Punya Kekasih Lain

"Mi, itu Tante Aira kan? Jangan bilang kalau Dinara itu adalah ...," Gusta menggantungkan kalimatnya.

"Nanti kita bicarakan lagi, Sayang. Umi kompres Dinara dulu. Malam ini dia tidur sama Umi," sahut Umi, tak mau membahas pertanyaan Gusta lebih jauh. Dia justru langsung beranjak meninggalkan Gusta, kemudian masuk ke kamar Dinara

Bukannya apa-apa, Umi hanya masih kaget begitu tahu bahwa anak sambung dari adiknya yang akan dijodohkan dengan putranya adalah Dinara yang sama, dengan gadis yang saat ini sedang berada di rumahnya.

Selama ini, Dinara memang tidak pernah mau berurusan dengan keluarga dari Aira. Bahkan sekedar hadir di acara pernikahan orang tuanya saja dia tidak sudi melakukannya. Jadi tidak heran, jika seluruh keluarga dari Aira termasuk Umi, tidak mengenal sosok Dinara.

"Bi?" Gusta menatap abinya ragu.

"Ucapan adalah do'a. Makanya hati-hati dengan ucapanmu itu. Kamu minta umimu nglamarin dia buat kamu sampai dua kali lho tadi. Jadi sejalan dengan kenyataan yang akan kau dapatkan. Besok Umi dan Abi akan lamar dia buat kamu," sahut Abi dengan santainya.

"Bagaimana bisa Gusta menikahi gadis belia, yang bahkan dia punya kekasih lain yang sudah sangat lama dipacarinya, Bi," Gusta mengacak rambutnya dengan kasar.

"Maksudmu?" Abi mengerutkan dahinya.

"Maksud Gusta ini, Bi," Sahdan ikut bicara dan menunjukkan akun YouTube milik Dinara, yang menampilkan ratusan lagu yang dibawakan Dinara dan kekasihnya.

"Bisa saja kan, itu akting di panggung. Mereka kan ingin viral," Abi tidak kaget melihat penampilan Dinara dalam layar ponsel yang ditunjukkan kepadanya. Pasalnya, sebelum dia menyetujui perjodohan Gusta dan putri sambung adik iparnya, mereka telah diberi tahu semua track record gadis yang akan disandingkan dengan putranya itu.

"Enggak, Bi. Banyak media yang membicarakan mereka akhir-akhir ini. Bahkan kami melihat kedekatan mereka seperti apa saat di Cafe tadi," sergah Gusta, yang semakin resah jika harus memikirkan semuanya.

"Tugas kamu untuk membuat dia melupakan kekasih hatinya. Tante kamu mempercayakan Dinara kepadamu, karena dia yakin, kamu bisa mengembalikan dia ke jalan yang seharusnya," Abi menatap tajam Gusta. Pandangannya penuh dengan harapan dan juga kepercayaan.

"Jadi Abi tahu kalau gadis yang akan Gusta nikahi itu adalah gadis yang na ..., ahhh sudahlah. Gusta jadi pusing sendiri mikirinnya," Gusta meninggalkan Abi dan Sahdan begitu saja, dan langsung masuk ke dalam kamarnya.

***

Mata Dinara masih terasa begitu berat, saat dia merasakan keningnya tiba-tiba menghangat. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya menangkap sosok wanita setengah baya yang sedang duduk di sebelahnya dan sedang menempelkan handuk hangat pada bagian keningnya.

"Kamu sudah sadar, Sayang?" tanya Umi lembut.

Dinara langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruang, memastikan posisi dia sekarang ada dimana.

"Saya di mana ya, Tante?" ucap Dinara begitu menyadari bahwa saat ini dia telah berada di sebuah kamar asing.

"Panggil Umi," sahut Umi sambil membantu Dinara duduk dan bersandar pada kepala ranjang.

"Baik, Umi. Sekarang Dinara ada di mana ya, Umi?" Dinara mengulangi pertanyaannya.

"Sekarang kamu berada di rumah Umi. Tadi putra Umi menemukan kamu pingsan di ujung jalan depan. Makanya dia membawa kamu ke sini," jelas Umi hangat, bahkan kini tangannya sudah mengelus kepala Dinara dengan begitu lembutnya.

"Terima kasih, Umi," ucap Dinara dengan mata berkaca-kaca.

Dada Dinara terasa begitu sesak, mendapatkan perlakuan lembut dari tangan Umi. Ya, karena sejak mamanya meninggal, Dinara tak pernah sekalipun mendapatkan perlakuan semanis itu dari seorang ibu. Walaupun sebenarnya dia bisa mendapatkan itu dari Aira, tapi Dinara sungguh tak ingin membuka hati untuknya.

"Kamu kenapa, Sayang? Apa ada yang sakit?" Umi merasa cemas begitu menyadari gadis di depannya mulai mengeluarkan air mata.

"Tidak, Mi. Dinara hanya ingat Mama," Dinara menggelengkan kepalanya, kemudian menyeka air mata di pipinya dengan kasar.

"Mamamu?" Umi mengerutkan dahinya.

"Mama sudah meninggal, Umi. Tapi entah kenapa, Dinara jadi ingat Mama begitu ketemu sama Umi," Dinara memaksakan senyumnya.

"Terus yang tadi telepon Umi?" pancing Umi.

"Siapa, Mi?" Dinara memicingkan matanya.

"Maaf tadi Umi buka-buka handphone kamu. Ada tiga puluh tiga panggilan tak terjawab dari papa kamu. Umi telepon balik, yang menjawab seorang wanita. Dia bilang mama kamu. Dia terlihat sangat khawatir sama kamu, Sayang," Umi masih memancing Dinara, agar dia mengeluarkan unek-uneknya.

"Dia ibu tiri aku, Umi. Mungkin dia lagi sandiwara aja di depan Papa," ketus Dinara.

"Tidak boleh su'udzan begitu, Nak. Bisa jadi dia tulus menyayangi kamu," Umi kembali mengelus kepala Dinara.

"Bagi Dinara, dia hanya perempuan sok suci yang bersembunyi di balik hijab besarnya. Dia tidak hanya merebut Papa, tapi juga merenggut kebahagiaan Dinara, Umi. Sejak ada dia, Papa berubah. Dinara dipaksa berhijab, meninggalkan dunia musik yang sudah menjadi separuh nafas Dinara, memaksa Dinara untuk berpisah dengan kekasih Dinara, bahkan kini merelakan Dinara untuk dinikahkan dengan keponakan dari perempuan itu. Sejak ada dia, Dinara merasa menjadi mayat hidup yang harus menuruti semua kehendak Papa dan wanita itu, Umi. Mereka menganggap Dinara gadis yang rusak, gadis dengan pergaulan bebas dan predikat jelek lain yang selalu mereka lekatkan dengan kehidupan Dinara dan teman-teman Dinara. Lebih menyakitkan lagi ketika banyak orang yang bilang, bahwa wanita itu jauh lebih baik dari pada Mama," Dinara mulai terisak.

Umi yang mendengar cerita Dinara yang begitu sendu pun, menarik dan memeluk tubuh Dinara dengan penuh cinta. Akhirnya dia mulai mengerti, kenapa Aira menyerahkan anak sambungnya itu untuk dinikahi putranya.

"Belum tentu yang kau lihat baik itu, baik di mata Allah, Sayang. Dan belum tentu juga apa yang kau lihat buruk itu, buruk di mata Allah. Yakinlah, bahwa skenario Allah itu lebih indah dari skenario manusia," ucap Umi lembut.

"Baiklah, sekarang kamu minum obat terus tidur. Nabila, putri Umi sedang mengambilkan air dan menyiapkan obat untukmu," tutur Umi lagi, sambil merenggangkan pelukannya.

"Terima kasih, Umi," sahut Dinara.

"Sama-sama, Sayang. Setelah minum obat, kamu langsung tidur. Biar Umi temani di sini. Insya Allah besok pagi orang tuamu ke sini untuk menjemputmu," cicit Umi, dengan senyum yang menenangkan.

"Umi, Dinara belum siap jika harus pulang. Bolehkan Dinara tinggal di sini satu hari lagi? Dinara belum siap bertemu dengan Papa dan wanita itu lagi," pinta Dinara penuh harap.

"Tentu saja boleh, Sayang. Biar Umi telepon orang tuamu. Bahkan Umi akan bilang, bahwa Umi sendiri yang akan mengantarkanmu pulang," jawab Umi mantap.

"Terima kasih, Mi," Dinara langsung menghambur ke arah Umi dan mendekapnya erat.

Umi yang mendapati perlakuan spesial dari calon menantunya itu pun hanya tersenyum, dan mulai menyusun rencana agar Dinara bisa tetap merasa nyaman bersamanya.

"Akan aku ambil alih tanggungjawabmu, Aira. Dia tidak hanya akan menjadi menantuku, tapi putri kesayanganku," gumam Umi dalam hati.

BERSAMBUNG

Terpopuler

Comments

Lina Luthfie

Lina Luthfie

senyum" sendiri dng ucapanx umi

2021-11-30

0

Nur hikmah

Nur hikmah

kasian argha....sm q aj thor...hihihihi

2021-10-07

0

Laura hussein

Laura hussein

next

2021-01-12

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!