BAB 2

Waktu kecil aku sangat senang mendengar cerita-cerita Raka, apalagi kalau topiknya sudah merambah ke kehidupan di masa depan. Raka bilang sepertinya kami berjodoh sebab kami punya banyak kemiripan.

“Kalau udah besar nanti, kamu nikah sama aku, ya?” kata Raka sambil menata gundukan pasir di hadapannya menjadi rumah-rumahan jelek.

Aku ingat betul bagaimana reaksiku kala itu. Ya, aku tersipu. Mulutku komat-kamit tak jelas. Saking gugupnya, tanganku malah menyenggol rumah-rumahan pasir Raka. Terang saja gundukan yang tadinya sudah agak berwujud itu kembali menjadi gundukan tak berarti. Rusak oleh tangan mungilku.

Kukira Raka akan meledak karena ulahku, tapi ternyata tidak. Ia hanya tersenyum simpul, kemudian tertawa. Aku suka melihat tawa Raka. Karena saat melakukan itu matanya akan menyipit puluhan mili, lesung pipinya yang dalam akan muncul ke permukaan, dan gigi putih bersihnya akan berkilau tertimpa cahaya matahari. Ditambah suara yang dihasilkan sangat renyah. Aku suka. Benar-benar suka.

Sayangnya kedekatan kami tak berlangsung lama. Menjelang tahun ajaran baru—saat kami akan masuk ke sekolah dasar—Raka memutuskan untuk pindah ke London. Diagnosa dokter mengatakan usia neneknya tinggal menghitung bulan. Maka dari itu beliau sangat berharap Raka—selaku cucu tunggal di keluarga tersebut—dapat menemani saat-saat terakhirnya sepanjang waktu.

Rasa kecewa mendadak hinggap di hatiku. Kupikir kami benar-benar takkan pernah berpisah. Nyatanya?

“Jangan nangis, Lexa.” Raka mengusap air mata yang bergulir di pipiku lembut. Ia menatap tajam. “Aku janji gak akan ninggalin kamu. Aku akan kembali buat kamu.”

Kami mengakhiri hari itu dengan janji setia sehidup semati. Raka memasangkan sebuah liontin perak milik ibunya di leherku, lalu mengulangi janjinya lagi, lagi, dan lagi.

Maka, setelah Raka benar-benar meninggalkan kampung halaman kami, aku menunggu. Menunggu kehadirannya dalam harap-harap cemas. Berharap ia segera pulang, dan cemas ia takkan pulang-pulang.

Menyadari ada yang berubah dariku, Mama datang menghibur dan mengatakan jika aku mengharapkan Raka cepat pulang, maka sama saja aku berharap neneknya segera meninggal.

Aku tercekat lalu mulai menghentikan kegilaanku.

Sejak saat itu aku berhenti menanti kepulangan Raka. Kubiarkan semua mengalir apa adanya. Dan saat akhirnya otakku mengerti tentang cinta, Raka terlupakan begitu saja. Sosoknya seolah tak memiliki arti apa-apa lagi di hatiku selain sebagai tetangga juga teman masa kecil. Titik. Fatalnya, ia justru kembali setelah aku menemukan Rifa. Apa lagi yang bisa ia harapkan dariku?

“Raka masih tinggal di sebelah rumah ini?” Jovano, atau Jono, menatap lewat majalah yang sedang dibacanya.

Pura-pura tidak mendengar, mataku fokus menatap layar ponsel dalam genggaman dengan wajah serius dibuat-buat.

“Yeee ... dasar!” Jono menyerah. Ia mengangkat tangan kemudian—

“Sialan!” Ternyata makhluk menyebalkan yang akan tetap menyebalkan hingga kapan pun itu melempar bantal kursi tepat ke wajahku. Aku mengaduh tapi si iblis justru tertawa puas.

“Jono nyebeliiinnn! Pulang sana, pulang!” Aku bangkit. Kakiku mengentak kesal. Dari raut wajahku, siapa pun tahu aku tidak suka Jono dengan segenap jiwa dan ragaku.

Dia kembali tertawa. Kali ini lebih keras. “Haha ... enak aja. Orang gue datang ke sini atas undangan Mama.”

“Maksud lo?”

“Selain buat mendampingi Nenek yang pengin liburan di sini, Mama minta gue cuti untuk mencari tahu siapa cowok yang seumur-umur belum pernah lo bawa ke rumah itu,” ujarnya. “Lo paham maksud gue, kan?”

Aku paham. Sangat paham malah. Kalau Jono sampai diminta Mama pulang ke Purwakarta padahal ia sibuk bekerja di Bandung, itu artinya Mama sudah mulai mengambil tindakan tegas. Pada akhirnya hasil penyelidikan ini akan menentukan apakah Rifa masuk ke dalam kriteria calon menantu idaman atau tidak. Satu hal, mengapa orang yang diutus Mama harus Jono? Mengapa bukan Mama sendiri saja? Mengapa?

Jono itu kakak sulungku. Kakak sulung terjahil sedunia tepatnya. Maka dari itu aku benci saat akhirnya harus melihat wajah menyebalkan itu lagi. Belum cukupkah waktu sepuluh tahun hidup di bawah siksaannya?

“Kenapa sih, lo gak pacaran sama tetangga lo itu aja? Kenapa harus sama playboy sekolah segala?”

Aku berjengit kaget. Ya ampun, Raka jahat sekali! Tega-teganya ia menceritakan dari A sampai Z kisah cintaku dengan Rifa kepada keluarga besarku, terutama Jono.

“Daripada sama lo!” tukasku ketus sambil melesat kabur dari ruang TV. Menghindari serangan Jono selanjutnya.

***

Dua hari ini hidupku bagai di neraka. Jono benar-benar memperlakukanku bak tahanan. Aku tak bisa bebas dari pengawasannya semenit pun. Hal yang membuat Rifa terpaksa menjaga jarak dariku.

Lama-lama naluri nakalku memberontak. Hingga terpikir kali ini aku harus bisa melarikan diri darinya.

“Kamu yakin?” Rifa mengangkat sebelah alisnya. Suasana koridor yang cukup bising dan dipadati siswa membuat kami berbicara dalam jarak dekat.

“Yakin. Aku gak suka dikekang gini, Fa. Lagian apa kamu gak capek terus jaga jarak sama aku gara-gara dia selalu mengawasi kita dari jauh?”

“Ini semua demi kebaikan kamu, Sayang. Kamu bilang, kalau mama kamu tahu kita pacaran, uang jajanmu bakal dipotong lima puluh persen. Belum lagi katanya HP pun ikut disita.”

“Emangnya aku pernah bilang kayak gitu?” tanyaku kaget.

“Jadi selama ini kamu bohongin aku? Nakal, ya!”

Aku tertawa saat Rifa menarik hidungku gemas. “Emang kamu mau ketemu Mama?”

Rifa mengangkat bahu. “Sekarang, apa rencana kamu?”

Aku mengamati koridor yang berangsur sepi. “Kita keluar lewat gerbang belakang, Fa.”

“Kamu yakin?”

“Kamu pikir cewek gak bisa punya pendirian?” Lama-lama kesal juga jika Rifa terus mempertanyakan kekonsistenanku.

Rifa nyengir bersalah kemudian menuntunku menuju halaman belakang sekolah. Sesuai dugaan, kondisi di sana cukup lengang. Hanya tampak segelintir siswa yang biasa menggunakan jalur ini. Sebuah kandang ayam tak terurus menjadi salah satu alasan keengganan anak-anak—termasuk aku—lewat sini.

Aku bersorak riang. Benar-benar bangga bisa terbebas dari kekangan Jono hari ini. Kepalang nakal, akhirnya kuajak Rifa pergi ke suatu tempat terlebih dahulu. Karena cewek selalu benar, Rifa tak kuasa menolak ajakanku.

***

Aku dan Rifa baru saja keluar dari toko buku saat seseorang berteriak, “Maryam!”

Maryam itu namaku. Maryam Alexandria lengkapnya. Waktu kecil aku sangat senang mendengar orang lain memanggilku dengan sebutan Maryam. Rasanya bak putri sultan tercantik di dunia. Namun lambat laun anggapanku pada nama tersebut berbalik 180 derajat. Lama-lama aku merasa nama Maryam terlalu ketinggalan zaman padahal aku lahir di era globalisasi. Lagipula Maryam itu identik dengan nama orang Arab atau Mesir sedangkan wajahku lokal seratus persen.

Akhirnya—setelah melalui perang batin yang cukup panjang—kuputuskan mengubah nama panggilanku menjadi Mary. Sialnya saat SD banyak temanku yang tidak tahu bagaimana cara membaca nama ‘Mary’ dengan baik dan benar hingga keliru malapalkannya menjadi ‘Mari’ bukannya ‘Mery’. Aku menyerah kemudian menggunakan nama belakangku sebagai gantinya: Alexa. Barulah setelah itu tidak ada yang salah menyebut namaku lagi.

Semua memanggilku Alexa, termasuk guru-guru di sekolah. Hanya sedikit yang suka iseng memanggil nama depanku: orangtuaku, keluarga besarku, teman-teman SDku, dan ... Raka.

“Ngapain kamu di sini?” tanyaku sengit, heran mengapa ia selalu hadir setiap aku sedang jalan bersama Rifa.

“Aku abis dari ATM.” Raka menunjuk sebuah bangunan di seberang jalan. Yah, masuk akal sih. Cuma kenapa harus kebetulan berpapasan denganku?

“Kita abis dari toko buku,” kata Rifa tanpa ditanya. Dua cowok keren itu saling berpandangan sinis. Aku khawatir akan terjadi pertumpahan darah di sini.

“Udah selesai kan, belanja bukunya? Ayo Alexa, kita pulang.” Raka menarik paksa lengan kananku.

Sebuah tangan kekar lain menghentikan tindakan semena-mena Raka. “Gak boleh!”

Terpopuler

Comments

Cici Hamster

Cici Hamster

next

2021-11-26

0

¥¥ Devdan ¥¥

¥¥ Devdan ¥¥

Coming for the next one

2020-06-04

0

.

.

next kakakk

2020-06-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!