Aku suka guruku.
Kalian tertipu! Selama masih menjadi milik Rifa—anak karate pemegang sabuk hitam—aku tidak mungkin suka pada cowok lain, apalagi guru sendiri. Aku kan setia. Yah, walaupun nyatanya aku pernah suka, bahkan tergila-gila pada guru bahasa Jepangku.
Cinta terlarang ini kurasakan sejak pertama menduduki bangku SMA, jauh sebelum mengenal Rifa. Setiap malam aku selalu bermimpi tentangnya, darahku berdesir setiap mendengar suaranya, dan jangtungku bergemuruh hebat setiap menatap sosoknya walau dalam radius lima meter.
Tentu saja aku gila! Tapi, tapi, tapi ... itu terjadi duluuu sekali. Kini semua telah berlalu, dan kesetiaanku hanya kudedikasikan bagi Rifa seorang.
‘Siapa Rifa?’ dan ‘mengapa kamu suka Rifa?’ adalah dua pertanyaan yang hanya dilontarkan siswa-siswi super kuper di sekolah. Sudah jelas, anak gaul mana yang tidak tahu nama Rifaldi? Selain pemegang sabuk hitam karate—dan sering memenangkan kejuaraan tingkat provinsi—Rifa pernah menjabat sebagai ketua MPK tahun ajaran lalu. Sebuah jabatan yang menjanjikan ketenaran, bukan?
Jangankan kalian, aku sendiri heran mengapa cowok cakep dan gaul seperti dia bisa jatuh hati pada cewek-biasa-biasa-saja-bahkan-nyaris-kasat-mata seperti aku. Mungkin hal itulah yang menyebabkan Rifa Maniac—klub pecinta Rifa—membenciku.
Beranggotakan fans serta mantan pacar Rifa, kegiatan Rifa Maniac sehari-hari adalah menghina dan mencibirku di mana pun kapan pun. Pernah suatu ketika foto wajahku diedit jadi berbadan kucing lalu disebar di beberapa media sosial. Tak lupa di caption tertulis keterangan ‘si penjilat’. Banyak yang merespons foto tersebut. Rata-rata menertawakan sambil mencemooh. Benar-benar menyebalkan.
Memang mesti punya kesabaran ekstra untuk menghadapi kekonyolan mereka.
Teeeeeeeeet ......... !!!
Lengkingan nyaring bel berhasil menghentikan kegiatan belajar-mengajar di kelas XII IPA 5 SMA 4 Purwakarta, sekaligus memotong lamunanku. Seolah telah terlatih, kepalaku refleks menoleh ke belakang, mencuri-curi pandang ke arah Rifa yang masih sibuk membereskan alat tulisnya di atas meja.
Kasihan, andai Bu Grace sudah keluar dari kelas, aku pasti akan membantu Rifa dengan senang hati. "Biar so sweet.” Demikian pendapat Cilla, teman sebangkuku yang super bawel. Aku heran, mengapa ia selalu meledek setiap aku dekat-dekat dengan Rifa?
"Anak-anak, jangan lupa belajar di rumah. Kurangi online di facebook, twitter, skype, path, instangame, dan lain-lain. Ingat, kalian harus mengejar SNMPTN undangan."
Itu peringatan wajib dari hampir setiap guru yang mengajar di kelas XII IPA 5. Kami bahkan sudah hafal kalimat tersebut di luar kepala. Biasanya kami menanggapi dengan seruan tidak sopan berbunyi ‘iya bu’ bernada panjang. Tapi khusus untuk kali ini kami diam. Diam-diam menahan tawa maksudnya. Bahkan Vera si kesayangan Bu Grace pun ikut mesam-mesem sambil menunduk.
Biar kuluruskan. Tadi Bu Grace bilang kami harus mengurangi frekuensi online di facebook, twitter, skype, path, instangame, dan lain-lain. Padahal yang benar itu kan instagram (atau lebih populer lagi disingkat jadi IG), bukan ‘instangame’. Kau benar, Bu Grace sudah terlalu uzur untuk mengenal media sosial canggih masa kini.
Tanpa menanyakan apa alasan kami mesam-mesem aneh, Bu Grace beranjak dari dalam kelas untuk kembali ke ruang guru. Ngomong-ngomong, guru di sini tidak pernah mengungkit perihal kesiapan kami menghadapi Ujian Nasional. Apa karena di tahun ajaran ini UN sudah tidak menjadi penentu tunggal kelulusan siswa?
"Mau nemenin aku latihan, Say?"
Suara bernada lembut itu terdengar tepat di samping telinga kiriku. Udara yang dihasilkan membuat tengkukku kegelian. Geli namun mendebarkan. Belum lagi aroma mint yang menguar terasa menghanyutkan. Aku hafal betul siapa pemilik suara dan aroma lembut ini. Siapa lagi kalau bukan si tampan Rifa.
Untuk sepersekian detik aku hanya terkesima menatap sosok nyaris sempurna milik kekasihku. Tubuhnya yang menjulang sedikit dibungkukkan saat berusaha mendengar jawabanku.
Ketika dag-dia-dug di dadaku berangsur normal, aku balik bertanya, “Di mana?”
"Di pendopo." Rifa menyebut tempat latihan beberapa ekstrakurikuler di Purwakarta.
Aku berpikir sejenak. Pendopo, ya? Sebenarnya aku ingin lihat Rifa latihan tapi ....
"Lo mau ke pendopo? Bareng gue aja!" Tanpa rasa malu, tahu-tahu Cilla merangkul lengan Rifa. Dan dengan gaya yang-sungguh-centil-sekaligus-bikin-enek ia menyentuh wajah pacarku untuk membujuk. Bukan hanya aku, Rifa pun tampak merasakan kegerahan yang sama. Ia berusaha menyingkirkan tangan Cilla dari wajahnya sehalus mungkin.
Cilla memang kegenitan dan tidak tahu malu. Tapi aku tidak pernah bisa marah padanya. Bagaimanapun, ‘berkepribadian aneh’ telah melekat padanya sejak lahir. Aku tahu betul karena sudah berteman dengannya sejak TK.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Oh ya, bukannya kelas dua belas udah gak boleh ikut ekskul, ya?”
“Sensei mewajibkan aku melatih para junior sebelum benar-benar pensiun dari dunia perkaratean,” jawab Rifa kalem.
Aku manggut-manggut paham. "Oh, ya udah, kamu bareng Cilla aja ke sananya. Aku mau pulang cepet. Kata Mama ada tamu penting di rumah." Cilla juga anak karate, sama seperti Rifa. Hanya saja ia masih memegang sabuk hijau. Jadi aku tidak tahu apa kepentingannya di Pendopo kali ini.
"Tamu penting?" Rifa menatapku penuh arti.
Oh sial, tatapan mengintimidasi itu lagi. Masalah membuat orang tak mampu berkutik, Rifa memang juaranya.
Saat sedang bimbang memilih alasan yang tepat, tampak seorang cowok melongokkan kepalanya di pintu kelas kemudian memanggil namaku.
Merasa terselamatkan, aku bergegas menghampiri. Sialnya, Rifa malah membuntuti.
"Kenapa, Ka?" tanyaku setelah berhadapan dengan Raka, orang yang tadi mencariku. Biasanya aku malas melihat cowok satu ini di sekolah. Siapa juga yang tidak bosan didatangi nyaris setiap hari oleh tetangga kita padahal kelas kami terpaut cukup jauh—aku XII IPA 5, dia XII IPS 2? Namun nampaknya ada pengecualian untuk hari ini. Aku justru bersyukur atas kunjungan rutinannya.
Raka mendelik Rifa sekilas lalu fokus lagi padaku. "Tante Linda nyuruh kamu pulang bareng aku. Katanya di rumah ada tamu penting. Kamu jangan main ke mana-mana dulu."
Aku terkesima. Dari mana Raka mengetahui kebiasaan burukku sebelum benar-benar pulang ke rumah? Apa diam-diam ia sering membuntuti? Kalau begitu gawat, bisa-bisa ia mengadukannya pada Mama!
Memang sih, Mama tidak pernah melarangku berpacaran. Hanya saja beliau membuatnya tampak rumit. Ada kriteria tertentu yang mesti dipenuhi jika seseorang ingin menjadi pacarku. Masalahnya, aku tidak pernah tahu bagaimana persisnya kriteria yang dimaksud. Hal tersebutlah yang membuatku nyaris jomblo seumur hidup.
Maka bukan tanpa alasan jika selama ini aku menyembunyikan Rifa dari jangkauan Mama. Aku hanya terlalu takut ia tidak memenuhi kriteria Mama, itu saja.
"Cie, ada yang lagi direbutin, nih!" Cilla yang tidak tahu apa-apa ikut nimbrung, membuatku ingin menjejalkan sepatu ke dalam mulut bawelnya.
"Rifa, hari ini Alexa pulang bareng gue!”
Tanpa permisi Raka menarik tanganku begitu saja. Aku tak sempat menolak apalagi menghindar. Ia menyeret dengan cepat. Begitu pikiranku kembali jernih, mobil Raka telah melesat meninggalkan bangunan sekolah ratusan meter jauhnya. Menyebalkan.
"Udah berapa kali aku nyuruh kamu ngejauhin cowok itu?" tanya Raka retoris, memecah keheningan.
"Maksud kamu Rifa?"
Raka mengangguk.
"Dia kan pacar aku. Aku gak mungkin ngejauhin dia," jawabku apa adanya.
"Aku kan udah bilang, jangan pacaran sama Rifaldi! Dia itu playboy. P-L-A-Y-B-O-Y!" Sekali lagi, peringatan keras itu keluar dari bibir tipis Raka. Sekarang aku semakin yakin ia pasti penggemar 7icons, makanya hobi banget menyebut kata P-L-A-Y-B-O-Y.
Baiklah, Raka benar. Rifa memang playboy. Kabarnya sebelum jadian denganku ia sudah puluhan kali gonta-ganti pasangan. Namun entah mengapa aku selalu yakin Rifa takkan melanggar komitmennya untuk tetap setia dan melindungiku. Dan syukurlah hingga detik ini belum muncul tanda-tanda pengkhianatan darinya.
"Dia udah berubah!" tegasku sambil membanting pintu mobil. Untung kami sudah sampai di tempat tujuan. Jadi aku bisa langsung ngacir ke rumah. Samar-samar kudengar Raka menggerutu kesal menanggapi reaksiku.
Biar sajalah! Memangnya ia tidak tahu cinta tidak bisa dipaksakan? Kalau aku cinta mati pada Rifa, memangnya ia mau apa?
Diselimuti kekesalan, kaki kananku menendang pintu gerbang setinggi kepala hingga terkuak lebar. Lalu menutupnya dengan perlakuan serupa.
Namun semua tak bertahan lama. Kekesalanku menguap begitu aku menangkap kejanggalan dari pintu depan. Ya, ia dalam keadaan terbuka. Ini aneh. Biasanya, ada atau tidak ada penghuni, pintu kami selalu tertutup rapat.
Belum reda keherananku pada pintu rumah, tiba-tiba ekor mataku menangkap sebuah bayangan hitam besar di sudut halaman. Aku menoleh cepat untuk memastikan benda apakah itu.
Sebuah mobil. Kijang Innova.
Menyadari sesuatu, aku melesat ke dalam rumah dan mengecek setiap ruangan. Pintu demi pintu kuraih demi memastikan keberadaannya. Saat sampai di pintu ruang makan, napasku tercekat.
Ya, ia ada di sana. Wajah cantik berkeriput dengan raut judes itu benar-benar ada di depan mataku. Ia duduk tenang di atas kursi. Membuatku tak sabar untuk segera memeluknya.
“Nenek!” seruku seraya menghamburkan diri ke dalam pelukan Nenek. Beliau sempat terkejut, namun tertawa geli setelahnya. Bahkan rambut indahku diacak-acak Nenek dengan sadisnya. Kami saling berpelukan selama beberapa saat. Sampai sebuah suara mengagetkanku.
“Masa cuma Nenek yang dipeluk? Gue juga, dong.”
Aku terpaku sejenak. Rasanya suara itu sudah tak asing lagi di telingaku. Amat sangat familier malah.
Akhirnya, kuberanikan diri menoleh sedikit demi sedikit ke sumber suara.
“Hai, Alexa, lama gak jumpa!”
Demi Tuhan! Dari sekian banyak manusia di muka bumi ini, mengapa harus wajah Jovano yang kulihat?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Cici Hamster
jadi ingat masa lalu
2021-11-26
0
Hana Qathrunnada
Up lagi dong kakak
2020-06-16
0
¥¥ Devdan ¥¥
Good
2020-06-01
0