“Rumi aku kelimpungan mencari mu, kamu dari mana?” setengah berlari Reno menghampiri Rumi.
Rumi hanya terpaku tanpa menjawab. Dibelakang Rumi, Reno melihat seorang laki-laki membawa tas bawaan Rumi.
“Biar saya yang membawanya, mas…?” Reno menghampiri laki-laki itu dengan nada bertanya.
“Fatih, mas bisa panggil saya Fatih,” jawab Fatih sambil menyodorkan tas bawaan Rumi.
Reno sejenak termenung, kini ia tahu alasan kenapa Rumi tidak menjawab pertanyaan nya.
“Terimakasih,” ucap Reno lagi sambil melangkah meninggalkan Fatih dan menarik Rumi untuk mengikuti nya berjalan.
Mereka berjalan meninggalkan beberapa orang yang sedang berkumpul menuju sebuah rumah yang cukup bagus dibanding dengan rumah-rumah yang telah dilewati nya tadi.
“Istirahat dulu, bersihkan badan mu!” Reno berkata sambal menyimpan tas Rumi di sebuah kamar ukuran 3x3 m, tanpa berkata lagi Reno langsung meninggalkan Rumi di kamar itu, seolah dia tahu apa yang dirasakan Rumi saat ini.
Rumi memasuki kamar yang hanya cukup ditempati oleh 2 orang itu, tapi saat ini ia harus bercokol berbagi tempat untuk tidur. Rumi melihat ada dua orang perempuan yang sudah tertidur di dalam, dengan pakaian yang terlihat sedikit kumal. Mungkin mereka kelelahan setelah bekerja.
Rumi mengambil pencuci muka dan menuju kamar mandi, ia hanya melihat sebuah ember kecil dan satu gayung untuk mengambil air, tembok kamar mandi sudah terlihat menguning tanda jarang sekali tersentuh tangan untuk dibersihkan.
Rumi mengucurkan air dari keran, air terlihat begitu kecil saat mengalir, membuat Rumi terbuai dalam lamunan. Rumi mencoba menguatkan dirinya, ia harus bersikap tegas agar tidak terlihat lemah di hadapan Fatih saat berjumpa dengannya lagi. Ia harus berpura-pura tidak peduli dengan keputusan Fatih membatalkan perjodohan mereka.
“Aku tidak boleh terlihat sangat tertekan dan harus bersikap biasa,” gumam Rumi sambil memperhatikan percikan air yang saling beradu.
Setelah beristirahat dan melaksanakan shalat Ashar Rumi ikut bergabung dengan tim relawan untuk berbagi tugas. Rapat dipimpin oleh ketua tim yaitu Muhammad Al-Fatih, ketua tim menginformasikan situasi dan keadaan kampung yang akan dibantu.
“Besok kita akan dibantu masyarakat setempat untuk mencari korban yang masih tertimbun tanah longsor, dilaporkan masih ada 12 orang yang hilang, kemungkinan mereka tertimbun tanah. Untuk tim kesehatan bisa langsung bertugas mengobati warga yang terkena luka-luka di puskemas depan, dan yang lainnya mari ikut bersama saya ke Balai Desa untuk membantu warga menyediakan tempat tidur dan membagikan makanan,” ucap Fatih mengakhiri rapatnya sore ini.
Para relawan langsung berpencar melaksanakan tugas mereka masing-masing, Rumi menghampiri sekelompok orang yang sedang mengambil bahan makanan dari mobil untuk segera dibagikan kepada warga yang tertimpa bencana.
“Bawalah yang ini,” Fatih menyodorkan sebuah dus mie instan saat melihat Rumi kesulitan mengambil dus besar.
Rumi hanya menoleh tanpa mengindahkannya, ia terus mencoba membawa dus besar yang berisi bahan pokok.
‘Slup’…tiba-tiba kardus yang ditangan Rumi berpindah dan berganti dengan kardus mie instan.
“Bagaimana bisa badan sekecil itu mencoba mengangkat beban yang berat begini, aduh berat-berat,” goda Fatih sambil pura-pura sempoyongan.
Rumi hanya melihat tanpa ekspresi dan berpaling meninggalkan Fatih.
Merasa di cuekin Fatih melongo dan berjalan cepat untuk menyusul Rumi.
“Apa kamu marah dan membenci ku?” tanya Fatih pelan saat sudah berjalan sejajar di samping Rumi.
Rumi menghentikan langkahnya dan melihat Fatih dengan seksama.
“Apa menurut mas, mas pantas dibenci?” Rumi malah menjawab dengan pertanyaan.
Tanpa menunggu jawaban Fatih, Rumi bergegas meninggalkan Fatih dan menuju warga di Balai Desa.
Rumi sibuk menenangkan warga yang masih ketakutan dan memberi mereka makanan, anak-anak terlihat murung dan hilang keceriaan nya. Rumi mencoba menghibur mereka dengan bercerita dan bernyanyi.
Rumi mengeluarkan bakatnya dalam mendongeng diselingi nyanyian-nyanyian merdu, anak-anak mulai berkerumun dan duduk menyaksikan pertunjukan dongeng Rumi.
Rumi menceritakan tentang seorang putri yang ditinggal sendirian oleh pangerannya, ia sengaja bercerita seperti itu karena Rumi tahu Fatih duduk di balik tumpukan barang warga tidak jauh dari tempatnya bercerita.
Banyak warga yang terhibur dengan suara merdu Rumi, begitu pula Fatih dibalik tumpukan barang-barang itu Fatih mendengarkan cerita Rumi dengan seksama dan menikmati kemerduan suaranya saat bernyanyi.
“Sang putri bersedih, menghabiskan waktunya sendirian, dia mengelilingi taman bunga di istana nya sambal bernyanyi lagu kesepian,” Rumi mendongeng sambil berakting menjadi putri dan mulai bernyanyi.
“Apakah putri harus menunggu pangeran yang telah pergi meninggalkannya? atau putri harus mencari pangeran yang baru. Bagaimana menurut kalian?” Rumi berhenti bercerita dan bertanya pada anak-anak.
Anak-anak riuh dengan jawaban mereka, ada yang berkata putri harus bertahan dan menunggu pangeran kembali ada yang berkata kalau putri harus mencari pangeran yang lebih tampan. Rumi tertawa mendengar jawaban dari seorang anak perempuan kecil yang menyuruh Rumi untuk mencari pangeran yang lebih tampan.
Sampai tiba-tiba masuklah seorang laki-laki berkulit putih bersih masuk dalam lingkaran dan bergaya layaknya seorang pangeran.
“Aku mendengar ada seorang putri yang ditinggal sendiri di kerajaan ini, boleh aku mengenalnya?” laki-laki itu bertanya dan membungkukkan tubuhnya tepat dihadapan Rumi.
Anak-anak dan warga menjadi ramai dan kata-kata ‘cieee…..cieee’ pun keluar.
Wajah Rumi menjadi merah merona, dan mereka pun tertawa, akhirnya mereka berdua melanjutkan kegiatan mendongeng itu sampai pada waktu magrib tiba.
Melihat pemandangan itu Fatih lebih memilih meninggalkan mereka dan menuju masjid kecil yang tidak jauh letaknya dari Balai Desa. Dia mengambil air wudhu dan bersiap mengumandangkan adzan.
“Apa mas juga relawan?” tanya Rumi pada laki-laki yang duduk disampingnya yang sedang memutar tutup air mineral untuk diberikan padanya.
“Jangan panggil mas, panggil saja Billi, sepertinya kita seumuran,” Billi tersenyum lembut pada Rumi.
“Dari mana tau kita seumuran?” Rumi bertanya heran.
“Tidak sulit mendapatkan info tentang wanita cantik disini,” jawab Billi menggoda.
“Apakah kamu begitu pandai menggoda?” kata Rumi sambil berdiri.
“Sudah mau adzan magrib, kita harus bersiap-siap shalat berjamaah,” kata Rumi lagi sambil meninggalkan Billi, yang masih tersenyum dengan pertanyaan nyeleneh Rumi.
Rumi mempercepat jalannya dan terhenti saat ia mendengar suara adzan yang begitu merdu dan menyayat hati, rumi menengok dari pintu samping Masjid melihat laki-laki yang diharapkannya menjadi imam hidup nya sedang mengumandangkan adzan dengan merdunya. Rumi menarik nafas, rasa kagum itu tiba-tiba berubah menjadi rasa marah.
Rumi melanjutkan berjalan menuju tempatnya bermalam untuk mengambil peralatan shalat.
Warga dan relawan shalat berjamaah dan mengaji bersama serta beristhigosah meminta ampunan dan perlindungan kepada Allah atas bencana longsor yang baru terjadi.
Malam semakin larut, hembusan angin dingin mulai menyusup pada kulit, angin dingin bersuara kesedihan menyelusup merasuki hati, suasana sangat sepi, Rumi dan beberapa orang relawan membuat api unggun kecil untuk menghangatkan badan, api unggun dinyalakan didepan tenda, karena rumah terlalu kecil untuk ditinggali oleh semua orang, relawan laki-laki bermalam di sebuah tenda yang lumayan besar.
“Ungkapkan kemarahan mu dan jangan menahan nya, aku bisa mengerti kalau kamu marah dan benci pada ku,” Fatih berkata lirih setelah mengambil posisi duduk di samping Rumi.
“Mas tahu alasan kemarahan ku?” tanya Rumi datar.
“Mungkinkah karena aku membatalkan perjodohan kita tanpa berkompromi pada mu?” jawab Fatih ragu-ragu.
“Membatalkan perjodohan itu adalah hak mu, tidak ada yang salah dengan nya, kenapa aku harus marah. Tapi ada kesalahan besar yang kamu perbuat yang membuat ku marah dan menyesali tindakan mu itu mas.”
Fatih ragu untuk menjawab dan hanya memilih diam mendengar nada bicara Rumi yang penuh dengan kekesalan.
“Kamu menolak perjodohan ini tanpa mengenal aku lebih dulu, kamu bahkan enggan melihat foto ku terlebih dulu, dan berkata kamu tidak akan bisa mencintai ku!” sedikit bernada tinggi penuh kekesalan Rumi mengeluarkan kata itu.
“Aku punya alasan untuk itu,” Fatih menjawab dengan pelan, dan hampir menghilang tersapu hembusan angin.
“Bahkan aku tidak bisa mengetahui alasan mu itu kan mas?” Rumi masih menjaga nada tingginya agar terlihat kuat dihadapan Fatih.
“Maaf Rumi, hanya kata itu yang bisa aku ucapkan saat ini,” Fatih memandang kegelapan malam yang pekat.
Rumi beranjak dari duduknya, berdiri dan berkata sekali lagi dengan kekuatan yang masih tersisa untuk menahan air matanya yang akan hampir terjatuh.
“Lupakan apa yang telah terjadi pada kita dimasa lalu, kini kita hanya saling mengenal sebagai rekanan baru yang baru saja berjumpa.”
Rumi melangkahkan kakinya dengan hentakan kekesalan yang ia salurkan agar mampu hilang terbawa angin dan gelapnya malam.
Fatih memandang api unggun tanpa menjawab. Kobaran api berwarna kemerahan, memperlihatkan pengorbanan yang harus dia telan sendirian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Inggri
nyimak 😊
2021-06-10
0
ciby😘
kirain rumi pura" gk kenal...trus mendekati fatih sampai fatih jatuh cinta😄😄😄tebakan ku salah 😉lanjuttttt....
2021-03-02
0
❃ᵐᵘᵗᶦᵃʳᵃ•ᵇᶦˡⓠᶦˢ𖤓꙰?
hai kakak maaf aku baru mampir😊😊
ceritanya menarik ka..
😍😍😍
2021-02-22
0