Pencarian Dinara

"Hus. Hus. Hus. Sana pada pergi! Jangan pandangi terus gadis cantik ini! Kamu juga, Gusta. Umi sampai takut, bola matamu itu akan keluar dari tempatnya, melihat kamu sampai sebegitunya memandanginya. Ingat, jaga mata dan hatimu hanya untuk calon istrimu saja!" Umi sudah berkacak pinggang, melihat Sahdan, Gusta dan juga Abi masih sibuk memperhatikan gadis yang kini terbaring lemah di depannya.

"Umi terlambat, Mi. Yang itu di-cancel aja bisa nggak, Mi? Gusta ganti pesen yang ini. Tolong lamarin dia aja buat anak gantengnya Umi," Gusta mendekati uminya sambil mencium wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu.

"Gusta! Dasar anak nakal. Memangnya ojol bisa pesan dan cancel seenaknya?" Umi menjewer telinga putranya dan menariknya keluar dari kamar, meninggalkan Dinara hanya bersama Nabila.

"Ampun. Ampun, Mi. Sakit. Gusta cuma bercanda. Sure," Gusta mendramatisir.

Abi hanya geleng-geleng kepala saja mendapati putranya yang masih suka menjaili uminya, walaupun sudah menyelesaikan gelar Lc-nya (Licence) di luar negeri.

"Sana mandi. Mandi. Mandi. Biar Umi yang menjaga gadis ini," Umi melepas tangannya dari telinga Gusta dan menutup pintu kamar tamu begitu saja, sambil menunggu seorang dokter datang untuk memeriksanya.

***

Gema Abimanyu, terlihat berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan wajah yang begitu sendu. Pasalnya Dinara, putri semata wayangnya tak juga pulang padahal hari sudah melewati tengah malam.

Istrinya, Aira yang tak lain adalah ibu sambung Dinara pun berusaha menenangkannya. Dia beranjak dari duduknya dan berdiri tepat di depan suaminya, demi membuat pria itu berhenti mondar-mandir yang memusingkan kepala.

"Pa, kita hubungi temannya satu-satu. Dinara janji malam ini adalah malam terakhir dia manggung bukan? Mungkin dia hanya ingin mengatakan kata perpisahan," ucap Aira lembut.

Gema mendudukkan dirinya setelah mendengar ucapan istrinya. Ya, Aira memang selalu bisa menenangkannya, seperti apapun kondisi hatinya. Ucapannya yang selalu terdengar sejuk, menambah kecantikan yang dimilikinya kian sempurna. Sorot matanya yang selalu berbinar pun selalu mampu menghapus awan-awan gelap yang sering muncul di hati Gema. Meskipun, Aira memang sangat tegas dalam beberapa hal, tapi dia begitu hangat dalam setiap perkataan.

"Pasti dia sedang bersama anak ingusan itu," nada sumbang berceceran dari mulut Gema.

"Kita cek ke Cafe saja gimana, Pa? Kalau tidak ada kita coba ke rumah Arga," tutur Aira ragu.

Gema terlihat berpikir sejenak, kemudian menyetujui masukan istrinya itu.

Hanya butuh waktu tiga puluh menit, Gema dan Aira sudah tiba di Cafe tempat Dinara manggung seperti biasanya. Lengang. Hanya suasana itu yang mereka rasakan. Tidak mungkin juga Cafe itu buka sampai lewat tengah malam.

"Nggak ada siapa-siapa, Pa," ucap Aira dengan segala rasa gundah di hatinya.

"Pasti dia kabur sama anak ingusan itu," tangan Gema mengepal, bahkan beberapa kali dia memukul-mukulkan tangannya pada setiran mobilnya.

"Jangan su'udzan dulu, Pa. Kita coba cari Dinara di rumah Arga. Papa jangan marah-marah gitu. Belum tentu yang Papa pikirkan itu benar," Aira mengelus punggung suaminya untuk menenangkan.

Gema hanya menghela nafas panjang, lalu kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, berharap bahwa di sepanjang jalan itu putrinya ditemukan.

Harapan pun hanya sekedar harapan. Dinara tak ada di sepanjang jalan, di rumah Arga pun mobilnya tak ditemukan.

"Mobilnya nggak ada di sini juga. Gimana ini Pa?" Aira semakin khawatir.

"Kita masuk. Jika Arga tak ada di rumah juga, berarti mereka pergi bersama," sahut Gema datar.

"Tapi Papa janji sama Mama. Tidak ada marah-marah di dalam sana. Papa harus kendalikan emosi Papa," pinta Aira yang hanya dijawab oleh anggukan kecil Gema.

Setelah turun, mereka pun mengetuk pintu. Sekitar lima menit berselang, Mama Rini keluar dengan tatapan penuh tanda tanya besar.

"Arga langsung tidur begitu sampai rumah, Pak. Apa perlu saya bangunkan untuk menanyakan barangkali tadi ada masalah dengan Dinara?" ucap Rini, begitu Gema dan Aira menanyakan keberadaan Dinara dan Arga.

Gema pun tak berniat bertemu dengan pacar anaknya itu. Hingga akhirnya mereka memutuskan pulang, tanpa tahu keberadaan putri mereka ada dimana.

"Hubungi nomor Dinara terus, Ma,"

"Belum diangkat juga, Pa,"

***

Umi bisa tersenyum lega, begitu dokter bilang tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kondisi Dinara. Gadis itu hanya butuh istirahat dan obat penurun panas saja. Karena dia belum tersadar dari pingsannya, maka dokter menyarankan untuk mengompres Dinara untuk sementara.

Setelah mengantar dokter itu keluar, Umi pun menghampiri Gusta yang sedang asyik bercanda dengan Sahdan dan abinya.

"Itu anak gadis orang pasti sedang dicari orang tuanya. Coba cari handphone-nya, mungkin ada nomor orang tuanya yang bisa kita hubungi," cicit Umi sambil duduk di sebelah Gusta.

"Tapi ingat ya, Mi. Begitu Umi tersambung ke orang tuanya, langsung lamar dia buat Gusta," sahut Gusta kemudian langsung berlari, menghindari jeweran uminya sekali lagi.

"Gusta! Kamu mau ini, hmm?" Umi langsung melempar sebuah bantal ke arah Gusta, saking geramnya.

Gusta hanya terkekeh sambil berlari ke arah mobil Dinara.

Abi yang melihat putra sulungnya, selalu menggoda uminya itu pun hanya ikut terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kalian bener nemuin gadis itu di jalan? Kok Gusta sampai tahu namanya? Padahal kalian nemuin dia dalam keadaan sudah pingsan kan?" Umi menatap Sahdan penuh curiga.

"Kasih tahu nggak ya?" Sahdan ikut menggoda.

"Sahdan! Kamu mau Umi jewer juga? Kalian ini ya, sama saja," Umi bersungut kesal.

"Enggak, Mi. Enggak. Demi Allah, Sahdan dan Gusta nemuin dia di ujung jalan sana,"

"Terus?"

"Dinara itu sering manggung di Cafe langganan Gusta, Mi. Tadi kita mampir ke sana dan sempat baca namanya," jelas Sahdan, tak mau mendapatkan jeweran seperti sepupunya.

"Kalau bohong dosa loh," ancam Umi.

"Ya Allah, Umi. Main curiga saja ini," Gusta yang baru muncul dari balik pintu protes mendengar ucapan uminya.

"Kalau Gusta menolak perjodohan dari Umi dan Tante, Gusta tidak akan pulang, Mi. Mendingan Gusta cari gadis Mesir saja," celoteh Gusta sambil duduk dan mencium uminya.

"Gusta, serius dikit kenapa sih kalau lagi ngomong sama umi,"

"Serius Gusta sampai sisa-sisa lho ini, Mi. Gusta terima dengan keikhlasan hati, gadis yang dipilihkan Umi," kini pelukan maut Gusta sudah berhasil membuat emosi Umi mereda.

"Kamu ini ya. Mana handphone-nya? dapat? Coba dibuka" tanya Umi.

"Tiga puluh tiga panggilan tak terjawab, Mi. Diantaranya ada nomor papanya,"

"Untung handphone tidak dikunci. Hubungi papanya saja,"

Gusta pun memencet icon warna hijau, begitu menemukan sebuah nomor dengan nama Papa di handphone Dinara. Dan begitu tersambung, Gusta langsung menyerahkan benda pipih itu kepada uminya.

"Assalamualaikum, Sayang. Kamu dimana? Mama dan Papa mencarimu kemana-mana? Kamu baik-baik saja kan?" suara seorang perempuan di ujung telepon langsung terdengar di telinga Umi.

"Aira?" Umi mengerutkan dahinya, mendengar suara yang sangat tidak asing di telinganya.

"Kakak?"

BERSAMBUNG

Terpopuler

Comments

Laura hussein

Laura hussein

selalu like

2021-01-12

2

_rus

_rus

Sudah aku like dan rate Thor 👍🏽👍🏽
Tetap semangat pokoknya 💪🏽💪🏽

Salam kenal dari "Sebuah Sebuah Kisah Cintaku" 😁

2020-12-22

3

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

like lagi pastinya

semangat selalu💪💪💪

2020-12-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!