Semenjak Ibu nya meninggal dan kehidupan semakin berada di bawah tekanan sang ayah, Raihan berubah menjadi pribadi yang semakin liar.
Tetapi seburuk apapun Ia sebagai lelaki, tetap saja masih ada rasa tanggung jawab.
Setiap kali Nenna mabuk bersamanya, Raihan tetap mengantarkan perempuan itu kembali ke rumahnya, setidaknya memastikan gadis itu baik-baik saja usai menghabiskan waktu bersamanya.
Pukul tiga dini hari, mereka keluar dari kelab. Nenna mabuk berat sementara Raihan tidak terlalu karena dia tahu bahwa yang akan membawa mobil nanti adalah dirinya sendiri.
Raihan meletakkan Nenna di tempat tidurnya. Saat akan bangkit, Nenna memeluk erat lehernya hingga Raihan tidak bisa pergi kemana pun.
"Aku harus segera pulang, Nenna."
"Kamu temani aku saja,"
"Tidak bisa!"
Raihan melepaskan jeratan Nenna dari lehernya. Nenna sudah kembali menutup matanya usai mengatakan itu.
Raihan keluar dari kamar Nenna. Lalu pulang ke rumahnya. Seperti biasa, Christ selalu menjadi mata-mata bila sudah malam hari untuk melihat perilaku anaknya. Seraya bekerja, Ia menunggu kedatangan Raihan.
"Baru pulang? kamu tidak lihat sekarang jam berapa?!"
"Lihat, tapi aku baru selesai---"
"Selesai apa? Selesai balapan dan mabuk?"
Raihan terkekeh tak membantah. Christ sudah tahu jawabannya, kenapa harus bertanya? Buang-buang energi saja.
"Tidak perlu aku jawab, ayah sudah tahu. Aku harus ke kamar sekarang,"
Belum sempat Raihan melangkah, Raihan menarik lengannya kemudian memberi tamparan hingga mata Raihan yang terasa berat langsung terbuka sempurna karena terkejut. Tidak sakit, karena sudah biasa baginya.
"Sampai kapan kamu menyusahkan ayah seperti ini?!"
"Sampai bosan,"
Setelah menjawab begitu, Raihan berjalan tertatih menuju kamarnya. Rahang Christ mengeras.
"RAIHAN!"
"Aku malas berdebat,"
Pintu kamar Raihan berdentum karena dibanting oleh pemiliknya. Christ semakin dilanda emosi melihat anaknya yang semakin kurang ajar setiap harinya. Ia sudah kehabisan akal untuk mengembalikan anaknya yang dulu. Yang saat ini tinggal bersamanya seperti bukan Raihan yang semasa sekolahnya merupakan anak pintar, pendiam, pendengar yang baik, dan tidak pernah menentang perintah orangtua.
****
Pagi ini Rena sudah datang. Kemarin Ia terlambat karena diserang kemacetan dan ditegur oleh atasannya atas laporan Carra.
Saat ini Rena sedang membersihkan meja-meja sebagai persiapan sebelum membuka kafe.
"Rena, kamu dipanggil Tuan Xander," ujar Carra pada Rena yang sibuk sementara Ia sedang menyapu lantai tetapi seraya melihat ponsel.
"Ada apa?"
"Mana aku tahu?! Kalau dipanggil, langsung datang! Jangan banyak tanya,"
Rena tersentak kaget saat Carra memperingatinya dengan keras. Ia segera menuruti apa yang dikatakan Carra. Ia dengan cepat melangkah ke ruangan pemilik kafe tempatnya bekerja itu.
"Permisi, Tuan."
"Iya, aku memanggil mu ke sini untuk bertanya, apa benar kemarin kamu mulai lengah bekerja? Saat kafe sedang ramai-ramai nya, kamu malah diam?"
Alis Rena bertaut. Seingatnya, Ia tidak pernah lengah dalam bekerja. Dan Xander baru saja mengatakan kalau Ia melakukan kesalahan itu kemarin. Sepertinya Carra lagi yang memberi laporan.
Sepertinya yang dimaksud Xander itu pada saat Rena kedapatan menatap empat orang laki-laki yang tidak lain adalah Raihan dan ketiga temannya. Kemarin Ia hanya terdiam beberapa detik saja karena dalam lubuk hatinya yang paling dalam Rena ingin seperti Raihan dan semua temannya yang bisa kuliah dan menikmati masa muda mereka dengan kumpul-kumpul bersama teman dan berbincang mengenai banyak hal. Carra melebih-lebihkan sampai mengatakan bahwa Rena lengah dalam bekerja.
"Saya bekerja sebagai mana mestinya, Tuan. Maaf sudah mengecewakan,"
Xander tersenyum lembut. Lelaki yang sudah memiliki anak sebagai pengusaha itu, merasa kagum dengan perangai Rena yang tidak mengelak sama sekali ketika ditegur.
"Kamu boleh keluar. Aku harap, cara kerjamu tidak mengecewakan ku lagi,"
****
Raihan turun dari motor besarnya diikuti teman-temannya yang lain. Mereka baru saja selesai bersenang-senang di jalanan. Hanya balapan antar mereka, bukan orang luar seperti semalam.
Saat melewati gudang belakang universitas nya, telinga Raihan mendengar suara-suara menjijikan. Hentakan, *******, dan lenguhan membuatnya ingin muntah. Kenapa harus di tempat menuntut ilmu mereka melakukannya? Apakah semiskin itu sampai tidak mampu menyewa hotel?
Raihan sebenarnya tidak ingin menoleh saat melewati gudang itu, tapi Ia begitu penasaran. Dan pemandangan yang membuat matanya membulat adalah, Denrio sedang bersama dengan seorang perempuan. Denrio melecehkan perempuan tersebut. Ia menutup mulut si perempuan dan tubuh bagian bawahnya terus menghentak.
"****!" Maki Raihan seraya mendekati pintu. Ia meninju pintu yang terbuka sedikit itu hingga orang di dalamnya menoleh terkejut. Denrio secepat kilat memperbaiki kondisi celana nya.
"Kau tidak memiliki uang untuk pergi ke hotel? Mau aku berikan?!"
"Sial! Tidak usah banyak bicara kau! Pergi dari sini!" Usir Denrio sementara si perempuan sedang menangis tersedu. Beruntung tubuhnya masih mengenakan baju lengkap. Hanya saja rok nya disingkap oleh Denrio. Tapi setelah Raihan datang, Ia cepat-cepat memperbaikinya.
"Kau tidak lebih baik dari aku. Tapi selalu saja pintar membicarakan keburukan orang lain. Benar-benar brengsek!"
Raihan masuk ke dalam gudang lalu melakukan baku hantam. Ia meninju Denrio dan musuhnya itu melakukan pembalasan.
Teman-teman Raihan akan melewati gudang tapi ketika mendengar keributan, mereka menoleh. Setelah melihat bahwa Raihan lah penyebab nya, mereka segera masuk ke dalam gudang.
"Rai, sudah cukup! Jangan membuat keributan di sini. Kau akan mendapat teguran lagi,"
"Aku tidak peduli. Dia harus mendapat pelajaran,"
"Kenapa kau terlihat sangat membela dia?! Kau menyukainya?"
Raihan membuat mulut Denrio mengeluarkan darah. Mulut itu sudah lancang berbicara. Ia hanya melindungi, apa yang salah?
Sergi menarik Raihan agar berhenti membuat Denrio babak belur. Edrick dan Gion berusaha membuat Raihan tenang.
"Aku hanya benci melihat perilaku brengsek mu di kampus. Setidaknya cari tempat yang sesuai,"
Raihan berhasil dibawa keluar oleh teman-temannya, meninggalkan Denrio yang sudah terkapar tidak berdaya.
Perempuan yang sudah dilecehkan oleh Denrio akan keluar dari gudang tapi Denrio berhasil meraihnya.
Denrio memberi tamparan hingga wajah yang penuh air mata itu terlempar ke samping.
"Tidak seharusnya kau pergi,"
Denrio memberi pelajaran untuk perempuan itu dengan berbuat sesuatu pada rambutnya hingga kepala perempuan bernama Aneline itu tersentak ke belakang.
"Perempuan murahan!" Desis Denrio. Lelaki itu menepuk-nepuk kedua tangannya seolah Ia baru saja menyentuh kotoran. Kemudian Ia pergi meninggalkan Aneline yang masih tersedu.
****
"Nasibmu di kampus akan semakin diujung tanduk, Raihan. Berhati-hati lah dalam ber----"
"Kau bisa diam tidak?!" sentak Raihan saat Edrick menasihatinya. Telinga Raihan terasa panas mendengar Edrick bicara begitu.
"Aku hanya tidak suka melihat dia melecehkan perempuan. Dan tempatnya juga tidak tepat sekali. Entah ada dimana otaknya,"
"Kau juga sering melecehkan perempuan, Rai. Jangan menutup mata dengan kesalahan sendiri,"
"Mereka yang menyerahkan diri dan aku membayar mereka. Itu bukan dilecehkan namanya. Kalau tadi, aku yakin sekali Denrio tidak memberikan apapun pada perempuan itu. Buktinya dia menangis, artinya dia tidak rela Denrio puas atas tubuhnya,"
Edrick, Sergi, dan Gion mengangguk. Ada benar nya juga. Bahkan mereka saja merasa tidak tega melihat perempuan itu menangis.
****
Rena memasuki tempat kerjanya yang lain. Di sinilah Ia menjadi perempuan yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari yang selama ini dikenal orang.
Rena yang selama ini terlihat sangat baik, terpaksa merubah dirinya menjadi liar ketika memasuki rumah bordil.
Rena menjual apa yang Ia punya di sini. Tugasnya memuaskan banyak lelaki, lalu setelahnya Ia akan mendapat uang. Sekotor itulah hidupnya.
"Ini dia yang kau inginkan, Tuan. Silahkan kau bawa dia,"
Rena mengikut saja saat tangannya ditarik oleh lelaki tua. Begitu datang, tamu nya sudah menunggu bersama pemilik rumah bordil yang biasanya Rena sebut Nyonya Baretta.
Baretta sempat berbisik memperingati Rena. "Lakukan yang terbaik, Jal*ng."
Sebelum menjalani tugasnya, Rena selalu diberi perintah seperti itu. Padahal selama ini tidak pernah ada keluhan dari pelanggan. Dia sudah menjadi pemuas yang baik, tapi tetap saja Baretta memberikan titah seperti itu.
Lelaki tua yang sedang bersama Rena saat ini mengunci pintu salah satu kamar yang berada di rumah bordil setelah mereka masuk ke dalamnya.
Setiap pintu tertutup, Rena selalu merasa merinding dan cemas. Padahal Ia sudah biasa berada di situasi seperti ini.
Lelaki itu mendekati Rena yang perlahan mundur. Tubuh Rena gemetar, selalu seperti ini. Siapapun pelanggan nya, reaksi yang diberikan Rena membuat mereka berdecih geli.
"Kau seperti wanita polos saja. Bukankah ini sudah menjadi hal yang biasa bagimu? Jangan takut, Sayangku."
Napas Rena memburu. Ia menatap lelaki itu penuh was-was. Itu membuat Rena terlihat menggemaskan dan semakin membuat lelaki di hadapannya bergairah.
------
Dah Dig dug serrr. Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan jejak. Ku sayang kalian🤗❤️
Ini jg udh up lhoo lg direview👇Jgn lupa mampir😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
emailnavistha
Serruu sumpah. Lanjut ya kak
2021-01-04
1
Seriani Yap
Reihan muda ternyata bad boy n pemberontak juga ya
Semangat thor
2020-12-27
3
Desi Arisumanti
Reihan n Rena semasa muda
2020-12-03
2