Hari yang Berat

Hari ini warga sudah mulai mencoba menyembuh kan hati-hati mereka, meski masih dengan wajah pucat dan kesedihan yang masih sangat mendalam terutama para perempuan dan anak-anak yang terlihat jelas sangat terpukul atas musibah ini, tapi hari ini mereka mulai melakukan hal yang bisa dilakukan, seperti membersihkan barang yang masih tersisa, memperbaiki rumah-rumah mereka yang masih bisa diperbaiki, memperbaiki jalan yang masih bisa dilalui, dan sebagian lagi membantu para tim evakuasi untuk meneruskan pencarian orang yang masih hilang.

Rumi terlihat sedang menggendong Dita dan bermain dengan anak-anak lain di Balai Desa. Mereka sedang asyik menggambar benda yang mereka suka. Pandangan Rumi tertuju pada seorang perempuan di sana yang sedang memeluk sebuah baju kemeja dan termenung dengan tatapan kosong.

“Ibu Dita sepertinya sangat terpukul dengan kepergian suami nya?” suara yang tak asing terdengar tidak jauh dari tempat Rumi duduk.

Billi berdiri perhatikan Ibu nya Dita yang sedari tadi dipandangi Rumi.

“Mungkin sakitnya melebihi rasa sakit ini,” jawab Rumi pelan.

“Apakah kamu sedang merasa kehilangan?” Billi mengalihkan pandangan nya menuju Rumi yang masih terduduk di sana.

“Ya…beberapa hari yang lalu,” saut Rumi datar.

Billi menghela nafas panjang dan duduk di samping Rumi, “Rasanya memang sangat menyakitkan, kita pun seperti kehilangan separuh dari hidup kita, kehilangan semangat, dan serasa kehilangan masa depan, saat orang yang kita cintai pergi meninggalkan kita bahkan tanpa pamit, ia pergi begitu saja tanpa kata perpisahan,” tutur Billi dengan pandangan yang tiba-tiba memblur, mengingat rasa sakit yang pernah ia lalui saat kehilangan tunangan nya di sebrang jalan pertemuan nya setiap hari ketika mereka hendak berangkat bekerja.

“Semua orang memiliki kesedihan di hati nya masing-masing,” Rumi berkata pelan dan berbalik menghadap wajah Billi yang sedang memandang masa lalu nya.

Billi tersenyum, “Dan semua orang tetap harus menjalani hidupnya meski hanya dengan separuh jiwa yang dimilikinya.”

Anak-anak sudah selesai menggambar, bermacam-macam gambar yang mereka tumpahkan dalam kertas mewakili kenangan mereka dalam hidup.

“Ini untuk kak Rumi,” seorang anak menghampiri Rumi dan memberikan hasil gambarnya. Rumi memperhatikan nya, gambar seorang wanita dan pria yang sedang dikelilingi anak-anak dan seorang pria lagi yang sedang tersenyum indah dari kejauhan.

“Apa benar ini untuk ku?” tanya Rumi meyakinkan. “Kamu sangat berbakat, gambarnya sangat bagus,” Rumi tersenyum sumringah mendapat gambar itu. Ia tahu siapa yang dimaksud anak itu dalam gambarnya.

“Tapi siapa ini?” Rumi menunjuk gambar seorang pria yang digambar anak itu dari kejauhan?

Anak itu terdiam dan melihat sekeliling.

“Kakak itu!" kata anak itu sambil menunjuk pada seorang laki-laki yang berdiri di sudut ruangan.

“Mas Fatih,” gumam Rumi pelan.

Melihat orang-orang memperhatikan nya Fatih berbalik kebelakang dan meninggalkan mereka. Rumi melihat langkah kaki Fatih yang meninggalkan nya di belakang, ada rasa sedih yang menyelusup masuk kedalam relung hati nya.

Matahari sudah meninggi adzan dzuhur sebentar lagi berkumandang, Rumi berjalan meninggalkan Balai Desa menuju Puskesmas hendak ingin menemui Reno, mungkin saja Reno membutuhkan bantuan nya.

Rumi berjalan sambil menggulung gambar yang di dapatkan nya dari anak itu, di seberang sungai kecil Rumi melihat Fatih sedang duduk di atas batu memainkan air dengan ke dua kakinya yang ia tenggelamkan dalam air tersebut. Rumi terdiam dan melihat tubuh Fatih yang kotor dengan tanah, bahkan di wajahnya terdapat percikan-percikan tanah. Wajah lelah jelas terlihat di sana meski sang pemilik wajah masih memberikan senyuman-senyuman kecil pada orang-orang yang lewat dan menyapa nya. Mungkin Fatih hendak melepas sedikit lelah nya sambil membersihkan diri untuk bersiap shalat dzuhur.

Setelah beberapa saat memperhatikan, Rumi pergi meninggalkan Fatih yang masih asyik memainkan air, ia masuk ke Puskesmas dan mencari Reno.

“Apa yang sedang kamu perhatikan?” tanya Rumi pada Reno yang sedang berdiri termenung di dekat kasur pasien.

“Pasien itu membutuhkan obat, persediaan ku sudah habis. Aku sudah menelpon pada RS Kabupaten mereka akan segera mengirim, aku harap mereka segera tiba,” ucap Reno sambil terus memperhatikan seorang pasien laki-laki yang tak jauh dari tempat nya berdiri, ada rasa khawatir yang terlihat di sana.

“Benturan di kepalanya cukup keras, ada syaraf yang terjepit, kalau terlambat diberi obat dia bisa kejang dan bisa mengalami koma,” jelas Reno lagi. Rumi pun memperhatikan pasien itu sambil mendengarkan penjelasan Reno.

Tak lama Reno melihat pasien itu bergerak-gerak membentur-benturkan kepala nya ke pinggir ranjang, Reno dan Rumi langsung menghampiri pasien itu dan menahan tubuh nya agar tidak melukai diri nya sendiri.

“Suster tolong telepon lagi pihak Rumah Sakit apakah mereka sudah mengirimkan obatnya? Seharunya mereka sudah sampai.”

“Iya, dok,” jawab suster langsung mengambil ponsel dari saku bajunya.

“Oh ya! harusnya sudah sampai, apakah saya boleh meminta nomer ponsel pengirimnya? Ya terimakasih?” percakapan Suster Lina dengan pihak Rumah Sakit.

Suster Lina langsung menghubungi nomer ponsel yang dikirimkan pihak RS.

“Maaf pak sudah sampai mana?”

“Apa? Apa tidak bisa lewat sama sekali? Oh iya akan saya infokan dulu kepada yang lain ya, sebentar.”

“Ada apa sus?” tanya Reno cepat.

“Mobil yang mengantar obat terjebak longsor batuan yang jatuh ke jalan raya dok. Tapi posisi nya sudah dekat dengan lokasi kita, seperti nya kita harus menjemput nya.”

“Biar saya yang menjemput nya,” ucap Fatih tiba-tiba datang dari luar yang mendengar keributan.

“Saya ikut,” sahut Rumi.

“Cepatlah!” perintah Reno tegas.

Fatih berpikir sejenak kemudian memberikan isyarat agar Rumi bergegas.

Kedua nya pun segera pergi dengan mobil yang terparkir di depan markas relawan. Tak ada obrolan yang terdengar dari kedua nya, mereka berfokus pada misi untuk cepat mendapatkan obat itu agar pasien tersebut dapat terselamatkan.

Fatih menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang lumayan tinggi, Rumi berpegangan pada pegangan tangan mobil sambil mengatur nafas dan sesekali menghembuskan nya, ia sering menutup matanya karena jalan yang dilewati berkelok. Dengan kecepatan mengendarai yang lumayan tinggi, mobil terasa melayang seperti terbawa angin, sedangkan di bahu jalan Rumi melihat banyak jurang yang curam. Rumi tak henti beristigfar dalam hati untuk meminta perlindungan Allah, sungguh ia tidak bisa menyembunyikan ketakutan nya, tapi ia pun tak bisa berkata kepada Fatih untuk memelankan mobil nya.

Sampai di tempat yang dituju Rumi melihat batu yang lumayan besar volume nya tergeletak dijalan hingga menutupi hampir keseluruhan jalan raya, kendaraan roda empat tidak bisa lewat, hanya kendaraan roda dua seperti motor yang bisa lewat.

Fatih bergegas keluar dan mencari mobil RS di ikuti Rumi, setelah melewati 5 mobil akhirnya Fatih melihat ada mobil yang bertuliskan RS Bakti Husada, Fatih mengetuk pintu kaca mobil dan berbicara sebentar dengan pengemudi nya, mereka bersegera memindahkan obat-obat yang di bawa untuk dipindah mobilkan, warga yang kebetulan ada di sana ikut membantu memindahkan, sehingga proses pemindahan berlangsung lebih cepat.

Proses penjemputan memakan waktu hampir setengah jam, Rumi menelpon Reno obat apa yang dibutuhkan nya sekarang supaya Rumi bisa menyiapkan nya dan segera membawa nya kepada Reno.

Mobil baru saja berhenti Rumi langsung membuka pintu dan berlari menuju Puskesmas, Reno langsung menyambut nya dan mengambil obat yang di bawa Rumi.

Reno mengeluarkn jarum suntik dan meminta perawat untuk menahan pasiennya agar jarum tidak patah saat di suntik kan.

Sesaat kemudian pasien sudah mulai tenang, dan tidak melakukan gerakan yang berlebihan seperti membentur-benturkan kepalanya ke pinggir ranjang. Rumi dan semua orang yang berada di ruangan itu menghela nafas lega dan mengucap syukur.

Setelah melihat masalah sudah terselesaikan Rumi keluar ruangan, diteras depan dia melihat Fatih sedang duduk menghadap rerumputan yang menguning kering. Rumi mendekati nya dan duduk di samping Fatih.

“Maaf karena sudah membuat mu takut di mobil tadi,” kata Reno sambil menghembuskan nafas berat.

“Mas sudah terlihat seperti Valentino Rossi yang balapan di sirkuit,” jawab Rumi sambil tersenyum kecut.

“Hari ini adalah hari yang berat,” Fatih masih menghembuskan nafasnya yang masih terasa berat.

“Apakah semua warga yang hilang sudah ditemukan?” tanya Rumi sambil mengalihkan pandangan nya memandang Fatih.

“Masih ada dua orang lagi yang belum diketahui kabarnya,” Fatih memandang balik Rumi dengan tersenyum kecil.

“Semoga segera ada titik terang ya mas,” jawab Rumi dengan membalas senyuman kecil Fatih.

“Aamiin, kita berdoa saja semoga hari-hari berat ini bisa kita lewati dengan tetap bersabar.”

“Aamiin,” ucap lirih Rumi sambil mengayun-ngayunkan kaki nya pelan.

Terpopuler

Comments

Khadijah

Khadijah

semangaaat terus thooor

2020-12-28

0

Lubna

Lubna

nano nano sedih lucu

2020-12-27

0

Talita

Talita

lanjuttt

2020-12-27

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 55 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!