Telah lama aku berusaha melupakanmu... Melupakan kalian semua… telah lama aku
hidup penuh dengan coba dan uji tanpa ditemani kalian, tanpa ditemani kamu… telah lama
aku berjuang sendiri hanya untuk bisa sepertimu, duhai pujaan hati… telah lama aku berada dipenjara suci hingga kini ku mendapatkan kembali kebebasanku di hari ini… telah lama aku rindukan kalian, rindukan kamu… Meski bagiku selama ini tidaklah lama, namun aku tahu pasti kau mengklaimnya sebagai suatu waktu yang panjang dan lama…
Mungkin selama ini aku telah bersikap bodoh, karena tak dapat lupakan kamu, lupakan
kalian… selalu aku ingat! Mungkin juga, kalian telah lupakan aku, telah tak mengenalku…
terlebih dirimu, kau pasti anggap diriku kejam, jahat, tak punya hati dan perasaan… aku telah
meninggalkanmu… meninggalkan kalian, seandainya ada yang tahu, aku pergi tuk kembali lagi… bukan untuk selamanya…
Andai saja, andai saja, dan andai saja… waktu mampu terulang… aku berpamitan kepadamu tanpa perlu memutuskan mu… aku ucapkan perpisahan yang terindah dalam hidup,
bukan perpisahan yang sangat menyakitkan diriku maupun dirimu… Ingin sekali ku ulang, jujur ingin sekali aku ulang waktu itu... agar aku tak hanya berakhir kesepian seperti ini kini yang kurasakan,,. Meski aku tahu, sejatinya semua itu aku buang saja jauh-jauh pikiran seperti memburukkan ku,,. Bukankah aku telah memiliki teman sebaik-baik teman? Bukankah cita-cita tertinggi ku kini telah tercapai sebagian? Bukankah setidaknya aku mensyukurinya?
“Assalamu’alaikum?!”
“Wa’alaikumsalam…” jawab Habibah, sembari mengelus dada. Cukup terkejut dia mendengar ucapan salam dari Sang Ibu.
“Sudah lama, nak?”
Habibah tersenyum, “Bila tentang menunggu, tetap terasa lama…tapi Ibu gak lama kok…” ucapnya. Lalu dia cium tangan Sang Ibu.
Ibunya pun balas cium keningnya, Habibah tersenyum. Seiring keduanya berjalan
menjauhi penjara suci, setelah Sang Ibu berpamitan untuk pindah, Habibah pun melanjutkan berkata-kata dalam hatinya, Sejak aku menuruti keputusan hati, sejak aku putuskan mengambil langkah yang tak semua orang mampu menyanggupi dengan mudah. Sejak aku selesaikan tanggunganku dipenjara suci, dan sejak aku dapatkan suatu piala hati dari Robbi sebagai salah satu orang yang mendapat restu-Nya, terlebih sejak aku selesaikan hafalan Al-Qur’anku, sejak saat itu pula aku seolah menjadi kupu-kupu yang bersayap lebar sehingga bebas terbang, yang bersayap indah yang mengalahkan keindahan senyuman sehingga aku terkesan begitu harum dimata seseorang. Yang dalam angan pun seolah dipastikan akan menjadi nyata kedepannya.
“Mampir ke tempat Ayahmu, nak…” Sang Ibu menawarkan.
Habibah menoleh, tak luput senyuman menghias di bibirnya. Perlahan Habibah mengangguk, Sang Ibu pun membalas senyuman Habibah.
Sedangkan saat itu juga, serasa ingin dipeluk lah Sang putri. Sebagai seorang Ibu, beliau hanya selalu berusaha memahami.
Meski beliau sendiri butuh pemahaman, dimana kini tak akan ada lagi seorang setia yang
biasanya selalu memahami hati seorang Ibu.
Hanya Habibah tumpuan sang Ibu satu-satunya.
Yang diharapkan lebih dari suatu yang lebih. Yang diharapkan bisa memahami beliau
menggantikan seorang yang selama ini memahami beliau.
Sedangkan Habibah pun hanya mampu berkata-kata dalam hati setelah menjawab
tawaran Sang Ibu hendak kemana selanjutnya.
Beginilah yang telah tertulis…
Aku hanya mampu jalani saja apa adanya, meski aku tahu ini sangat pahit bagiku. Coba
yang berat untuk dapatkan hal yang Agung. Semoga Allah menolongku lewat hafalan
Qur’anku, amiin…
Dia pun bersama Sang Ibu, mendatangi tempat bersemayam Sang Ayah, yang telah meninggal lima bulan yang lalu. Tepatnya saat Habibah baru hafal 20 Juz. Yang saat itu pula Habibah hampir tak kembali lagi ke pondok, namun beruntunglah seorang Habibah. Dia didatangi Sang Kyai diminta untuk mengkhatamkan hafalannya, hingga kini dia pun bisa menghadiahkan sesuatu pada Sang Ayah. Meski sebelumnya tak pernah bertemu.
Berdua memasuki area pemakaman, langkah kaki langsung menuju tempat dimana Ayah
Habibah di makamkan. Dan tepat saat Habibah serta Ibunya duduk didekat makam Ayah
Habibah, Habibah pun kembali teringat.
Dimana dia masih tak mampu lupakan, saat terakhir kali dia pandangi wajah Sang Ayah
yang telah dalam keadaan tak bernyawa. Dia cium Sang Ayah dengan penuh rasa hormat dan sayang. Dimana bersamaan dengan di ciumnya kening Sang Ayah, terputar lah semua
memory masa lalu bersama Sang Ayah, tepatnya saat dia pertama kali memasuki penjara suci.
Dimana saat itu dia diam seribu bahasa tak mampu lagi berbicara dengan sang Ayah,
karena Sang Ayahlah yang telah menawarkan dia untuk menempati sebuah penjara suci. Dan
di saat itu pula kata-kata terakhir Sang Ayah yang didengar olehnya, sebagai suatu nasehat
yang tak mampu sedikitpun terlupakan.
“Habibah… anakku. Boleh kau menangis nantinya, boleh kau tak mau lagi menjawab ku
seperti yang kini kau lakukan padaku, boleh kau marah dalam hatimu akan keputusanku…
Tapi aku sebagai Ayahmu, nak… meminta satu hal padamu . Jangan pernah kau membenciku, nak… aku takut. Aku takut saat nanti kau menyesalinya dan mulai mencintai Ayahmu, saat itu juga kau tak lagi dapat membenciku untuk yang kedua kalinya…”
Dan di terakhir ucapan Sang Ayah yang saat itu benar-benar membuat Habibah benci,
saat Sang Ayah melanjutkan kata-kata beliau sembari mengelus kepala Habibah.
“Kau berdo’alah saja terus untukku, nak… karena hanya itu yang membantuku untuk
bisa dekat dengan Allah…”
Sang Ibu menyentuh tangan Habibah, menyadarkan Habibah dari terdiam nya.
Bersamaan dengan terselesaikannya bacaan surah Yasin yang dibaca keduanya dikirimkan
pada Ayah Habibah. Sedangkan saat itu pula Sang Ibu melihat, betapa deras air mata Habibah, sehingga membuat kerudungnya pun basah olehnya.
Dan saat itu juga, bukan do’a yang menjadi penutup seusai bacaan surah Yasin, namun tangis lah yang ada. Sang Ibu memeluk Habibah, sedangkan Habibah saat dia sandarkan wajahnya ke pundak Sang Ibu, semakin deras dan keraslah suara tangisnya hingga tersedu. Sang Ibu pun tak mampu lagi menahan air matanya, beliau pun larut dalam tangisan. Dan larut pula dalam lamunan.
...****************...
Seiring berjalannya waktu, semua kesedihan perlahan berlalu. Hati mencoba bersabar,
dan coba untuk kembali jalani saja apa adanya. Dan kebiasaan membawa suasana untuk
terbiasa menjadi biasa, tanpa ada kesedihan yang berlebihan.
Habibah pagi hari sudah berangkat ke tempat dia belajar bersama, dengan para Huffadz
lainnya. Hal itu yang setiap harinya dia lakukan. Hidup di kota cukup mempermudahnya
untuk membuat Al-Qur’an nya tak kabur kemana-mana. Meski tak jarang dia ingat rumah
yang dulunya dia tempati dengan seorang diri. Dan terkadang dia berpikir untuk bisa
kembali, meski hanya lewat saja didepan pondok tempat Ahmad berada.
Sang Ibu di pagi itu sedang berdagang di pasar, seperti biasa pula setiap harinya rumah
itu sepi tak berpenghuni. Sedangkan saat ramai-ramainya dagangan Ibu Habibah, tiba-tiba
ponselnya berbunyi. Ibu Habibah pun mengangkat telpon masuk dari nomor tak dikenalnya.
“Hallo, Assalamu’alaikum…” Tanya Ibu Habibah.
“Hallo, Wa’alaikumsalam… bisa bicara dengan Ibu Aisyah?” Tanya di seberang.
“Iya, dengan saya sendiri…”
“Alhamdulillah… ibu, saya dari kepolisian pusat melaporkan bahwa seorang lelaki bernama Aby Mahbub, mengaku sebagai putra anda… sekarang dirawat di Rumah Sakit setelah terjadi kecelakaan tabrak lari pick up, Bu…”
“Astaghfirullah!” pekik Ibu Habibah, Aisyah. Setelah mendengar penjelasan polisi itu.
Meski bagaimanapun salahnya seorang anak, dia tetaplah masih seorang ibunya. Dia begitu
terkejut, hingga barang dagangan yang ada digenggaman nya pun jatuh.
“Terimakasih, saya undur diri Bu. Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Aisyah, Ibu Habibah.
Aisyah menjawab dengan sedikit bergetar.
Sedangkan setelah mendapat telpon dari kepolisian, langsung bersiaplah Aisyah untuk
temui Aby, putranya. Tanpa berpamitan pada Habibah, Aisyah telah tak ingat apapun saat itu
selain Aby.
Saat senja tiba, tepat saat Habibah pulang dari ladang, dia langsung ke kamar mandi seperti biasanya. Dan seusai dari kamar mandi, barulah dia mulai memanggil-manggil Sang Ibu.
“Ibu… Ibu…” namun tak ada jawaban. Habibah baru menyadari bahwa Sang Ibu sedang tak ada di rumah.
“Kemana perginya Ibu? Tak biasanya Ibu pergi tak memberitahuku dahulu? “ ucapnya
dalam hati. Habibah pun coba santai kan pikirannya. Dia hanya mengira-ngira bahwa
Sang Ibu sedang ada perlu dengan tetangga, meski dia sedikitpun tak menyakini nya. Namun segera Habibah buang prasangka yang buruk di otaknya. Dia pun mengisi waktu sepinya itu dengan menonton acara televisi. Channel tv itu selalu dia ganti-ganti, karena memang dia tak cukup sukai menonton tv. Dia lebih suka berbicara dengan Sang Ibu bila dibandingkan dengan menonton tv. Meski dia sendiri bicara dengan ibu seperlunya saja.
Sejak Habibah keluar dari penjara suci, dia hampir tak pernah lagi berdua dengan ponselnya. Baginya hal itu hanyalah kenangan belaka, tak dia perhatikan lebih sedikitpun. Meski terkadang dia merindukan saatsaat dahulu.
Lama sendiri di rumah, perlahan dia pun bosan. Baginya seorang diri selamanya tidaklah
menyenangkan. Habibah pun menguap, dia pun mulai mengantuk berat. Ponselnya diletakkan
begitu saja didekat duduknya, televisi dia biarkan menyala, dia terlelap.
Pintu terbuka…
Habibah tertidur 30 menit yang lalu. Sedangkan saat itu pula Sang Ibu datang tepat jam
10 malam, bersama seorang yang telah menghilang jauh, dan kini kembali lagi.
Saat Sang Ibu mengucap salam, Habibah pun terbangun. Sembari mengucek kedua
matanya yang terasa berat, dia pun menjawab salam Sang Ibu.
“Wa’alaikumusalam,” dengan mulai membalik badan menoleh ke arah Sang Ibu.
Sedangkan saat itu pulalah dia hanya mampu tercengang diantara sadar dan tak sadar
sekaligus terkejut dengan apa yang kini dilihatnya diantara rasa kantuknya.
Bibirnya bergerak perlahan, terbata mengucapkan, rasa tak percayanya jauh lebih besar dari keterkejutannya, hingga suara pun lirih hampir tak terdengar.
“Kak Aby???”
Dan saat tatapan Habibah beralih pada Sang Ibu, terlihatlah olehnya Sang Ibu yang sendu, terdapat bekas-bekas air mata di sana. Dikedua pelupuk mata indah Aisyah, Ibu Habibah.
Namun bukan menghampiri dan mencium tangan Sang Ibu yang kini dia lakukan. Malah
Habibah langsung melenggang pergi ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat sehingga terdengar oleh Aisyah betapa kerasa
Habibah menutup pintu kamar dan menguncinya.
Aisyah tak bergeming, setelah melihat hal itu dia langsung saja acuhkan, dia tak ingin membahas, dia tahu apa yang dirasakan putrinya, namun dia juga harus memahami bagaimana perasaan orang yang kini berdiri dengan satu kaki disampingnya.
Aisyah menuntun Aby menuju ke kamar lamanya beberapa tahun silam, Aisyah tak pernah mengubah kamar itu menjadi gudang ataupun sesuatu yang tak dianggap, karena dia yakin dimana akan datang hari untuk Aby kembali lagi.
Setelah diantarnya Aby dikamar, Aisyah pun membiarkannya untuk beristirahat.
Sebelumnya Aisyah duduk sejenak di samping Aby tuk tinggalkan suatu pesan padanya.
“Tidurlah lah, nak… Istirahatlah… lupakan segala hal yang bila itu membuatmu gundah, aku bangunkan kau besok pagi sebelum shubuh… InsyaAllah,” saat setelah Aisyah ucapkan itu, saat itu pula Aby menahan Aisyah dengan memegang lengannya.
“Ibu…..” ucap Aby.
Sedangkan Aisyah, mendengar Aby memanggilnya Ibu, setelah tak pernah lagi dia
dengar suara sedikitpun dari putranya kini didengarnya lagi, langsung berkaca-kaca lah kedua matanya.
Aisyah pun duduk kembali, Aby melanjutkan perkataannya, “Aku rindu Ibu,” ucapnya.
Hanya itu yang Aby ucapkan. Dia masih belum sanggup untuk berbicara lancar apalagi banyak bicara.
Saat itu juga, langsung dipeluk lah putranya itu dengan penuh kasih sayang. Air mata pun
tak mampu lagi keduanya bendung. Bersamaan dengan itupun Aisyah berkata,
“Maafkanlah Ibu, nak. Kau tak bisa dirawat dengan perawatan yang layak… Ibu hanya
seorang diri, nak…” jelas Aisyah.
Sedangkan Aby, setelah mendengarnya semakin dipeluk erat lah Sang Ibu. Meski dia masih belum paham benar dengan ucapan Ibunya. Dia tak ingin pula untuk bertanya, tak ingin apa yang telah dipikir olehnya benar terjadi. Dia hanya menjawab,
“Aku tak apa Ibu, aku bisa diobati di rumah saja meski lukaku belum kering dan parah…” sedangkan Aisyah semakin larut dalam kesedihan,
“Andai Ayahmu masih hidup,..”
Degh!
Terdengar kata-kata itu langsung terasa seperti besi memukul kepalanya, hingga membuatnya sangat kesakitan dan tak terobati. Aby langsung melepaskan pelukannya,
“Apa yang Ibu katakan?” Aby benar-benar tak tahu.
Aisyah bingung, ternyata anaknya tak paham dengan kata-katanya tadi, “Ya Allah…
Ayahmu telah meninggal dunia tiga tahun yang lalu,” terasa tercekat di tenggorokan Aisyah
menjelaskannya, karena bersamaan dengan itu tangisnya semakin deras sesenggukan nya
semakin jelas.
Langsung terdiam lah Aby mendengarnya, kini lengkaplah sudah penderitaan jiwa dan
raga yang dialaminya. Kini air matanya mengalir begitu saja tiada henti, seiring dengan
ingatannya dimasa lalu, saat detik-detik sebelum kepergiannya.
“Aku benci Ayah! Jangan panggil aku anak lagi! Jangan kau anggap bila perlu! Ayah
selalu membeda-bedakan! Aku memang tak secerdas Habibah! Tapi setidaknya, hargailah
usahaku untuk bisa seperti dia!
Persetan semua!
Aku muak menjadi Habibah! Aku bukan dia! Inilah aku! Dengarkan aku! Aku bersumpah akan pergi dari rumah ini! Silahkan kalian banggakan perempuan kalian! Aku Aby Mahbub ! bukan Ummu Habibah! Selamanya aku takkan bisa sepertinya!
Persetan!”
Semua ingatan terputar begitu saja. Air mata terus saja mengalir, seiring dengan semakin
sakit lah kepalanya. Sakit seusai kecelakaan dan tekanan batin, seketika membuatnya tak
sadarkan diri.
Aisyah terkejut melihatnya. Dia langsung berikan apapun yang sekiranya dapat membantu putranya. Tak mungkin dia minta bantuan Habibah, dia tahu bagaimana hati Habibah kini.
Sedangkan saat itu juga tak ada yang tahu bahwa diam-diam Habibah melihat kakaknya
dengan ibunya dari luar. Dia ikut larut dalam kesedihan itu, namun kebenciannya pada Aby
masih belum mampu dihapusnya.
“Aku bersumpah! Tak akan lagi menganggap mu sebagai adikku! Kembar denganmu
menjadi malapetaka dalam hidupku! Mengapa dulu tak Allah takdir kan kau mati saja?!”
Kata-kata itu tak kunjung dapat dilupakannya. Terus saja melekat diruang hatinya.
Membuatnya sakit di setiap teringat akan hal itu. Dia juga masih mengingat bagaimana sikap
Aby pada Ayahnya pula, meski dia tahu bila pada Sang Ibu, Aby tak sedikitpun mengatakan
kekasaran.
Hanya saja sebagai seorang Ibu, Aisyah ikut merasakan. Malam pun terhiasi kesedihan
hingga keduanya tertidur. Namun dikala Aisyah terbangun, dia pun biarkan Aby tidur sendiri.
Dia akan bangunkan Aby menjelang shubuh nanti.
Sebelum Aisyah menuju ke kamarnya, dia jenguk kamar Habibah, dia buka perlahan pintu kamar Habibah. Dan setelah sedikit terbuka dia pun mengintip, langsung terkejut lah dia dengan apa yang kini dilihatnya.
Dia lihat Habibah sedang duduk di atas sajadahnya sembari menengadahkan kedua tangannya. Suara lirih Habibah sedikit terdengar olehnya.
“Ya Allah… tiada daya kekuatan selain dariMu… Hanya Engkau yang tahu bagaimana
perasaan hamba… Engkau pun pasti tahu apa maksud hamba bersikap seolah orang jahat,
hanya Engkau yang tahu… ku serahkan segalanya padaMu… hamba yakin semuanya telah kau tulis dalam Lauh Mahfudz… maka, takdirkanlah yang baik-baik pada hidup dan mati hamba…”
Perlahan Aisyah menutup pintunya kembali, sebelum Habibah menyudahi do’anya.
Aisyah masih tercengang dengan do’a Habibah, dia tak percaya.
“Betapa mulia kata-katamu, nak.. Ya Allah, kabulkan lah do’a-do’anya… kuatkan lah dia”
ucapnya dalam do’a dihatinya.
Lalu dia pun kembali ke kamarnya, melakukan apa yang Habibah lakukan, dia ingin
lengkapi do’a itu.
...****************...
Keesokan harinya, Aisyah tak lupa, bahwa Aby ingin dia bangunkan. Dia pun mendatangi kamar Aby. Tepat saat dia membangunkan Aby, terdengar adzan shubuh dikumandangkan.
“Nak, ayo bangun…”
Aby pun terbangun, “Iya, Ibu…”
Aisyah tersenyum, lalu dia menawarkan, “Ibu bantu?” namun Aby menolak dengan lembut,
“Aku coba sendiri dulu, Bu… bila nanti aku tak mampu baru aku minta pertolongan Ibu…”
Saat Aby mencoba berdiri, perlahan-lahan dia lakukan hal itu, namun yang ada dia malah
terjatuh kelantai. Dia pun merintih kesakitan, Aisyah langsung bertindak membantu Aby.
“Sudah Ibu bilang sebaiknya Ibu bantu…” ucapnya.
Sedangkan Aby diam tak bergeming. Melihatnya, Aisyah tak lagi berbicara, dia ikut terdiam. Aisyah masih ingat, disaat dulu Aby selalu menjawab setiap ada perkataan yang terkesan membuatnya salah, karena dia tak bisa sedikitpun menerimanya.
Pagi harinya, saat Aisyah sedang memasak, tiba-tiba Habibah datang seperti biasanya.
Namun dia tetap tak mengeluarkan suara, dia hanya membantu Sang Ibu sebagai wujud
menggugurkan kewajibannya. Aisyah sempat bingung, dia berusaha mencari cara untuk bisa
mengembalikan Habibah seperti saat sebelum kedatangan Aby. Ingin dia kembali melihat
senyum Habibah.
Dia pun dekati Habibah, lalu berkata.
“Nak, Ibu mau pergi dulu.”
Mendengarnya Habibah langsung menoleh, setelah melihat keranjang belanja di genggaman Sang Ibu, dia pun tak lagi khawatir, karena dia mengira Ibunya pasti akan belanja.
“Mau kemana, Bu?” Namun dia tetap bertanya.
“Ibu ke pasar dulu, nak… kau masak kan kakakmu juga.” Jawab Aisyah. Namun Habibah yang kemudian tetap diam tak bergeming. Aisyah biarkan begitu saja. Dan Aisyah pun pergi
ke pasar, sembari berkata dalam hati agar kedua anaknya kembali rukun.
Tak lama kemudian, suara Aby memanggil. “Ibu?...” namun setelah dia rasa tak ada
jawaban, tak dia ulangi lagi panggilannya.
“Mungkin Ibu sedang pergi.” Gerutunya.
Habibah mendengar panggilan itu, dia ingin menangis saat itu juga karena sikapnya.
Masakannya sudah matang, dia buat tiga porsi. Satu porsi untuknya, satu buat Sang Ibu, dan
satu lagi untuk Aby. Namun dia bingung, antara ikuti egonya atau ikuti kata hatinya.
“Astaghfirullah!” keluhnya, dia merasa tak mampu.
“Bismillah!” pekiknya.
Satu porsi masakannya dia bawa menuju ke kamar Aby. Dengan perasaan tertahan, dia
kini berdiri di depan kakaknya. Dia bingung, bila dia letakkan makanan di luar kamar, mustahil Aby mampu mengambilnya kecuali sembuh total. Namun bila dia masuk, dia tak akan tahu apa yang akan terjadi.
“Masuklah…” Lirih terdengar olehnya suara Aby dari dalam kamar mempersilahkan.
Habibah pun dengan langkah berat akhirnya memutuskan untuk masuk kamar Aby.
Sedangkan saat tahu siapa yang masuk, terkejut lah Aby. Dia tak mampu berkedip melihat sosok yang telah lama tak lagi dilihatnya itu. Seiring dengan langkah mendekatnya Habibah kemeja yang ada didalam kamarnya. Dia ikuti gerak gerik Habibah di setiap sudut tatapannya. Dan setelah Habibah meletakkan makanan untuknya, Aby pun baru memberanikan diri untuk melihat kedua tatapan mata Habibah. Saat itu juga tatapan mata kakak beradik saudara kembar itupun kembali bertemu.
Seketika itu berlari lah Habibah keluar kamar, dengan air mata yang tak mampu terbendung lagi. Aby ingin mengejar adiknya, namun apa dayanya. Dia pun hanya mampu larut dalam tetesan air mata.
Semakin tersedulah Habibah saat berada didepan makanannya. Sembari dia usapi air
matanya, sesuap demi suap pun dia kunyah makanannya. Berbeda dengan Aby, dia tetap
pandangi makanan dari Habibah. Segala masa lalu berputar begitu saja di otaknya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Novi 78
bingung akunya...
2021-06-02
0
Sari Fatun
mubeng mubeng ora paham alure py
2021-04-14
1
Neny Latifah
msih bingung thor,,lum phan ma jalan critanya
2021-03-31
1