit.
Sarah melihat foto pernikahannya yang tergantung di dinding. Kemudian mengingat semua waktu yang dihabiskan bersama Regan, masa sebelum maupun setelah menikah. Dia mengingat bagaimana mereka berjanji untuk menjadi suami dan istri yang baik, bagaimana selama ini Regan memperlakukannya dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Airmata Sarah kembali mengalir, kali ini berjuta penyesalan merasuki hatinya. Penyesalan karena telah membuat lelaki yang dicintainya marah dan kecewa.
Sarah menghapus airmatanya, lalu dia berdiri. Melipat mukenanya, merapihkan sajadahnya, kemudian keluar kamar menuju dapur. Sarah membuka pintu kulkas, mengambil bahan-bahan makanan lalu menaruhnya di atas meja. Dia mulai memasak sesuatu.
Sarah menaruh makanan yang dibuatnya ke dalam kotak bekal. Meletakkannya ke dalam tas dan menutupnya. Hari ini dia akan pergi ke rumah sakit, memberikan kotak bekal ini pada suaminya. Sarah segera keluar rumah ketika taksi pesanannya datang. Tak berapa lama taksi meluncur pergi membawa Sarah ke rumah sakit tempat Regan bekerja.
Setelah membayar ongkos taksi, Sarah memasuki rumah sakit. Dia terus berjalan menuju ruangan Regan. Saat sedang berjalan, terlihat Regan sedang berdiri di dekat tangga darurat. Sarah bermaksud menghampirinya, namun langkahnya terhenti ketika melihat Regan sedang dimarahi habis-habisan oleh seniornya. Dia memaki Regan karena merasa tersinggung dengan ulah Regan yang mengabaikan perintahnya dan bersikeras melakukan tindakan pada pasien tanpa menunggu persetujuan darinya.
Ya Allah, apakah ini yang dihadapi suamiku setiap hari.
Hatinya terasa sakit. Sarah tak sanggup untuk menemuinya. Dia beranjak menjauh. Sarah berjalan sambil melamun, tiba-tiba terdengar sebuah suara memanggilnya.
“Bu Sarah.”
Sarah menengok, ternyata suster Amel yang memanggilnya. Dia adalah suster yang biasa membantu Regan di IGD.
“Mau ketemu dokter Regan?” tanya suster Amel dengan ramah.
“Iya, tapi kayanya lagi sibuk. Bisa tolong titip ini untuk suami saya?”
“Oh boleh bu.”
Suster Amel mengambil tas yang berisi kotak bekal dari tangan Sarah. Setelah mengucapkan terima kasih, Sarah pun pergi.
Regan memasuki ruangan kerjanya. Sehabis dimaki habis-habisan oleh seniornya, dia juga terkena damprat salah seorang wali pasien yang ditanganinya. Regan duduk di depan meja kerjanya. Pandangannya tertuju pada tas bekal di atas mejanya. Dia mengenali tas bekal ini. Ini pasti dari Sarah, gumamnya dalam hati. Regan bangun dari duduknya, buru-buru keluar ruangan. Di saat yang bersamaan suster Amel datang menemuinya.
“Dok, tadi ada titipan dari bu Sarah.”
“Sekarang Sarahnya mana?”
“Bu Sarah langsung pulang tadi.”
“Oh ya makasih sus.”
Regan masuk ke ruangannya. Dia kembali duduk di depan meja kerjanya. Mulai membuka satu persatu kotak bekal di hadapannya. Regan tersenyum, mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Sarah.
Makasih buat makanannya sayang, love you...
❤️❤️❤️
Sarah duduk menunggu Regan di teras rumahnya, jam berapa pun Regan pulang dia akan menunggunya. Pikirannya sibuk merangkai kata permintaan maaf, darimana harus memulai, apa yang harus dia katakan lebih dulu. Sarah masih melamun ketika mobil yang dikendarai Regan memasuki halaman rumah. Cahaya lampu mobil menyadarkannya, dia pun langsung berdiri.
Regan turun dari dalam mobil. Dia melihat Sarah sedang berdiri menunggunya di teras rumah. Regan berjalan menghampirinya. Sarah menyambut suaminya dengan mencium punggung tangannya.
“Sudah lama nunggu?”
Sarah hanya menggeleng sambil tersenyum. Regan menggandeng tangan Sarah masuk ke dalam rumah.
Regan keluar dari kamar mandi, sepasang piyama sudah tersedia di atas kasur. Setelah berpakaian dia turun ke bawah menemui Sarah yang sedang menyiapkan makan malam. Makanan sudah tersedia di meja. Regan menarik kursi lalu duduk. Sarah dengan cepat menyajikan nasi beserta lauknya.
“Kamu udah makan?”
“Udah mas.”
Regan makan dengan lahap. Akhirnya dia bisa kembali menikmati makan malam sambil ditemani istri tercinta. Selesai makan, Sarah dan Regan duduk-duduk di balkon kamarnya menikmati udara malam.
“Mas, aku minta maaf soal kemarin. Aku sadar sudah bersikap kekanakkan, ngga seharusnya aku seperti itu,” Sarah memulai percakapan.
“Mas juga minta maaf sudah membuat kamu cemas. Maaf karena ngga bisa menepati janji.”
“Mas jangan bikin cemas aku kaya kemarin lagi ya. Aku benar-benar takut sesuatu terjadi sama mas.”
Regan mengangguk lalu menggenggam tangan Sarah dengan erat. Sarah menatap Regan, teringat kejadian di rumah sakit tadi.
“Selama ini pasti berat ya buat mas, bekerja dan juga menyelesaikan kuliah. Harusnya aku lebih pengertian dan ngga menambah beban mas dengan bersikap seperti anak kecil.”
Regan menarik Sarah, mendudukkan Sarah di pangkuannya dan memeluk pinggangnya.
“Seberat apa pun itu asalkan kamu selalu ada dan mendukung, mas yakin bisa melaluinya. Kamu mau kan terus dukung mas?”
“Pasti mas.”
Regan membelai lembut rambut Sarah lalu mencium keningnya. Untuk beberapa saat mata mereka saling menatap. Regan mendekatkan keningnya pada kening Sarah, perlahan dia mencium Sarah. Regan menarik lembut bibir Sarah kemudian melepaskannya. Saat akan menciumnya lagi, Sarah menjauh sambil tersenyum meledek. Regan menarik tengkuk Sarah kemudian menciumnya lagi. Sarah berusaha melepaskan diri tapi Regan tak membiarkannya. Dia terus menciumnya dengan penuh kelembutan dan kemesraan.
❤️❤️❤️
Buat yang udah mampir jangan lupa like, comment dan vote nya ya🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 296 Episodes
Comments
Anonim
Sarah sdh menyadari kesalahannya.
Semoga Sarah selalu mendukung karir suaminya yg tidaklah ringan
2024-02-27
2
🤎ℛᵉˣ𝐀⃝🥀OMADEVI💜⃞⃟𝓛
lanjut
2023-12-23
1
Titi
ahhhh so sweet jadi terharu malah jadi mewek 😭😭😭😭😭
2023-01-17
1