“Lo gak boleh bawa cewek gue seenaknya!”
Raka melirik ke arahku meminta dukungan. Karena jelas lebih memilih Rifa, aku menjulingkan mata cuek.
“Kalau gitu, aku telepon Kak Jovano sekarang, Xa,” ancam Raka seraya memainkan keypad ponsel. Aku kontan panik, lalu buru-buru mencegah tindakan bodohnya.
“Raka, gue harap lo gak keberatan kalau sore ini gue yang nganterin Alexa pulang,” kata Rifa dengan nada datar. Itu bukan permintaan, melainkan pernyataan yang tidak boleh dibantah.
“Gue sih gak masalah,” ujar Raka sok cuek. Jarinya bergerak lincah memutar-mutar ponsel. “Tapi kalau keluarganya … gue gak jamin, deh.”
Rifa menatap sengit. “Maksud lo?”
“You know what I mean, lah. Lo kan penghuni tiga besar di kelas. Intinya sih, kalau kalian ngotot pengin pulang bareng, gue jamin lusa kalian udah gak bisa bareng lagi. Atau dengan kata lain, kalian putus.”
“Kalau sampai mulut lo ember lagi, gue jamin lusa lo gak akan ketemu keluarga lo lagi. PAHAM?”
Raka terpaku. Ia hanya mampu membisu mengingat cowokku pemegang sabuk hitam karate. Sama sekali bukan tandingannya.
Alhasil, ia membiarkan kami pergi tanpa argumen lebih lanjut
Sekali lagi aku bersyukur punya pacar seperti Rifa.
***
Kukira Rifa hanya akan mengantar sampai depan kompleks. Ternyata ia mengantarkanku sampai rumah. Sampai rumah! Ia bahkan minta bertemu dengan orangtua dan kakak sulungku.
Aku langsung menolak mentah-mentah. Demi apa pun, aku belum siap menerima reaksi buruk dari Mama. Apalagi satu jam yang lalu aku baru saja melarikan diri dari mata-mata kirimannya.
Oke, mungkin aku sedikit berlebihan. Tapi khawatir boleh, kan?
Dugaanku tidak meleset. Begitu kami tiba, Mama sudah menanti di ambang pintu depan. Wajahnya disetel angker, membuatku bergidik ngeri. Bukan hanya Mama, Nenek ikut-ikutan berdiri di sana lengkap dengan mimik serupa.
Asal kalian tahu, Mama mewarisi wajah juteknya dari Nenek. Bahkan menurut cerita Papa, waktu muda dulu Nenek judesnya minta ampun. Jangankan apel, lewat depan rumah Mama sambil celingak-celinguk ke beranda saja Papa langsung diomeli Nenek. Maka, tidak ada seorang pun yang menyangka pada akhirnya mereka menikah.
“Ma, maaf aku sama Rifa tadi ...,” kataku berusaha menjelaskan. Belum selesai. Seseorang keburu memotong perkataannku. Orang itu Mama. Aku hanya mampu menunduk takut-takut, pasrah atas apa pun yang akan menimpaku atau—lebih parahnya lagi menimpa—Rifa.
“Kamu Rifaldi, kan?” tanya Mama.
Aku mendesah tak berdaya. Sepertinya Mama tahu nama Rifa dari Raka. Dan mustahil cowok itu menceritakan kebaikan Rifa. Yeah, aku yakin itu.
Diam-diam aku mencuri pandang ke arah Mama. Setahuku mestinya kemarahanlah yang tampak di situ. Tapi tidak! Beliau justru tersenyum lebar. Matanya berbinar kagum. Kecuali telingaku mengalami gangguan pendengaran, nada suara Mama saat menyebut nama Rifa pun terdengar ceria. Aku yakin ada yang tidak beres di sini.
“Iya, Tante,” angguk Rifa dengan senyum termanisnya.
“Kamu anak Diana Pamella Kartinah, kan?” lanjut Mama bertahan dengan nada cerianya. Kali ini beliau menyentuh bahu pacarku lembut. Persis seorang ibu yang merasa bangga saat anak semata wayangnya meraih prestasi gemilang.
Sekali lagi Rifa mengangguk.
Rupanya Mama dan Tante Diana sudah saling mengenal. Dengan cepat aku menyimpulkan mereka telah bersahabat sejak kami masih dalam kandungan. Dan bisa jadi ternyata kami dijodohkan!
Sambil membawa kami masuk ke dalam rumah, Mama meneruskan sesi tanya-jawabnya dengan Rifa tanpa mengacuhkanku sedikit pun. Percakapan tersebut didominasi oleh suara Mama. Sekali pun ingin, aku tak bisa menyimak obrolan keduanya.
“Nak Rifa, ikut makan malam dulu, yuk!” ajak Mama tiba-tiba. Nenek yang berjalan paling depan membeo ucapan Mama sambil tersenyum.
Merasa tidak ada alasan untuk menolak, Rifa mengangguk sambil mengikuti Mama menuju ruang makan. Di sana sudah ada Papa dan Jono. Dua buah piring kosong tersimpan rapi di hadapan keduanya. Begitu menghitung jumlah pendatang baru sekilas, Papa menambahkan empat piring lain di titik-titik berbeda.
Karena masuk paling akhir, aku mendapat tempat di samping kakak sulungku.
Sesuai dugaan, si iblis langsung menginjak kakiku keras-keras lalu menggeram sinis, “Berani-beraninya lo!”
Kutarik kakiku susah payah kemudian balas menginjak kakinya. Ia meringis tertahan, membuatku terkekeh pelan. Setelah sekian lama, akhirnya aku berhasil membalas kekejaman Jono.
“Wah, ada anggota baru,” sambut Papa. Beliau memang ramah, tidak jutek seperti Mama. “Pacar Alexa? Siapa nama kamu?”
“Iya, Om,” jawab Rifa mantap. Aku buru-buru menatap cemas ke arah Mama. Lagi-lagi yang kudapati hanya senyum ceria. Tampaknya Mama sungguh-sungguh menjodohkan kami berdua. “Nama saya Rifaldi.”
“Rifaldi?” Papa mengerutkan kening. “Apakah kamu Rifaldi yang ....”
Anak Diana Pamella Kartinah! tambahku puas.
“Iya. Rifaldi anak Diana Pamella yang pernah Mama ceritain itu, lho.”
Jadi Mama sudah menceritakan masalah perjodohan ini pada Papa? Tega sekali mereka menyembunyikan hal sepenting itu dariku.
“Kalau tahu dari dulu pacar Alexa itu Rifaldi, Mama gak akan repot-repot minta Jovano ke sini buat ngawasin anak kita,” ujar Mama sambil tersenyum malu. “Kenapa sih, kamu gak pernah ajak pacarmu ke rumah?”
Setelah semua penentuan kriteria darinya, sekarang Mama menyalahkan kenapa aku tidak mengenalkannya pada Rifa?
Rifa cengar-cengir tak jelas. Sesekali tatapannya menyapu sejumlah makanan lezat yang masih belum tersentuh di meja makan. Ia menatap ingin. Apalagi begitu matanya mengarah tepat ke mangkuk sayur asam, tanpa sadar jakunnya bergerak naik-turun. Mau tak mau tawaku meledak juga. Hei, apakah tidak menggelikan seorang mantan playboy tergoda oleh sayur asam?
Sadar siapa yang sedang kutertawakan, wajah Rifa kontan memerah. Ia tersenyum kikuk membayangkan sebodoh apa ekspresinya saat menelan ludah tadi. Rifa dengan gestur malu-malu begini justru membuat ketampanannya semakin bertambah di mataku.
Beruntung tidak ada anggota keluarga lain yang memperhatikan kami berdua. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Jono—seperti biasa—kembali bersikap apatis, Mama dan Papa masih meneruskan diskusi tadi, sedangkan Nenek menyimak perbincangan kedua orangtuaku penuh minat.
“Yang ketemu sama Mama pas pembagian raport kelas satu itu lho, Pa.”
Apa?
***
Pelajaran moral yang kudapat kemarin adalah: jangan terlalu banyak berkhalayal.
Proses perkenalan Mama dan Rifa memang berjalan dengan baik tapi kami tidak dijodohkan.
Mama mengenal Rifa sebab satu setengah tahun yang lalu—ketika mengambil raport semester duaku di sekolah—beliau bertemu dengan Tante Diana. Waktu itu aku kelas X.6 sedangkan Rifa X.7. Otomatis kelas kami bersebelahan, dan bukan hal mustahil mereka dapat bertemu kemudian berkenalan.
Mama hanya tahu Rifa anak baik-baik dan berasal dari keluarga terhormat. Maka dari itu beliau langsung menyukai Rifa sejak pandangan pertama. Selain itu, sudah. Tidak ada perjodohan segala.
Agak kecewa, sih. Tapi, ya sudahlah. Setidaknya kali ini kami tidak perlu backstreet dari keluargaku lagi. Sama seperti kepada keluarga Rifa yang memang sudah terbuka sejak awal. Bahkan dalam beberapa kesempatan langka aku sempat berdialog dengan ibunya, seorang akuntan perusahaan terkenal Jakarta. Juga dengan ayahnya, jaksa di pengadilan negeri Jakarta. Saat itu ayah Rifa menceritakan prestasi terbaiknya yang telah berhasil menjebloskan seorang koruptor kelas kakap ke dalam penjara dengan hukuman seberat-beratnya tiga tahun silam.
Rifa memang tidak tinggal bersama kedua orangtuanya. Ia menetap di Purwakarta bersama neneknya yang baik hati. Beliau hidup menjanda setelah suaminya meninggal lima tahun silam.
“Kamu bawa makan dari rumah?” tanya Rifa saat jam istirahat kedua. Ia meletakkan kotak makan siangnya di atas mejaku. Istirahat di sekolahku memang berlangsung dua kali.
Aku menggeleng. “Nggak. Aku lupa.”
“Kurangi penyakit pikunmu,” tegur Rifa seraya mengetuk-ngetuk dahiku dengan telunjuknya. “Gimana kalau nanti bupati kita benar-benar melarang ada yang berjualan di sekolah?”
“Bukannya emang udah diterapkan di SD, ya?”
“SMA segera menyusul,” sahut Rifa. “Makanya, kamu harus membiasakan diri bawa bekal dari rumah.”
“Oke, Bos.” Aku mengangguk hormat. “Tapi sekarang aku laper banget dan kayaknya bekal kamu gak akan cukup buat kita berdua. Jadi, anter aku ke kantin, ya?”
Rifa memutar bola mata sejenak, lalu mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Aku tertawa girang dan berjalan tepat di sampingnya. Wajahku memanas saat Rifa merangkul bahuku lembut. Beberapa cewek yang berpapasan dengan kami bahkan tak susah-payah menyembunyikan tatapan sinisnya.
“Alexa.” Cowok ember mencegat jalan kami.
“Ngapain, Raka?” tanyaku datar. Kau tahu, sebenarnya aku ingin bersikap biasa saja pada Raka andai cowok itu tidak bersikap childish. Masa sih, apa-apa mesti dilaporkan pada orangtuaku?
“Gimana kemarin? Dimarahin sama nyokap Alexa?” Ia menyeringai puas. Sayang sekali, dugaannya keliru.
“Sadly no. Her parents like me so much,” tukas Rifa datar.
“Tapi tadi pagi dia diantar Jovano!” teriak Raka menggali semangatnya kembali.
Aku mengibaskan tangan tak peduli. Bukan masalah siapa yang mengantarku ke sekolah. Yang jelas, restu Mama-Papa sudah kupegang.
Kami terus melengang tenang sementara Raka berteriak-teriak kalut di belakang sana. Ah, biarkan saja. Nanti juga lelah sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Rose Yura🌹
aduh aduhhhhh
2021-11-26
0
Cici Hamster
lanjut menarik
2021-11-26
0
Sasa (fb. Sasa Sungkar)
seru thor.. aku baca nya nyicil ya..
aq mampir bawa boomlike dan komen
.
.
jgn lupa feedback ke cerita aku, makasiiih 🤗
2020-06-12
1