Dia Mabuk Atau Kenapa?

Dinara turun panggung dengan tergesa-gesa, bahkan dia pamit pulang duluan tanpa sekedar ngobrol dengan Arga dan teman-temannya seperti biasanya.

"Din!" panggil Arga, dengan tatapan penuh selidik.

"Dont worry. I am fine," Dinara melambaikan tangannya sambil berlalu. Seulas senyum dia paksakan, agar Arga dan kru mereka tidak ada yang menaruh kecurigaan.

"Tunggu, Yank. Kita harus bicara," teriak Arga berusaha mengejar kekasihnya.

"Nanti aku telepon, ya. Papa sudah nungguin nih," sahut Dinara berbohong, sambil bergegas masuk mobil dan langsung meninggalkan area parkir.

Dan di sinilah Dinara sekarang. Di pinggiran Kota Yogya, yang mulai sepi karena hari sudah larut malam. Dia menangis sejadi-jadinya, melampiaskan semua kesedihan juga kemarahannya, yang dia pun tak tahu marah dengan siapa.

"Ma, Dinara kangen Mama. Kenapa Mama meninggalkan Dinara sendiri di dunia ini, Ma. Ajaklah Dinara. Dinara ingin menyusul Mama di sana saja," Dinara bermonolog sambil menangis pilu. Bahkan angin malam yang menyapu tubuhnya saat itu, tak dia hiraukan sama sekali. Dia terus berteriak-teriak di pinggir jalan, tanpa mempedulikan kendaraan yang sesekali berlalu lalang.

"Sekarang Dinara benar-benar sendirian, Ma. Papa satu-satunya yang Dinara punya sudah tidak peduli lagi dengan Dinara. Papa hanya menuruti kemauan istrinya tanpa mau mengerti perasaan Dinara," Dinara semakin tergugu, setelah mengucapkan kata-kata itu. Dia benar-benar merasakan kepedihan yang luar biasa dalam hatinya.

Ya, sendiri. Itulah yang Dinara rasakan saat ini. Sejak mamanya pergi, satu-satunya yang dia miliki adalah papanya. Dan segala kasih sayang yang dia butuhkan, memang tak sedikitpun dia pernah merasa kekurangan, karena papanya bisa memberikan apapun untuknya. Tapi itu sebelum kehadiran orang ketiga diantara sang papa dan dirinya.

Sejak wanita itu hadir di antara mereka, perubahan demi perubahan pun mulai dirasakannya.

"Kan perubahan ke arah yang lebih baik," itulah jawaban papanya setiap Dinara berusaha protes dan mengingatkan tentang perubahan pada papanya.

Sejak saat itulah segala batasan mulai berlaku untuk Dinara, bahkan papanya cenderung lebih keras dalam memperlakukan dan mendidiknya.

"Dinara mau tinggal bersama eyang saja," pinta Dinara suatu ketika.

"Papa tidak akan membiarkanmu menjadi lebih manja dan bertindak semaumu jika kau tinggal bersama mereka," tegas sang papa tanpa bisa ditawar lagi.

Dinara pun tak pernah lagi meminta apapun kepada papanya. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan semua yang papanya katakan, tanpa pernah menolak ataupun menyanggah perkataan papanya.

"Bukankah aku hanya mayat hidup yang tak punya hak untuk menentukan kebahagiaan hidupku?" batin Dinara meronta.

Puncaknya adalah malam itu. Papanya hanya memberi waktu sampai Dinara lulus SMA, dan Dinara diharuskan pergi meninggalkan dunia musik dan juga kekasih hatinya.

"Bukankah waktu itu Papa dan Mama mengizinkan Dinara?" Dinara pernah mencoba mengingatkan sang papa.

"Itu dulu, sebelum pergaulanmu rusak dan kamu sering pulang larut malam,"

"Papa bisa cek dimana Dinara setiap malam. Ini dunia Dinara, Pa. Akan banyak yang dirugikan jika Dinara tinggalkan begitu saja,"

"Siapa yang dirugikan? Anak ingusan yang kau pacari sejak kelas 2 SMP itu? Cinta monyet akan begitu mudah dilupakan. Bahkan dia menjadi satu-satunya alasan kenapa kamu akan segera Papa nikahkan,"

Kalah. Selalu saja seperti itu. Dinara selalu saja kalah posisi dengan wanita yang kini menjadi istri dari papanya. Bagaimana tidak? Semua kebebasan yang selama ini Dinara dapatkan, tiba-tiba terenggut begitu saja atas bisikannya.

"Aaaaa!" Dinara berteriak sekencang-kencangnya.

"Ambil nyawaku saja, Tuhan! Aku benar-benar sudah tak tahan!" teriaknya lagi dengan tangis yang semakin kencang.

Malam yang semakin larut, juga dingin yang menerpa pun lewat begitu saja, dan tak sedikitpun membuat dia beranjak dari tempatnya.

Bahkan kini, tubuhnya mulai menggigil. Kepalanya terasa berat, dadanya pun terasa begitu sesak. Dinara berusaha berjalan ke arah mobilnya, namun sebelum handel mobil bisa diraihnya, tiba-tiba dia merasa gelap dan tak lagi bisa merasakan apa-apa.

***

"Sob, itu bukannya gadis yang di Cafe tadi?" seru Sahdan sambil menggoyangkan tubuh Gusta yang sudah terlelap di sampingnya.

"Masya Allah, Bro. Kamu bisa nggak sih, teriak lebih kencang lagi? Biar telingaku ini jebol sekalian gitu. Nggak pengertian banget sih, saudaranya capek setelah pulang dari luar negeri juga. Main teriak aja," gerutu Gusta yang terlonjak kaget mendengar teriakan sepupunya.

"Lihat dia, Sob. Dia mabuk atau kenapa? Jalannya kok sempoyongan gitu?" Sahdan tak mempedulikan omelan Gusta. Dia terus memperhatikan gadis itu, sambil memelankan laju mobilnya.

"Mana?" Gusta sedikit menyipitkan matanya, demi memastikan perkataan Sahdan, yang telah rela mengusik tidurnya. Begitu menangkap sosok yang dimaksud sepupunya, Gusta pun langsung membulatkan mata.

"Berhenti! Berhenti! Berhenti!" titah Gusta, begitu mobil mereka melewati gadis yang sedang berusaha meraih handel pintu mobilnya itu.

Begitu Sahdan menghentikan mobilnya, Gusta langsung keluar dan berlari ke arah gadis itu, dan dengan sigap langsung menangkapnya hingga membuat sang gadis ambruk tepat di pelukannya.

"Gimana ini?" Gusta menatap Sahdan sambil menggendong gadis itu.

"Hubungi keluarganya?" Sahdan bertanya sekaligus memberi saran.

"Pertolongan pertama dulu yang harus kita lakukan, Bro. Kita bawa ke rumah sakit, baru hubungi keluarganya," sanggah Gusta, masih mempertahankan gadis itu dalam gendongannya.

"Rumah sakit empat puluh lima menit dari sini. Bawa pulang saja biar dipanggilkan dokter pribadinya Umi. Lebih dekat. Lima menit juga kita sampai," sahut Sahdan spontan.

"Baiklah. Aku bawa dia pulang dengan mobilnya, kamu bawa mobilmu sendirian," tutur Gusta.

Sahdan pun membukakan pintu depan dan membiarkan Gusta membaringkan gadis itu di kursi samping penumpang, setelah merebahkan kursi ke belakang.

Tak sampai lima menit, mereka akhirnya sampai ke rumah Gusta. Umi, Abi, juga adik perempuan Gusta yang sudah menunggu di teras pun segera beranjak dari duduknya dan menyambut kedatangan Gusta dengan tatapan heran dan bertanya-tanya.

"Kok ada dua mobil, Bi? Yang satunya siapa?" tanya Umi heran.

Bahkan begitu tahu bahwa ternyata Gusta yang keluar dari mobil asing itu, dan langsung membopong seorang gadis menuju rumah mereka, tak ada yang tak membulatkan mata melihat pemandangan yang kini di hadapannya.

"Masya Allah, perjakanya Umi pulang dari luar negeri sudah langsung bawa anak gadis siapa ini? Kamu tuh harusnya ingat, kamu itu sudah punya calon istri," omel Umi menyadari Gusta membawa seorang gadis dalam gendongannya.

"Umi apa-apaan sih, Mi? Anak gantengnya Umi pulang bukannya disayang-sayang juga. Bantuin Gusta, Mi. Gadis ini Gusta temuin pingsan di ujung jalan sana," jawab Gusta sambil terus berjalan melewati Umi, Abi dan Nabila adik perempuannya.

"Hah? Tidurkan di kamar tamu, Nak! Umi panggilkan dokter dulu," Umi langsung memasang mode serius dan menempelkan handphone yang sedari tadi dipegangnya itu ke telinganya.

Gusta pun segera masuk ke kamar tamu diikuti Sahdan, Nabila dan juga abinya.

"Dinara?" tak terasa Gusta menyebut nama gadis yang baru saja dibaringkannya. Ya, dia ingat betul nama gadis itu dari X-banner yang tadi sempat dibacanya.

BERSAMBUNG

Terpopuler

Comments

Cah Dangsambuh

Cah Dangsambuh

sepertinta bagus ,udah part 2 ku coba lanjut

2023-03-29

0

Nur hikmah

Nur hikmah

ko dinara g jujur c ma arga kekasihy biar iklas n legowo jd klw pisah g frustasi bngt......nyesek

2021-10-07

0

Laura hussein

Laura hussein

next update

2021-01-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!