BAB 4

Sekali lagi Rifa Maniac berhasil membuat gambar ‘lucu’ tentangku. Gambar terbarunya berupa karikatur diriku yang sedang memanggul dua orang cowok gendut di atas bahu. Di keterangannya tertulis: ‘si kerempeng pembunuh keluarga Jo yang sok cakep’ lengkap dengan emoji muntahnya.

Entah mengapa kelakuan mereka kadang membuatku geli sendiri. Aku tak habis pikir, kok sempat-sempatnya para cewek beken itu mengotak-atik gambarku untuk dijadikan bahan lelucon? Benar-benar kurang kerjaan. Anehnya lagi, aku selalu betah mengawasi tingkah konyol mereka di media sosial.

“Lo jahat!”

Seruan dari samping kiri itu berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel sejenak. Ternyata Cilla.

Cuma Cilla, batinku.

“Semenjak pacaran sama Rifa, lo jadi gak peduli sama gue. Jahat!”

Aku nyengir polos. Buru-buru kuamankan ponsel ke dalam saku, lalu fokus padanya. Cilla reseh kalau sudah merajuk begini. “Hehe ... iya sih. Maafin, ya?”

“Nggak!” Cilla tetap ngambek. “Lo bahkan gak ngasih tahu di rumah lo ada Kak Jovan!”

“Lho? Ngapain gue ngasih tahu lo? Emangnya kehadiran Jono itu penting, ya?”

Pertanyaan fatal. Selanjutnya Cilla memasang tampang bete diiringi mata yang semakin memerah. Tampak menahan tangis. “Lo lupa ya, kalau gue suka sama Kak Jovan?!”

O-ow “Hehe ... maaf lagi. Ya lo juga sih, ngapain suka sama Jono? Dia kan udah kedaluwarsa. Tua banget!”

“Biarin, orang dia juga suka sama gue kok!”

“Lho, spekulasi dari mana itu?”

“Gue bisa lihat dari tatapan matanya kalau dia itu suka banget sama gue. Tiap gue main ke rumah lo, dia pasti selalu menyambut gue. Ramah banget pula! Padahal kan kata lo dia itu nyebelin abis, gak ada baik-baiknya. Nah ke gue? Bukan cuma baik, tapi baik banget!”

Tidakkah Cilla tahu seorang kakak bisa kejam pada adiknya namun baik pada teman adiknya dalam waktu bersamaan? Sepertinya tidak. Dia ... sungguh-sungguh Miss Kegeeran. Sifat yang menjadikannya minus di mataku.

“Tapi itu udah lama banget, Cill. Waktu itu kita masih SD.”

“Yang namanya perasaan, kalau bener-bener tulus, pasti bakal bertahan lama. Gak akan pupus gitu aja.”

Enggan terjebak dalam percakapan dengan objek Jono, aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Eh, lo kan bisa baca isyarat mata. Menurut lo, gimana sih perasaan Rifa ke gue? Tulus apa nggak?”

“Tulus.” Cilla menjawab cepat. “Setulus rasa cintanya sama gue.”

Gubrak!

***

“Cilla siapa?” tanya Jono heran.

Tuh kan, Jono tidak peduli pada Cilla. Jangankan cinta, ingat saja tidak. “Teman gue yang dulu sering ke sini itu lho. Teman sebangku gue dari SD.”

Meski tahu jawabannya akan seperti itu, aku tetap ingin mendengar pendapat Jono mengenai Cilla. Siapa tahu di lubuk hatinya yang paling dalam ia suka pada Cilla.

“Oh, si Pricilla centil itu?”

Opini pertama yang langsung menjelaskan bagaimana perasaan Jono pada Cilla.

“Gue gak inget gimana rupanya,” ujarnya ketus. “Emang ada apa lo ngomongin dia ke gue?”

Aku menggeleng. “Ngetes daya inget lo aja.”

“Bohong.” Ia menatap tajam. “Gue yakin ada udang di balik bakwan tiba-tiba lo nanya yang aneh-aneh.”

“Eh?”

“Gue tebak dia pasti suka sama gue.”

Mataku membelalak tak tercegah. Jono dan Cilla sama-sama punya PD selangit, ternyata. Bedanya, prediksi si cowok tidak meleset.

“Kepedean,” gumamku samar.

“Apa lo bilang?” Jono menggeram dahsyat. Ya ampun, dia mendengar gumamanku.

“Itu … maksud gue … kenapa lo bisa menyimpulkan kayak gitu?”

“Karena gue dukun!” serunya sewot. “Jangan bahas hal gak penting lagi! Balik ke kamar! Belajar yang bener!”

***

Aku empat bersaudara. Dua perempuan dan dua laki-laki. Pertama Jovano, kakak sulung paling menyebalkan sedunia. Kakak satu ini jarang sekali bersikap baik padaku. Seperti yang kalian tahu, ia paling senang menindasku. Aku pikir ia bukan anak kandung Mama dan Papa. Sifatnya jauh berbeda dengan ketiga anak Mama yang lain. Namun di luar semua keburukannya ia punya satu kelebihan: tampan.

Kedua, Deri Bahrul Ulum. Sesuai namanya, ia orang yang sangat religius. Baik hati, tidak sombong, serta rajin menabung. Aku sangat menyukainya. Namun sayang, ia mesti melanjutkan pendidikan ke luar negeri, membuat kami jadi jarang bertemu.

Ketiga, Nisa Ar-rafi. Sangat cantik sekaligus sangat pemalu. Aku sempat sangsi ia bisa bertahan di asrama kampusnya lebih lama lagi. Ia kan paling tidak tahan jauh-jauh dari keluarga.

Terakhir, aku. Jangan bohong, kalian sudah tahu siapa aku. Jadi tidak usah banyak tanya.

Kak Deri baru saja mention ke twitterku. Seperti biasa, ia menanyakan kabar kami sekeluarga. Aku membalas singkat disertai doa semoga ia senantiasa berada dalam lindungan-Nya di akhir kalimat. Ia mengaminkan lalu log-out, katanya sebentar lagi akan berangkat ke kampus.

Seseorang mengetuk pintu kamarku dari luar. Tanpa menoleh, aku mempersilakannya masuk.

“Belajar, jangan internetan terus!” Rupanya Jono yang tadi mengetuk pintu.

“Apaan? Baru juga sekarang,” dustaku. Faktanya nyaris setiap waktu aku duduk di depan laptop sambil googling ke sana-kemari.

“Ada yang nyariin lo di luar. Dipanggil dari tadi gak nyahut-nyahut,” omelnya kemudian melengos sambil menggerutu.

Tanpa menghiraukan gerutuan Jono, otakku kontan menerka-nerka makhluk macam apa yang mencariku malam-malam begini. Jangan-jangan Rifa, harapku kesenangan.

Dengan sigap kumatikan laptop. Setelah mematut diri di depan cermin dan membubuhkan bedak tipis-tipis ke wajah, aku berlari-lari kecil menuju ruang tamu.

Tebak siapa yang kudapati di sana?

Kau benar, ia bukan Rifa. Melainkan seseorang yang entah sejak kapan masuk ke dalam list orang paling malas kutemui. Orang tersebut menempati posisi kedua setelah Jono.

Ia tersenyum sok imut begitu melihatku. Gigi putih bersihnya berkilauan tertimpa cahaya lampu. Di seberang tempat duduknya ada Mama. Aku mengerling Mama, bertanya mengapa beliau mempersilakannya masuk. Tapi Mama tidak mengindahkan isyarat mataku, beliau justru terkesan bahagia ada anak itu mampir kemari.

“Ngapain kamu ke sini, Ka?” ketusku.

Mama terenyak mendengar nada tak ramahku. “Alexa, Mama gak pernah ngajarin kamu berperilaku seperti itu. Kamu harus sopan. Sini, Raka nyariin kamu! Kasihan dia udah capek-capek datang kemari. Bersikaplah yang santun.”

Apa aku tidak salah dengar, Mama bilang Raka capek? Maaf Ma, rumah Raka hanya berjarak kurang dari satu meter dari rumah kita. Aku saja tidak capek jika disuruh Mama mengantar sesuatu ke rumah mereka.

Well, Mama mana bisa dibantah. Lagipula tidak baik melawan orangtua. Jadi aku berusaha menahan diri dan memasang senyum palsu di wajah. “Sori. Maksud aku, tumben kamu ke sini. Ada apa?”

“Aku mau ngediskusiin masalah Rifa,” katanya to the point.

Aku nyaris terjengkang kalau saja tidak teringat sesuatu. Mama sudah bertemu Rifa kemarin. Mestinya sudah tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi.

“Oh, Rifa kenapa? Menurut Mama dia gimana?” Sekali lagi aku mengerling Mama.

“Kelihatannya dia anak baik-baik,” jawab Mama.

“Tapi, Tante ...,” Raka berusaha membantah. “Rifa itu punya predikat playboy di sekolah. Dia suka mainin perasaan perempuan. Apa Tante gak khawatir Alexa bakal disakitin sama dia?”

“Masa, sih? Tante lihat dia laki-laki yang setia. Lagi pula, anaknya pinter, kok.”

“Wajahnya, Ma, wajahnya,” pancingku.

“Sangat tampan juga santun. Tante langsung suka sama Rifa.”

“Tapi dia playboy, Tante!” bantah Raka mengompori meski jelas-jelas Mama teguh pada pendiriannya.

“Sifat kan bisa berubah seiring berjalannya waktu. Selama mereka tidak berbuat yang aneh-aneh, Tante gak akan melarang Alexa pacaran dengan Rifa.”

Hore ... Mama mendukung penuh!

Kali ini Raka tak sanggup menyanggah. Ia menunduk dalam. Sesekali helaan napasnya terdengar di udara.

“Raka,” panggil Mama lembut. Raka menoleh. “Makasih ya, udah khawatirin Alexa. Tapi Tante yakin, Rifa gak akan berani menyakiti anak Tante yang jelek ini.”

Yeee ... dasar Mama, pakai acara mencela segala.

“Iya, Tante.”

Setelah itu Raka menjelma menjadi anak penurut. Ia berpamitan pada Mama, katanya ini sudah larut malam. Tak lama Nenek muncul dari ruang keluarga, ikut mengantar kepulangan Raka.

“Kasihan, cintanya bertepuk sebelah tangan,” ujar Nenek begitu Raka pergi, membuatku melongo tak habis pikir.

***

Beberapa menit paska kepulangan Raka, pintu kamarku kembali diketuk dari luar. Nama Jono tereksekusi begitu saja. Aku berani bersumpah ketukan kali ini terdengar jauh lebih lembut dibanding tadi. Kalau bukan Mama, berarti Papa.

“Boleh Mama masuk?”

Tuh kan, itu Mama. Secepat kilat kakiku melesat menuju pintu kamar lalu membukanya.

“Ada apa, Ma?” tanyaku heran. Tumben-tumbennya Mama sudi berkunjung ke kamarku malam-malam begini.

Mama tidak langsung menjawab. Terlebih dahulu beliau masuk ke dalam kamar. Pantatnya mendarat tepat di ujung ranjangku, membuat mulutku ternganga lebar. Ini pertanda obrolan kami akan berlangsung panjang.

“Sini duduk!” Mama menepuk-nepuk ruang kosong di sebelahnya. Aku mengangguk pasrah mengikuti kemauan Mama. Kami pun duduk berdampingan. Entah mengapa rasanya kedatangan Mama berhubungan dengan obrolan kami dengan Raka tadi. Firasatku mengatakan ini akan menjadi diskusi yang kurang menyenangkan.

“Ada apa, Ma?” tanyaku untuk kedua kalinya.

Masih belum ada jawaban. Mama hanya memamerkan wajah datarnya padaku. Aku tidak suka menebak-nebak, jadi aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Mama saat ini.

Lima menit berlalu dalam keheningan tak wajar. Mama yang biasanya banyak bicara terus membisu sampai aku bosan menanti kata-kata meluncur dari bibirnya.

Aku bangkit dari atas ranjang. Kakiku mengentak tak sabar. Tapi aku tak kuasa berkata-kata, apalagi sampai memaksa. Jatuhnya malah durhaka. Untunglah beberapa detik kemudian Mama menunjukkan tanda-tanda akan berbicara.

Perlahan, rahangnya membuka. “Gimana sekolah kamu?”

Aku mengibas-ngibas telinga. Apa aku tidak salah dengar?

“Gimana sekolah kamu?” ulang Mama, kini nadanya lebih tegas. Tatapan kami bertumbukan, membuatku sadar itu bukan pertanyaan main-main.

“Begitulah,” jawabku akhirnya. “Yohanes tetap gak bisa dijangkau.” Yohanes si genius, peraih juara umum dua tahun ajaran berturut-turut. Sangat disayangkan aku bisa sekelas dengan orang macam dia. Untungnya ia tidak angkuh.

“Rifaldi sekelas sama kamu, kan?”

Aku mengangguk membenarkan.

“Mamanya bilang dia selalu masuk tiga besar di kelas. Benar?”

Sekali lagi kepalaku mengangguk. Mama balas manggut-manggut tak jelas. Keningnya berkerut tanda konsentrasi.

“Alexa,” ujar Mama perlahan. “Sebenarnya Mama setuju kamu pacaran dengan Rifaldi. Tapi ....”

“Tapi dia playboy,” sambarku tak sadar. Pasti itu. Orang-orang pasti mempermasalahkan image Rifa yang satu itu. Aku heran, apa salahnya dengan predikat playboy? Toh tidak akan memengaruhi prestasi akademisku, kok. Pacar ya, pacar. Sekolah ya, sekolah. Walau tak secerdas Rifa, seharusnya Mama tahu di antara kedua hal tersebut aku pasti lebih mementingkan sekolah.

Mama terkesiap mendengar ucapanku. “Bukan itu. Mama sama sekali gak berpikiran kayak gitu. Selama dia gak mata keranjang, status playboy gak berpengaruh sama sekali.”

Malam ini Mama benar-benar sulit ditebak. Aku bingung ke mana arah pembicaraan kami. Ingin memisahkan aku dan Rifa atau apa, sama sekali tidak ada gambaran. Aku merasa seperti tersangka dalam persidangan yang menanti vonis hukuman dari hakim.

“Tapi Mama rasa Raka juga suka kamu.”

***

Ada yang berbeda dengan suasana hatiku pagi ini. Sedikit gelisah, dan itu sama sekali tidak berhubungan dengan perlakuan semena-mena Jono yang merebut jatah makanku. Pembicaraan semalamlah perusak mood-ku.

Tanpa sadar aku mulai tenggelam dalam lamunan. Hanya sekilas. Selanjutnya lengan kekar Jono membawaku kembali ke alam nyata. Jarinya mengayun-ayunkan sebuah kunci tepat di depan mataku.

Belum sadar sepenuhnya, sikap aneh Jono membuatku kebingungan. Dia benar-benar makhluk paling kurang kerjaan di dunia. Barulah setelah seruan tak sabar Jono menggelegar, aku mengerti apa maunya.

Waktunya berangkat!

Terpopuler

Comments

Rose Yura🌹

Rose Yura🌹

kukira mengibas rambut 🤣🤣 tahunya mengibas telinga

2021-11-26

0

Cici Hamster

Cici Hamster

lucu amat nama gengnya. rifa manjac

2021-11-26

0

Ayunina Sharlyn

Ayunina Sharlyn

masih nerus

2020-08-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!