RUMI Cintaku

RUMI Cintaku

Membatalkan Perjodohan

“Aku tidak bisa menikahi mu walaupun kita sudah dijodohkan, aku tidak bisa hidup dengan perempuan yang tidak aku cintai, aku takut menyakiti mu nantinya. Rumi apa kau mendengar ku?”

“Iya mas, aku…aku mendengarnya. Apa tidak bisa kita jalani dulu mas, mungkin nanti kamu bisa mencintai ku?"

“Pernikahan itu bukan mainan Rumi, bukan cerita novel kawin kontrak yang benci tiba-tiba menjadi cinta, pernikahan itu adalah ibadah, bagaimana kita bisa melakukan ibadah sedangkan hati kita tidak didasari suka dan cinta. Ibadah yang diterima adalah yang dilakukan dengan keikhlasan, kebahagiaan. Sedangkan keikhlasan dan kebahagiaan itu akan hadir saat kau mencintai hal yang kau lakukan. Aku takut Rumi aku tidak bisa mencintai mu dan ibadah dalam pernikahan kita menjadi buih di lautan.”

“Apa mas sudah melihat foto ku?” dengan terbata karena menahan air mata Rumi mencoba meyakinkan laki-laki yang berbicara dengannya di seberang sana, ia berharap bisa merubah pikirannya.

“Maaf Rumi aku bahkan tidak bisa melihat foto mu karena aku tidak bisa meneruskan perjodohan ini.”

Luluh-lantah lah harapan Rumi menjadi istri Fatih, padahal ia sudah berharap banyak dari nya, meski sebelumnya mereka belum pernah bertemu dan hanya sempat berbicara tiga kali lewat telepon Rumi sudah langsung bermimpi untuk hidup dengannya, hanya dengan melihat foto wajahnya yang tersenyum indah, Rumi bahkan sudah bermimpi dicintainya, hanya dengan mendengar suaranya yang tegas, lugas dan humoris, Rumi sudah terbuai dengan pujian-pujian yang akan dilontarkan Fatih padanya.

“Rumi, apa kamu masih di sana?”

“Iya, mas?”

“Aku akan berbicara pada orang tua ku dan orang tua mu. Maaf rumi, maafkan kebodohan ku karena menolak perjodohan ini. Aku tau kamu adalah gadis istimewa, karena ibu ku sangat menyukai mu, aku tahu pilihannya tidak akan salah. Semoga kamu mendapatkan laki-laki yang terbaik yang Allah pilihkan untuk mu. Assalamulaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Dedaunan yang tadi nampak hijau di atas pegunungan itu terlihat memutih dengan gumpalan kabut tebal seakan mereka berkumpul untuk menambah kegelapan dalam hati Rumi saat ini.

Tangan yang tadi begitu bersemangat mengangkat ponsel saat melihat namanya tertera dalam panggilan, kini begitu lemas menahan sakitnya hati yang terasa begitu remuk. Hati yang sakit bahkan tidak bisa menahan bobot tumbuhnya yang ringan, tubuh Rumi terkulai di atas lantai meremas hati yang terluka.

Berharap terlalu lebih pada manusia dan meyakinkan diri akan mendapat kebahagiaan darinya saat mulai pertama diperkenalkan dengan foto seorang laki-laki yang diberikan ibunya saat itu, dan mimpi itu terus berkembang saat ia mulai mengenalnya melalui orang tua Fatih yang begitu ramah, mimpi menjadi seorang menantu perempuan yang dicintai oleh mertuanya telah melupakan Rumi pada rencana Allah yang tidak bisa ditebak.

“Nak Rumi ayo silahkan masuk, ibu dan bapak sudah menunggu mu. Mari silahkan duduk Pak, Bu, nak Rumi.”

“Maaf Loh ini ga dijamu, disini sedang masa paceklik, pohon pisang pun enggan untuk berbuah, hanya ada beberapa makanan biasa yang ibu buat bersama Fatima,” senyum sumringah memancar dari wajah keibuan seorang ibu yang nampak anggun dengan balutan baju gamis sederhana berwarna abu muda.

“Alhamdulillah tamu nya sudah datang,” senyum dari pria setengah baya yang menyiratkan kewibawaan seorang ayah yang nampak rapih dengan batik koko.

“Ibu ini sampai berkali-kali bertanya kapan nak Rumi datang,” katanya lagi sambil mencari posisi duduk di samping istrinya.

“Ah bapak ini, ibu memang sudah tidak sabar melihat nak Rumi yang ayu ini, nak Rumi memang sangat ayu ya pak? Fatih pasti langsung jatuh hati.”

Mendengar kata itu jiwa pemalu Rumi tiba-tiba memasang antibodi merah di pipi.

“Ibu Fatma terlalu memuji, lihat pipi Rumi sampai merona seperti itu,” lirik pak Baim ayah Rumi, membuat wajah Rumi semakin menunduk.

Pertemuan dengan keluarga Fatih sangat disambut oleh hati Rumi saat itu, sampai mimpi-mimpi Rumi tentang pernikahan dan masa depannya terus berakar dalam hati dan kini hati itu mendapat sakitnya yang tak terkira saat mendapat penolakan dari Fatih.

Tangan lembut seorang ibu menyentuh butiran air mata yang menetes di pipi Rumi, tubuh lemahnya mencoba menopang tubuh Rumi yang terkulai untuk duduk di kursi.

“Allah tidak pernah mendzolimi hambanya apalagi pada hamba yang menggantungkan harapan pada-Nya. Hanya ada dua kemungkinan, ini ujian untuk mu untuk menghapus dosa-dosa mu yang telah lalu atau ujian untuk mu mendapatkan kemuliaan di sisi-Nya,” tatapan mata sayu yang mencoba tegar itu terlihat berair.

“Ibu aku ingin mengetahui sesuatu sebelum menerimanya begitu saja.”

“Apa yang ingin kamu tahu, nak?”

“Aku ingin jawaban dari rencana Allah ini ibu, tidak mungkin Allah tiba-tiba memberikan Rumi hal seperti ini tanpa ada alasannya, Rumi ingin mencari alasan kenapa mas Fatih melakukan ini pada Rumi.”

“Alasan apa lagi yang kamu inginkan, nak?”

“Dia tidak mencoba mengenal Rumi terlebih dahulu bahkan dia menolak Rumi tanpa melihat wajah Rumi bu.”

Pelukan hangat dari seorang ibu yang telah menaruhkan separuh hidupnya untuk kebahagiaan anaknya menjadi penguat tekad Rumi untuk menemukan jawaban dari kejadian ini.

Fatih adalah seorang relawan yang bergerak dalam tanggap bencana dan kesejahteraan sosial, saat ini sesuai info yang di dapatkan Fatih sedang berada di salah satu daerah Jawa. Dengan kebulatan tekad untuk menemukan jawaban dari segala pertanyaan nya, Rumi berangkat menyusul Fatih ke sana.

Rumi bergabung dengan rombongan relawan kesehatan karena kebetulan sahabat nya Reno yang seorang dokter akan menjadi relawan di sana. Rumi mengatakan alasan nya untuk pergi, meski Reno menunjukkan rasa keberatannya, dengan sedikit memohon akhirnya Rumi diijinkan untuk ikut, dengan syarat Rumi tidak terluka saat bertemu Fatih.

Reno memang sahabat Rumi dari dulu, caranya memperlakukan Rumi seperti memperlakukan kekasihnya, meski sebenarnya Rumi tidak pernah melihat Reno dekat dengan seorang perempuan selain dirinya. Reno tak segan mengomel, mengkritik bahkan memarahi Rumi, hanya saja dibalik itu dialah yang selalu membela Rumi disaat ia terpuruk seperti ini.

“Kenapa kamu masih mau memperjuangkan laki-laki yang sudah jelas mencampakkan mu, apa harga diri mu setipis itu?” lirikan sinis Reno terlihat begitu terganggu dengan adanya Rumi di dalam mobil yang mengangkut tim relawan kesehatan itu.

“Issh…Kamu tidak pernah jatuh cinta kan, makanya berani berkata seperti itu?”

“Kalau benar seperti ini cinta lebih baik aku tidak merasakannya,” jawab Reno ketus.

Jawaban menjengkelkan itu membuat Rumi menahan kesal, ia tidak mau bertengkar dengannya hari ini, ia harus menyimpan perasaan nya dan mempersiapkannya saat bertemu dengan Fatih nanti. Entah kata apa yang akan keluar saat ia bertemu dengannya nanti, ia bahkan tidak tau ekspresi apa yang harus di tunjukkan nya saat berhadapan dengan Fatih.

Setelah menempuh 6 jam perjalanan dengan mobil akhirnya tim relawan sampai pada sebuah kampung yang terlihat kumuh, dengan tanah yang gersang dan udara yang panas membuat badan Rumi sedikit terkejut, ia terbiasa dengan udara segar pepohonan yang rimbun dan hijau, debu yang terhisap oleh hidung membuat kerongkongan nya mejadi gatal, sepanjang jalan menuju tempat yang akan meraka tinggali, Rumi tidak berhenti bersin dan menutup mulut nya dari debu-debu yang mungkin saja terhisap.

Rumi memelankan jalannya sesaat setelah dia melihat sesosok laki-laki dari sebuah pohon yang rindang, yang terlihat menjulang tinggi di tempat itu. Dia melihat seorang laki-laki yang berperawakan tinggi tegap sedang menolong seorang anak kecil yang terluka, Rumi mencoba mendekatinya melihat laki-laki itu secara dekat, ada perasaan yang mendorongnya untuk lebih mendekat padanya dan menelaah wajahnya.

Wajah lonjong dengan hidung mancung dan bulu alis yang tebal berwarna sawo matang dan kumis tipis, persis seperti laki-laki yang di lihat nya dalam foto itu sampai membawa nya pada mimpi yang menghiasi setiap tidur malam nya.

“Ada yang bisa saya bantu?” tiba-tiba laki-laki itu berdiri dan melihat Rumi dengan seksama, apakah kamu datang dengan tim medis?”

Mulut Rumi tiba-tiba tertutup rapat, melihat laki-laki yang dengan tegas menolak nya tanpa melihat wajah nya ini, membuat nya mematung dan bingung memilih kata untuk mengungkapkan perasaan nya.

“Apa mungkin kamu mengenalku?” laki-laki itu bertanya kembali karena masih heran dengan tatapan mata Rumi yang begitu dalam padanya.

Entah apa arti tatapan ini padanya, ada rasa bahagia, marah, menyesal, dan sedih. Tanpa menjawab Rumi membalikkan badan nya dan mencoba menggerakan badannya yang terasa begitu berat.

“Maaf kamu bisa memakai ini,” Fatih memberikan masker berwarna biru.

“Disini berdebu, saya lihat hidung mu sudah memerah sepertinya kamu sudah bersin sepanjang jalan kemari.”

Masih tanpa ekspresi Rumi mencoba mengambil masker itu. Wajah Rumi masih terus menatapnya, ada pertanyaan yang ingin ia keluarkan. “Kenapa?”

Sebelum masker itu sampai ke tangan Rumi, Fatih menariknya kembali dan berkata, “Duduklah dulu, simpan barang bawaan mu, dan pakailah dulu maskernya!”

Tubuh Rumi refleks mengikuti perintah Fatih, ia duduk dibawah pohon dan menyimpan barang bawaannya, Fatih memberikan masker dengan senyum persis seperti yang terlihat di foto yang selalu dipandang Rumi, tangan nya yang lunglai mengambil masker dan mencoba memakai nya, mungkin karena terlalu lemas, Rumi sampai kepayahan memakai masker itu, tiba-tiba Fatih mengambil tali masker dan mengikatkan nya.

“Biarkan aku membantu mu,” lirih Fatih dari belakang telinga Rumi.

“Terimakasih,” hanya itu kata yang bisa terucap dari mulut Rumi saat masker itu selesai terpasang, Rumi mencoba berdiri dan kembali mengangkat barang bawaan nya. Karena hati dan tubuh Rumi tiba-tiba menjadi lemah ia pun kepayahan mengangkat tas dan barang bawaan nya itu.

Dengan sigap Fatih mengambil tas Rumi dan berjalan di samping nya.

“Kamu begitu lemah, bagaimana kamu bisa datang kemari?”

Rumi tidak menjawab dan hanya berjalan mengikutinya.

“Aku Fatih, siapa namu mu?”

Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba kaki Rumi berhenti melangkah dan memandang nya dari belakang. Laki-laki itu ikut berhenti dan tersenyum pada nya sekali lagi.

“Aku Rumi,” akhirnya nama itu terucap.

Fatih terdiam dan memandang Rumi dengan seribu pertanyaan dibenaknya, namun Rumi tidak mengindahkan nya, ia terus berjalan mendahului nya, tanpa menoleh ke belakang lagi, perasaan yang berkecamuk dalam hatinya tidak bisa ia perlihatkan pada Fatih, laki-laki yang tanpa kompromi mencampakkan nya dan mengubur cita-cita dan mimpi-mimpi indah yang baru saja ia rajut.

Terpopuler

Comments

Aryani💞hambaliAziz

Aryani💞hambaliAziz

udh lama di rak buku tp baru baca, sepertinya bagus, klu udh baca trs jatuh cinta sama novel ini jgn digantung ya kak... 😍

2022-01-03

0

Sokili Madil

Sokili Madil

hai

2021-12-19

0

ibah

ibah

aku udah mampir Thor..

2021-03-29

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 55 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!