...“Tuhan... Terima kasih sudah memberinya kesempatan untuk bertahan di dunia.”...
...****...
Singapore, tempat itulah yang saat ini Septian datangi. Setelah kurang lebih 1 jam berada di perjalanan, akhirnya dia sampai dengan selamat. Tujuan utamanya saat ini adalah rumah sakit terbaik dan terlengkap yang ada di Singapore. Taksi yang menjadi transportasinya dari bandara menuju rumah sakit, untungnya tidak terlalu jauh letaknya jadi lebih cepat untuk sampai ditambah tidak adanya macet selama perjalanan.
Sesampainya di depan rumah sakit, Septian langsung berjalan masuk dengan tas yang menyampir di pundaknya dan mencari tempat resepsionis.
"Is there anything I can help?" tanya seorang suster yang sedang bertugas.
"She there a patient named Claudia Ardiani Maurer? He just moved yesterday from Indonesia."
"Please wait a moment, I'm looking first."
Septian menunggu dengan harap-harap cemas, semoga saja Claudia ada di rumah sakit ini. Mulutnya tak berhenti untuk berdoa. Sampai suara suster membuat Septian menoleh.
"The patient on behalf of Claudia is on the 6 floor of VIP 8." Akhirnya, ini yang Septian inginkan sejak kemarin. Setelah mengucapkan terima kasih, Septian langsung berlari menuju lift.
Cukup lama untuk sampai di lantai 6, mengingat banyak orang yang keluar masuk lift. Setelah sampai, Septian juga harus mencari lagi kamar VIP 8, lelah bertanya sana-sini akhirnya Septian menemukan ruangan yang dicarinya, ruangan yang letaknya bisa dikatakan paling ujung.
Dengan hati-hati, Septian membuka pintu ruangan tersebut. Sepi, tidak ada suara orang, hanya suara mesin rumah sakit. Septian masuk ke ruangan dan pandangannya menemukan seorang gadis yang tertidur di atas ranjang rumah sakit. Tubuh Septian seketika kaku, rasa rindunya mengalahkan semuanya, rasanya seperti berbulan-bulan tidak bertemu. Dengan langkah pelan tanpa ingin mengganggu, Septian mendekat dan meletakkan tasnya kesembarang arah.
Diamatinya wajah Claudia, wajah yang dia rindukan sejak kemarin maupun setiap hari, tangannya bergerak mengusap kepala Claudia, sekarang sudah tidak ada lagi perban yang menempel di kepalanya. Kepala Septian lebih mendekat dan mendaratkan bibirnya di kening Claudia cukup lama untuk menyalurkan semua perasaannya saat ini.
Septian memilih duduk di dekat Claudia dengan tangannya yang menggenggam tangan Claudia, terlalu lama Septian memandangi Claudia hingga dia tidak sadar matanya sudah berat dan membutuhkan istirahat.
Dania yang baru saja masuk ke ruangan anaknya dikejutkan dengan kehadiran Septian saat ini. "Papah!" panggilnya hampir saja berteriak.
Candra yang mendengar teriakan istrinya segera masuk setelah berbicara dengan dokter mengenai kondisi Claudia.
"Septian," ungkap Candra saat mengetahui Septian duduk di kursi.
Dania lebih dulu mendekat dan melihat Septian tertidur pulas, tangannya bergerak mengusap kepala Septian, pandangan Dania menatap Candra sambil berkata tidur dengan gerakan bibir tanpa suara.
"Claudia memang nggak salah pilih suami," kata Candra pelan yang diangguki Dania.
"Oh iya, Pah. Gimana tadi dokternya?" tanya Dania yang baru ingat jika suaminya tadi sedang berbicara dengan dokter yang menangani Claudia.
"Claudia bisa pulang waktu keadaannya benar-benar pulih, prediksi dokter kalau kondisi Claudia terus membaik kemungkinan besar lusa bisa pulang." Dania tersenyum mendengar penjelasan Candra.
...****...
Claudia membuka matanya perlahan, tangannya terasa berat. Seakan sebuah mimpi, dia bisa melihat siapa yang sedang tertidur sambil menggenggam tangannya.
Claudia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Tangan satunya bergerak untuk menyentuh tubuh itu. Rasanya nyata, bahkan sangat nyata. Dia bisa merasakan sentuhan itu.
Air matanya tiba-tiba lolos, ini bukan mimpinya selama ini. Rindunya tersampaikan, entah harus bagaimana dia sendiri bingung harus bagaimana.
Septian yang merasa ada tangan mengusap kepalanya, perlahan membuka kedua matanya dan melihat Claudia menatapnya dengan air mata berlinang.
"Sayang, kamu kenapa? Ada yang sakit? Aku panggilin dokter ya." Saat Septian ingin membalikkan badannya, Claudia spontan memeluk Septian.
Seolah tak mau lepas, Claudia mengeratkan pelukannya dan menumpahkan semua perasaanya di sana. Septian yang mengerti langsung membalas pelukan itu.
"Kamu kenapa ngelakuin ini semua?" Claudia diam tak menjawab.
"Kenapa kamu nggak bilang mau pindah ke sini?"
"Aku khawatir mikirin kamu, aku bingung mau cari kamu ke mana." Terlihat raut khawatir di wajah Septian. Dia terlalu takut Claudia kenapa-napa.
"Tolong, jangan mengulangi kesalahan yang sama. Aku tanggung jawab kamu, aku berhak tau apapun kondisi kamu."
Claudia mengangguk samar. Septian tak henti-hentinya menciumi puncak kepala Claudia.
"Sekarang kamu istirahat lagi ya, udah jangan nangis." Septian menangkup kedua pipi Claudia, diusapnya air mata tersebut dengan pelan.
Saat Septian membantu Claudia berbaring, Claudia justru menatap Septian yang membuat Septian bingung.
"Kamu perlu sesuatu?" tanya Septian dengan sayang.
Claudia menggeleng. "Kamu ikut tidur." Claudia bisa melihat dengan jelas jika Septian kurang tidur serta kelelahan.
Septian tersenyum sambil mengusap kepala Claudia. "Iya, aku juga ikut tidur."
Claudia tidak akan membiarkan Septian tidur di kursi, bisa-bisa rontok badan Septian nantinya. Dia menepuk samping tempat tidurnya. Septian menurut saja, toh badannya juga pegal semua.
Setelah diposisi masing-masing, Septian membiarkan lengannya menjadi bantal untuk Claudia, tak lupa memberikan usapan lembut yang mampu membuat Claudia tertidur kembali.
Septian bisa mendengar hembusan nafas teratur dari tubuh Claudia. Setelah kurang lebih satu bulan menunggu, akhirnya Tuhan mengabulkan semua doa-doanya. Menyelamatkan Claudia dari semua pikiran buruk yang pernah muncul dipemikiran Septian maupun keluarganya.
"Terima kasih. Terima kasih sudah mau bertahan sampai saat ini dan tentunya jangan membuat khawatir lagi karena ulah mu."
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments