Sekuntum Harapan

Telah lama aku berusaha melupakanmu... Melupakan kalian semua… telah lama aku

hidup penuh dengan coba dan uji tanpa ditemani kalian, tanpa ditemani kamu… telah lama

aku berjuang sendiri hanya untuk bisa sepertimu, duhai pujaan hati… telah lama aku berada dipenjara suci hingga kini ku mendapatkan kembali kebebasanku di hari ini… telah lama aku rindukan kalian, rindukan kamu… Meski bagiku selama ini tidaklah lama, namun aku tahu pasti kau mengklaimnya sebagai suatu waktu yang panjang dan lama…

Mungkin selama ini aku telah bersikap bodoh, karena tak dapat lupakan kamu, lupakan

kalian… selalu aku ingat! Mungkin juga, kalian telah lupakan aku, telah tak mengenalku…

terlebih dirimu, kau pasti anggap diriku kejam, jahat, tak punya hati dan perasaan… aku telah

meninggalkanmu… meninggalkan kalian, seandainya ada yang tahu, aku pergi tuk kembali lagi… bukan untuk selamanya…

Andai saja, andai saja, dan andai saja… waktu mampu terulang… aku berpamitan kepadamu tanpa perlu memutuskan mu… aku ucapkan perpisahan yang terindah dalam hidup,

bukan perpisahan yang sangat menyakitkan diriku maupun dirimu… Ingin sekali ku ulang, jujur ingin sekali aku ulang waktu itu... agar aku tak hanya berakhir kesepian seperti ini kini yang kurasakan,,. Meski aku tahu, sejatinya semua itu aku buang saja jauh-jauh pikiran seperti memburukkan ku,,. Bukankah aku telah memiliki teman sebaik-baik teman? Bukankah cita-cita tertinggi ku kini telah tercapai sebagian? Bukankah setidaknya aku mensyukurinya?

“Assalamu’alaikum?!”

“Wa’alaikumsalam…” jawab Habibah, sembari mengelus dada. Cukup terkejut dia mendengar ucapan salam dari Sang Ibu.

“Sudah lama, nak?”

Habibah tersenyum, “Bila tentang menunggu, tetap terasa lama…tapi Ibu gak lama kok…” ucapnya. Lalu dia cium tangan Sang Ibu.

Ibunya pun balas cium keningnya, Habibah tersenyum. Seiring keduanya berjalan

menjauhi penjara suci, setelah Sang Ibu berpamitan untuk pindah, Habibah pun melanjutkan berkata-kata dalam hatinya, Sejak aku menuruti keputusan hati, sejak aku putuskan mengambil langkah yang tak semua orang mampu menyanggupi dengan mudah. Sejak aku selesaikan tanggunganku dipenjara suci, dan sejak aku dapatkan suatu piala hati dari Robbi sebagai salah satu orang yang mendapat restu-Nya, terlebih sejak aku selesaikan hafalan Al-Qur’anku, sejak saat itu pula aku seolah menjadi kupu-kupu yang bersayap lebar sehingga bebas terbang, yang bersayap indah yang mengalahkan keindahan senyuman sehingga aku terkesan begitu harum dimata seseorang. Yang dalam angan pun seolah dipastikan akan menjadi nyata kedepannya.

“Mampir ke tempat Ayahmu, nak…” Sang Ibu menawarkan.

Habibah menoleh, tak luput senyuman menghias di bibirnya. Perlahan Habibah mengangguk, Sang Ibu pun membalas senyuman Habibah.

Sedangkan saat itu juga, serasa ingin dipeluk lah Sang putri. Sebagai seorang Ibu, beliau hanya selalu berusaha memahami.

Meski beliau sendiri butuh pemahaman, dimana kini tak akan ada lagi seorang setia yang

biasanya selalu memahami hati seorang Ibu.

Hanya Habibah tumpuan sang Ibu satu-satunya.

Yang diharapkan lebih dari suatu yang lebih. Yang diharapkan bisa memahami beliau

menggantikan seorang yang selama ini memahami beliau.

Sedangkan Habibah pun hanya mampu berkata-kata dalam hati setelah menjawab

tawaran Sang Ibu hendak kemana selanjutnya.

Beginilah yang telah tertulis…

Aku hanya mampu jalani saja apa adanya, meski aku tahu ini sangat pahit bagiku. Coba

yang berat untuk dapatkan hal yang Agung. Semoga Allah menolongku lewat hafalan

Qur’anku, amiin…

Dia pun bersama Sang Ibu, mendatangi tempat bersemayam Sang Ayah, yang telah meninggal lima bulan yang lalu. Tepatnya saat Habibah baru hafal 20 Juz. Yang saat itu pula Habibah hampir tak kembali lagi ke pondok, namun beruntunglah seorang Habibah. Dia didatangi Sang Kyai diminta untuk mengkhatamkan hafalannya, hingga kini dia pun bisa menghadiahkan sesuatu pada Sang Ayah. Meski sebelumnya tak pernah bertemu.

Berdua memasuki area pemakaman, langkah kaki langsung menuju tempat dimana Ayah

Habibah di makamkan. Dan tepat saat Habibah serta Ibunya duduk didekat makam Ayah

Habibah, Habibah pun kembali teringat.

Dimana dia masih tak mampu lupakan, saat terakhir kali dia pandangi wajah Sang Ayah

yang telah dalam keadaan tak bernyawa. Dia cium Sang Ayah dengan penuh rasa hormat dan sayang. Dimana bersamaan dengan di ciumnya kening Sang Ayah, terputar lah semua

memory masa lalu bersama Sang Ayah, tepatnya saat dia pertama kali memasuki penjara suci.

Dimana saat itu dia diam seribu bahasa tak mampu lagi berbicara dengan sang Ayah,

karena Sang Ayahlah yang telah menawarkan dia untuk menempati sebuah penjara suci. Dan

di saat itu pula kata-kata terakhir Sang Ayah yang didengar olehnya, sebagai suatu nasehat

yang tak mampu sedikitpun terlupakan.

“Habibah… anakku. Boleh kau menangis nantinya, boleh kau tak mau lagi menjawab ku

seperti yang kini kau lakukan padaku, boleh kau marah dalam hatimu akan keputusanku…

Tapi aku sebagai Ayahmu, nak… meminta satu hal padamu . Jangan pernah kau membenciku, nak… aku takut. Aku takut saat nanti kau menyesalinya dan mulai mencintai Ayahmu, saat itu juga kau tak lagi dapat membenciku untuk yang kedua kalinya…”

Dan di terakhir ucapan Sang Ayah yang saat itu benar-benar membuat Habibah benci,

saat Sang Ayah melanjutkan kata-kata beliau sembari mengelus kepala Habibah.

“Kau berdo’alah saja terus untukku, nak… karena hanya itu yang membantuku untuk

bisa dekat dengan Allah…”

Sang Ibu menyentuh tangan Habibah, menyadarkan Habibah dari terdiam nya.

Bersamaan dengan terselesaikannya bacaan surah Yasin yang dibaca keduanya dikirimkan

pada Ayah Habibah. Sedangkan saat itu pula Sang Ibu melihat, betapa deras air mata Habibah, sehingga membuat kerudungnya pun basah olehnya.

Dan saat itu juga, bukan do’a yang menjadi penutup seusai bacaan surah Yasin, namun tangis lah yang ada. Sang Ibu memeluk Habibah, sedangkan Habibah saat dia sandarkan wajahnya ke pundak Sang Ibu, semakin deras dan keraslah suara tangisnya hingga tersedu. Sang Ibu pun tak mampu lagi menahan air matanya, beliau pun larut dalam tangisan. Dan larut pula dalam lamunan.

...****************...

Seiring berjalannya waktu, semua kesedihan perlahan berlalu. Hati mencoba bersabar,

dan coba untuk kembali jalani saja apa adanya. Dan kebiasaan membawa suasana untuk

terbiasa menjadi biasa, tanpa ada kesedihan yang berlebihan.

Habibah pagi hari sudah berangkat ke tempat dia belajar bersama, dengan para Huffadz

lainnya. Hal itu yang setiap harinya dia lakukan. Hidup di kota cukup mempermudahnya

untuk membuat Al-Qur’an nya tak kabur kemana-mana. Meski tak jarang dia ingat rumah

yang dulunya dia tempati dengan seorang diri. Dan terkadang dia berpikir untuk bisa

kembali, meski hanya lewat saja didepan pondok tempat Ahmad berada.

Sang Ibu di pagi itu sedang berdagang di pasar, seperti biasa pula setiap harinya rumah

itu sepi tak berpenghuni. Sedangkan saat ramai-ramainya dagangan Ibu Habibah, tiba-tiba

ponselnya berbunyi. Ibu Habibah pun mengangkat telpon masuk dari nomor tak dikenalnya.

“Hallo, Assalamu’alaikum…” Tanya Ibu Habibah.

“Hallo, Wa’alaikumsalam… bisa bicara dengan Ibu Aisyah?” Tanya di seberang.

“Iya, dengan saya sendiri…”

“Alhamdulillah… ibu, saya dari kepolisian pusat melaporkan bahwa seorang lelaki bernama Aby Mahbub, mengaku sebagai putra anda… sekarang dirawat di Rumah Sakit setelah terjadi kecelakaan tabrak lari pick up, Bu…”

“Astaghfirullah!” pekik Ibu Habibah, Aisyah. Setelah mendengar penjelasan polisi itu.

Meski bagaimanapun salahnya seorang anak, dia tetaplah masih seorang ibunya. Dia begitu

terkejut, hingga barang dagangan yang ada digenggaman nya pun jatuh.

“Terimakasih, saya undur diri Bu. Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikumsalam.” Jawab Aisyah, Ibu Habibah.

Aisyah menjawab dengan sedikit bergetar.

Sedangkan setelah mendapat telpon dari kepolisian, langsung bersiaplah Aisyah untuk

temui Aby, putranya. Tanpa berpamitan pada Habibah, Aisyah telah tak ingat apapun saat itu

selain Aby.

Saat senja tiba, tepat saat Habibah pulang dari ladang, dia langsung ke kamar mandi seperti biasanya. Dan seusai dari kamar mandi, barulah dia mulai memanggil-manggil Sang Ibu.

“Ibu… Ibu…” namun tak ada jawaban. Habibah baru menyadari bahwa Sang Ibu sedang tak ada di rumah.

“Kemana perginya Ibu? Tak biasanya Ibu pergi tak memberitahuku dahulu? “ ucapnya

dalam hati. Habibah pun coba santai kan pikirannya. Dia hanya mengira-ngira bahwa

Sang Ibu sedang ada perlu dengan tetangga, meski dia sedikitpun tak menyakini nya. Namun segera Habibah buang prasangka yang buruk di otaknya. Dia pun mengisi waktu sepinya itu dengan menonton acara televisi. Channel tv itu selalu dia ganti-ganti, karena memang dia tak cukup sukai menonton tv. Dia lebih suka berbicara dengan Sang Ibu bila dibandingkan dengan menonton tv. Meski dia sendiri bicara dengan ibu seperlunya saja.

Sejak Habibah keluar dari penjara suci, dia hampir tak pernah lagi berdua dengan ponselnya. Baginya hal itu hanyalah kenangan belaka, tak dia perhatikan lebih sedikitpun. Meski terkadang dia merindukan saat￾saat dahulu.

Lama sendiri di rumah, perlahan dia pun bosan. Baginya seorang diri selamanya tidaklah

menyenangkan. Habibah pun menguap, dia pun mulai mengantuk berat. Ponselnya diletakkan

begitu saja didekat duduknya, televisi dia biarkan menyala, dia terlelap.

Pintu terbuka…

Habibah tertidur 30 menit yang lalu. Sedangkan saat itu pula Sang Ibu datang tepat jam

10 malam, bersama seorang yang telah menghilang jauh, dan kini kembali lagi.

Saat Sang Ibu mengucap salam, Habibah pun terbangun. Sembari mengucek kedua

matanya yang terasa berat, dia pun menjawab salam Sang Ibu.

“Wa’alaikumusalam,” dengan mulai membalik badan menoleh ke arah Sang Ibu.

Sedangkan saat itu pulalah dia hanya mampu tercengang diantara sadar dan tak sadar

sekaligus terkejut dengan apa yang kini dilihatnya diantara rasa kantuknya.

Bibirnya bergerak perlahan, terbata mengucapkan, rasa tak percayanya jauh lebih besar dari keterkejutannya, hingga suara pun lirih hampir tak terdengar.

“Kak Aby???”

Dan saat tatapan Habibah beralih pada Sang Ibu, terlihatlah olehnya Sang Ibu yang sendu, terdapat bekas-bekas air mata di sana. Dikedua pelupuk mata indah Aisyah, Ibu Habibah.

Namun bukan menghampiri dan mencium tangan Sang Ibu yang kini dia lakukan. Malah

Habibah langsung melenggang pergi ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat sehingga terdengar oleh Aisyah betapa kerasa

Habibah menutup pintu kamar dan menguncinya.

Aisyah tak bergeming, setelah melihat hal itu dia langsung saja acuhkan, dia tak ingin membahas, dia tahu apa yang dirasakan putrinya, namun dia juga harus memahami bagaimana perasaan orang yang kini berdiri dengan satu kaki disampingnya.

Aisyah menuntun Aby menuju ke kamar lamanya beberapa tahun silam, Aisyah tak pernah mengubah kamar itu menjadi gudang ataupun sesuatu yang tak dianggap, karena dia yakin dimana akan datang hari untuk Aby kembali lagi.

Setelah diantarnya Aby dikamar, Aisyah pun membiarkannya untuk beristirahat.

Sebelumnya Aisyah duduk sejenak di samping Aby tuk tinggalkan suatu pesan padanya.

“Tidurlah lah, nak… Istirahatlah… lupakan segala hal yang bila itu membuatmu gundah, aku bangunkan kau besok pagi sebelum shubuh… InsyaAllah,” saat setelah Aisyah ucapkan itu, saat itu pula Aby menahan Aisyah dengan memegang lengannya.

“Ibu…..” ucap Aby.

Sedangkan Aisyah, mendengar Aby memanggilnya Ibu, setelah tak pernah lagi dia

dengar suara sedikitpun dari putranya kini didengarnya lagi, langsung berkaca-kaca lah kedua matanya.

Aisyah pun duduk kembali, Aby melanjutkan perkataannya, “Aku rindu Ibu,” ucapnya.

Hanya itu yang Aby ucapkan. Dia masih belum sanggup untuk berbicara lancar apalagi banyak bicara.

Saat itu juga, langsung dipeluk lah putranya itu dengan penuh kasih sayang. Air mata pun

tak mampu lagi keduanya bendung. Bersamaan dengan itupun Aisyah berkata,

“Maafkanlah Ibu, nak. Kau tak bisa dirawat dengan perawatan yang layak… Ibu hanya

seorang diri, nak…” jelas Aisyah.

Sedangkan Aby, setelah mendengarnya semakin dipeluk erat lah Sang Ibu. Meski dia masih belum paham benar dengan ucapan Ibunya. Dia tak ingin pula untuk bertanya, tak ingin apa yang telah dipikir olehnya benar terjadi. Dia hanya menjawab,

“Aku tak apa Ibu, aku bisa diobati di rumah saja meski lukaku belum kering dan parah…” sedangkan Aisyah semakin larut dalam kesedihan,

“Andai Ayahmu masih hidup,..”

Degh!

Terdengar kata-kata itu langsung terasa seperti besi memukul kepalanya, hingga membuatnya sangat kesakitan dan tak terobati. Aby langsung melepaskan pelukannya,

“Apa yang Ibu katakan?” Aby benar-benar tak tahu.

Aisyah bingung, ternyata anaknya tak paham dengan kata-katanya tadi, “Ya Allah…

Ayahmu telah meninggal dunia tiga tahun yang lalu,” terasa tercekat di tenggorokan Aisyah

menjelaskannya, karena bersamaan dengan itu tangisnya semakin deras sesenggukan nya

semakin jelas.

Langsung terdiam lah Aby mendengarnya, kini lengkaplah sudah penderitaan jiwa dan

raga yang dialaminya. Kini air matanya mengalir begitu saja tiada henti, seiring dengan

ingatannya dimasa lalu, saat detik-detik sebelum kepergiannya.

“Aku benci Ayah! Jangan panggil aku anak lagi! Jangan kau anggap bila perlu! Ayah

selalu membeda-bedakan! Aku memang tak secerdas Habibah! Tapi setidaknya, hargailah

usahaku untuk bisa seperti dia!

Persetan semua!

Aku muak menjadi Habibah! Aku bukan dia! Inilah aku! Dengarkan aku! Aku bersumpah akan pergi dari rumah ini! Silahkan kalian banggakan perempuan kalian! Aku Aby Mahbub ! bukan Ummu Habibah! Selamanya aku takkan bisa sepertinya!

Persetan!”

Semua ingatan terputar begitu saja. Air mata terus saja mengalir, seiring dengan semakin

sakit lah kepalanya. Sakit seusai kecelakaan dan tekanan batin, seketika membuatnya tak

sadarkan diri.

Aisyah terkejut melihatnya. Dia langsung berikan apapun yang sekiranya dapat membantu putranya. Tak mungkin dia minta bantuan Habibah, dia tahu bagaimana hati Habibah kini.

Sedangkan saat itu juga tak ada yang tahu bahwa diam-diam Habibah melihat kakaknya

dengan ibunya dari luar. Dia ikut larut dalam kesedihan itu, namun kebenciannya pada Aby

masih belum mampu dihapusnya.

“Aku bersumpah! Tak akan lagi menganggap mu sebagai adikku! Kembar denganmu

menjadi malapetaka dalam hidupku! Mengapa dulu tak Allah takdir kan kau mati saja?!”

Kata-kata itu tak kunjung dapat dilupakannya. Terus saja melekat diruang hatinya.

Membuatnya sakit di setiap teringat akan hal itu. Dia juga masih mengingat bagaimana sikap

Aby pada Ayahnya pula, meski dia tahu bila pada Sang Ibu, Aby tak sedikitpun mengatakan

kekasaran.

Hanya saja sebagai seorang Ibu, Aisyah ikut merasakan. Malam pun terhiasi kesedihan

hingga keduanya tertidur. Namun dikala Aisyah terbangun, dia pun biarkan Aby tidur sendiri.

Dia akan bangunkan Aby menjelang shubuh nanti.

Sebelum Aisyah menuju ke kamarnya, dia jenguk kamar Habibah, dia buka perlahan pintu kamar Habibah. Dan setelah sedikit terbuka dia pun mengintip, langsung terkejut lah dia dengan apa yang kini dilihatnya.

Dia lihat Habibah sedang duduk di atas sajadahnya sembari menengadahkan kedua tangannya. Suara lirih Habibah sedikit terdengar olehnya.

“Ya Allah… tiada daya kekuatan selain dariMu… Hanya Engkau yang tahu bagaimana

perasaan hamba… Engkau pun pasti tahu apa maksud hamba bersikap seolah orang jahat,

hanya Engkau yang tahu… ku serahkan segalanya padaMu… hamba yakin semuanya telah kau tulis dalam Lauh Mahfudz… maka, takdirkanlah yang baik-baik pada hidup dan mati hamba…”

Perlahan Aisyah menutup pintunya kembali, sebelum Habibah menyudahi do’anya.

Aisyah masih tercengang dengan do’a Habibah, dia tak percaya.

“Betapa mulia kata-katamu, nak.. Ya Allah, kabulkan lah do’a-do’anya… kuatkan lah dia”

ucapnya dalam do’a dihatinya.

Lalu dia pun kembali ke kamarnya, melakukan apa yang Habibah lakukan, dia ingin

lengkapi do’a itu.

...****************...

Keesokan harinya, Aisyah tak lupa, bahwa Aby ingin dia bangunkan. Dia pun mendatangi kamar Aby. Tepat saat dia membangunkan Aby, terdengar adzan shubuh dikumandangkan.

“Nak, ayo bangun…”

Aby pun terbangun, “Iya, Ibu…”

Aisyah tersenyum, lalu dia menawarkan, “Ibu bantu?” namun Aby menolak dengan lembut,

“Aku coba sendiri dulu, Bu… bila nanti aku tak mampu baru aku minta pertolongan Ibu…”

Saat Aby mencoba berdiri, perlahan-lahan dia lakukan hal itu, namun yang ada dia malah

terjatuh kelantai. Dia pun merintih kesakitan, Aisyah langsung bertindak membantu Aby.

“Sudah Ibu bilang sebaiknya Ibu bantu…” ucapnya.

Sedangkan Aby diam tak bergeming. Melihatnya, Aisyah tak lagi berbicara, dia ikut terdiam. Aisyah masih ingat, disaat dulu Aby selalu menjawab setiap ada perkataan yang terkesan membuatnya salah, karena dia tak bisa sedikitpun menerimanya.

Pagi harinya, saat Aisyah sedang memasak, tiba-tiba Habibah datang seperti biasanya.

Namun dia tetap tak mengeluarkan suara, dia hanya membantu Sang Ibu sebagai wujud

menggugurkan kewajibannya. Aisyah sempat bingung, dia berusaha mencari cara untuk bisa

mengembalikan Habibah seperti saat sebelum kedatangan Aby. Ingin dia kembali melihat

senyum Habibah.

Dia pun dekati Habibah, lalu berkata.

“Nak, Ibu mau pergi dulu.”

Mendengarnya Habibah langsung menoleh, setelah melihat keranjang belanja di genggaman Sang Ibu, dia pun tak lagi khawatir, karena dia mengira Ibunya pasti akan belanja.

“Mau kemana, Bu?” Namun dia tetap bertanya.

“Ibu ke pasar dulu, nak… kau masak kan kakakmu juga.” Jawab Aisyah. Namun Habibah yang kemudian tetap diam tak bergeming. Aisyah biarkan begitu saja. Dan Aisyah pun pergi

ke pasar, sembari berkata dalam hati agar kedua anaknya kembali rukun.

Tak lama kemudian, suara Aby memanggil. “Ibu?...” namun setelah dia rasa tak ada

jawaban, tak dia ulangi lagi panggilannya.

“Mungkin Ibu sedang pergi.” Gerutunya.

Habibah mendengar panggilan itu, dia ingin menangis saat itu juga karena sikapnya.

Masakannya sudah matang, dia buat tiga porsi. Satu porsi untuknya, satu buat Sang Ibu, dan

satu lagi untuk Aby. Namun dia bingung, antara ikuti egonya atau ikuti kata hatinya.

“Astaghfirullah!” keluhnya, dia merasa tak mampu.

“Bismillah!” pekiknya.

Satu porsi masakannya dia bawa menuju ke kamar Aby. Dengan perasaan tertahan, dia

kini berdiri di depan kakaknya. Dia bingung, bila dia letakkan makanan di luar kamar, mustahil Aby mampu mengambilnya kecuali sembuh total. Namun bila dia masuk, dia tak akan tahu apa yang akan terjadi.

“Masuklah…” Lirih terdengar olehnya suara Aby dari dalam kamar mempersilahkan.

Habibah pun dengan langkah berat akhirnya memutuskan untuk masuk kamar Aby.

Sedangkan saat tahu siapa yang masuk, terkejut lah Aby. Dia tak mampu berkedip melihat sosok yang telah lama tak lagi dilihatnya itu. Seiring dengan langkah mendekatnya Habibah kemeja yang ada didalam kamarnya. Dia ikuti gerak gerik Habibah di setiap sudut tatapannya. Dan setelah Habibah meletakkan makanan untuknya, Aby pun baru memberanikan diri untuk melihat kedua tatapan mata Habibah. Saat itu juga tatapan mata kakak beradik saudara kembar itupun kembali bertemu.

Seketika itu berlari lah Habibah keluar kamar, dengan air mata yang tak mampu terbendung lagi. Aby ingin mengejar adiknya, namun apa dayanya. Dia pun hanya mampu larut dalam tetesan air mata.

Semakin tersedulah Habibah saat berada didepan makanannya. Sembari dia usapi air

matanya, sesuap demi suap pun dia kunyah makanannya. Berbeda dengan Aby, dia tetap

pandangi makanan dari Habibah. Segala masa lalu berputar begitu saja di otaknya.

...****************...

Terpopuler

Comments

Novi 78

Novi 78

bingung akunya...

2021-06-02

0

Sari Fatun

Sari Fatun

mubeng mubeng ora paham alure py

2021-04-14

1

Neny Latifah

Neny Latifah

msih bingung thor,,lum phan ma jalan critanya

2021-03-31

1

lihat semua
Episodes
1 Gejolak Hati
2 Gejolak Hati 2
3 Sekuntum Harapan
4 Sekuntum Harapan 2
5 Rahasia Hati
6 Luluhnya Hati
7 Masih melekat
8 Penyamaran
9 Penyamaran 2
10 Rasa Ingin Tahu
11 Rasa Yang Telah Hilang
12 Hamba Allah
13 Persatuan Jiwa
14 Malik
15 Senyuman Terbaik
16 Kekhumulan Seseorang
17 Pesan Dari Syauqi
18 Sauqi
19 Ummu Habibah
20 Ali
21 Penyamaran
22 Teman Akrab
23 Kerinduan Hati
24 Kasih Sayang Habibah
25 Kata Hati Habibah
26 Tanpa Sadar
27 Pengakuan Cinta
28 Fii Lauhim Mahfudz
29 Rindu Habibah
30 Kasih Sayang Aby Mahbub
31 Siapakah Idris?
32 Dia Pacarku
33 Dia Tunanganku
34 Permainan Hati
35 Kejutan untuk Aisyah
36 Privat Number
37 Selalu Bersyukur
38 Kau Cantik
39 Bidadari Surga
40 Liburan Telah Usai
41 Bukanlah Pemalas
42 Syahdu dan Habibah
43 Habis Manis Sepah Di buang
44 Syakwasangka
45 Acuh Tak Acuh
46 Lupa Berkas
47 Di Bawah Rintik Hujan
48 Izin Ibu
49 Syifa
50 Janji Syauqi
51 Kerisauan
52 Agenda Habibah
53 Tatapan Ahmad
54 Hati Tentram
55 Sima' Hafalan
56 Agenda
57 Payung
58 Siapakah Polisi aneh itu?
59 Selang Infus
60 Kecelakaan
61 Ada Apa
62 Dialah Dalangnya
63 Masih Melekat
64 Di Bunuh 2 kali
65 Mencari Habibah
66 Ke Makam
67 Di Rumah Aziz
68 Sebuah Mahar
69 Istri Teladan
70 Tak Mau PHP
71 Kekhawatiran
72 Masa Lalu Kawan nya
73 Tidak Ada Yang Salah
74 Tak Usah Berterima Kasih
75 Ingin Menikah
76 Dimana Habibah
77 Lamaran Pertama
78 Mendekati
79 Kemarahan Habibah
80 Hanya Ingin Tahu
81 Karma
82 Epilog & Tentang Penulis
83 Siapa Yang Ingin?
Episodes

Updated 83 Episodes

1
Gejolak Hati
2
Gejolak Hati 2
3
Sekuntum Harapan
4
Sekuntum Harapan 2
5
Rahasia Hati
6
Luluhnya Hati
7
Masih melekat
8
Penyamaran
9
Penyamaran 2
10
Rasa Ingin Tahu
11
Rasa Yang Telah Hilang
12
Hamba Allah
13
Persatuan Jiwa
14
Malik
15
Senyuman Terbaik
16
Kekhumulan Seseorang
17
Pesan Dari Syauqi
18
Sauqi
19
Ummu Habibah
20
Ali
21
Penyamaran
22
Teman Akrab
23
Kerinduan Hati
24
Kasih Sayang Habibah
25
Kata Hati Habibah
26
Tanpa Sadar
27
Pengakuan Cinta
28
Fii Lauhim Mahfudz
29
Rindu Habibah
30
Kasih Sayang Aby Mahbub
31
Siapakah Idris?
32
Dia Pacarku
33
Dia Tunanganku
34
Permainan Hati
35
Kejutan untuk Aisyah
36
Privat Number
37
Selalu Bersyukur
38
Kau Cantik
39
Bidadari Surga
40
Liburan Telah Usai
41
Bukanlah Pemalas
42
Syahdu dan Habibah
43
Habis Manis Sepah Di buang
44
Syakwasangka
45
Acuh Tak Acuh
46
Lupa Berkas
47
Di Bawah Rintik Hujan
48
Izin Ibu
49
Syifa
50
Janji Syauqi
51
Kerisauan
52
Agenda Habibah
53
Tatapan Ahmad
54
Hati Tentram
55
Sima' Hafalan
56
Agenda
57
Payung
58
Siapakah Polisi aneh itu?
59
Selang Infus
60
Kecelakaan
61
Ada Apa
62
Dialah Dalangnya
63
Masih Melekat
64
Di Bunuh 2 kali
65
Mencari Habibah
66
Ke Makam
67
Di Rumah Aziz
68
Sebuah Mahar
69
Istri Teladan
70
Tak Mau PHP
71
Kekhawatiran
72
Masa Lalu Kawan nya
73
Tidak Ada Yang Salah
74
Tak Usah Berterima Kasih
75
Ingin Menikah
76
Dimana Habibah
77
Lamaran Pertama
78
Mendekati
79
Kemarahan Habibah
80
Hanya Ingin Tahu
81
Karma
82
Epilog & Tentang Penulis
83
Siapa Yang Ingin?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!