Hingar-bingar pembunuhan anjing sudah reda. Tak secuil pun daging tertinggal di aspal jalan. Zeal melihat sisi positif dari kasus pembunuhan anjing tersebut. Setidaknya, sekali seumur hidup, semua penghuni komplek kompak membersihkan teras dan pekarangan rumah mereka. Tak terkecuali teras rumahnya. Ia meminta bantuan Ron untuk mengurus terasnya dengan imbalan sepuluh nomor lotere. Maklum orang sibuk, ia harus pergi bekerja.
Z E A L bergegas mengincar bahaya yang menjadi kesenangannya. Merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel, lantas menjawab panggilan masuk yang sedari tadi ia abaikan. Sambil mengunci pintu, Zeal menjepit ponselnya di antara kepala dan bahu. Ia yakin sedikit ber-multitasking tidak akan merusak otak.
"Halo, Ma!" sahutnya antusias.
"Zeal ... mama rindu. Kapan kau mau main ke Dubai? Sudah dua tahun kita tidak bertemu, Honey!" suara mamanya terdengar manja. Berlebihan seperti biasa.
Zeal melangkah lambat dari teras rumahnya ke jalan yang sudah bersih. Samar bau darah masih merebak. Saat ini ia sudah menggenggam ponsel dengan mantap, mencoba menjadi putri yang baik dengan merespon drama mamanya. "Selain rindu. Apa lagi alasan mama menelepon aku?"
"Mama mimpi buruk tentang kamu."
"Hmm. Itu kabar menarik. Semua mimpi buruk berarti baik, begitu pula sebaliknya."
"Omong kosong! Mama memimpikannya berulang-ulang!" Volume suara mamanya naik dua oktaf.
"Oh ya? Seperti apa mimpi mama?"
"Kau melompat ke dalam sumur yang gelap. Lalu membiarkan dirimu mati diremuk seekor ular yang sangat besar."
"Ular besar? Anakonda atau piton, Ma?"
"Zeal! Mama serius," senggak mamanya.
"Oke, oke. Berapa kali mama mimpi seperti itu?" seringai Zeal tersingkap, berusaha lebih serius seperti ekspektasi mamanya. Sekarang ia mengangkat tangan, melirik Rolex di pergelangan tangan. Pukul sepuluh kurang lima menit.
"Mimpi buruk itu datang setiap malam selama sebulan ini."
"Itu pertanda baik, Ma," Zeal menyahut asal, "Bayangan kematian adalah motivasi hebat untuk lebih semangat menjalani kehidupan."
Sejenak ada jeda. Zeal menjauhkan ponsel dari telinga, mengantisipasi volume suara yang mungkin naik jadi empat oktaf.
"Gadis bodoh! Berhentilah membodohi mamamu! Mama sudah bertanya ke interpreter dan artinya sangat buruk. Malapetaka!"
Zeal berhasil menyelamatkan gendang telinganya dari suara yang berpotensi merusak. Ia coba menenangkan mamanya, "Ma, semua interpreter melakukan itu supaya jasanya laku. Dia yang menakuti mama, bukan aku!"
"Secepatnya, Zeal, tentukan tanggal keberangkatanmu! Mama akan pesankan tiket." Nada suara mamanya berubah mendikte, gusar, seakan tak puas dengan respon Zeal yang terkesan tidak menganggap serius.
"Baiklah, Ma. Oke," Zeal menunjukkan sikap mengalah, berharap mamanya lega dan segera mengakhiri panggilan.
Zeal tiba di depan komplek, berbelok ke trotoar menuju sebuah halte, dan berdiri menunggu bus yang akan membawanya ke Singapore Zoo. Zeal yakin orang yang bekerja di kebun binatang—apalagi di negara kosmopolitan seperti Singapura—adalah orang yang paling bahagia di dunia. Tetapi baru saja mamanya membicarakan tentang pergi ke Dubai, membuat antusiasme Zeal merasa hambar.
"Sudah dulu ya, Ma ... aku mau pergi kerja," ujarnya tanpa basa-basi. Matanya memandang jauh ke ujung jalan. Mencari tanda-tanda kedatangan bus. Ia melirik jam tangannya lagi, hampir terlambat.
"Kerja?" sergah mamanya, menanti penjelasan.
"Hu-um," Zeal membuat jeda, merasa ada yang keliru dari nada pertanyaan mamanya. Ia kemudian menggaruk kepala. Teringat ia belum memberitahu mamanya tentang di mana ia menghabiskan waktu selama dua bulan belakangan ini. Zeal terlanjur keceplosan, mau tidak mau ia harus menjelaskan sebelum mamanya mencari tahu sendiri. "Ya, Ma. Sekarang aku sudah mendapatkan pekerjaan."
"Apa uang yang mama transfer kurang? Apa transfer dari papa kamu macet?"
Zeal menepuk jidatnya secara mental. Saat ini mamanya benar-benar menyebalkan.
"Ini bukan masalah uang, Ma," Zeal menukas lembut, menghembus poni sekalipun tak ada poni di jidatnya. Zeal benar-benar bingung, entah bagaimana ia bisa membuat mama tersayangnya mengerti dengan situasinya. Selembut dan sehalus apapun mereka berbicara di awal, akhirnya mereka pasti bertengkar dan cakar-cakaran. "Ma, aku suka pekerjaan itu. Bukan uangnya," imbuhnya kemudian.
"Kau kerja apa? Di mana?"
"Di kebun binatang. Jadi pawang harimau," Zeal menjawab cepat. "Sudah dulu ya, Ma!"
"WHAT?!"
Zeal tak sempat menjauhkan ponsel saat suara perusak mamanya menyentak gendang telinga. Beruntung cuma satu kata. Zeal membuang napas pendek sembari terus memantau kedatangan bus yang mulai tampak di horison jalan.
"Bye, Ma."
Zeal menutup panggilan, jengkel, namun sedikit menyesal. Beberapa saat ia menimbang keputusan untuk mengirimi mamanya pesan instan, mengatakan bahwa ia tidak sungguh-sungguh bekerja sebagai pawang harimau. Membuat mamanya cemas hanya akan membulatkan tekad wanita itu untuk datang dan menjemputnya, memaksanya tinggal di Dubai bersama seorang ayah tiri. Tidak. Zeal tidak mau sampai hal itu terjadi.
"Firasat kematian sudah sampai pada mama. Oh, Tuhan! Akhirnya Kau panggil aku ke sisi-Mu," Zeal bermonolog sembari melambaikan tangan ke arah bus yang datang.
Bus berhenti tepat di depannya, Zeal naik dan duduk di satu-satunya tempat yang tersisa.
Ma, aku minta maaf. Tadi itu bercanda. Aku cuma jualan tongkat selfie dan lensa keliling kota. Sambil jadi tukang foto turis-turis udik. I love you ma...
Pesan itu terkirim. Berharap mamanya percaya dan berhenti merecoki hidupnya. Zeal tersenyum geli membaca ulang pesan yang baru ia kirim—merasa sudah memberi alasan yang sangat cerdas. Ia abaikan jari telunjuk dan jari tengah yang selalu bersilang kapanpun ia berbohong. Yah. Kenapa ia harus peduli?
***
Siang hari yang cukup terik dan ramai di kebun binatang, Zeal baru selesai makan siang bersama Mika, Bayang, dan beberapa teman pawangnya. Ponsel Zeal kembali berbunyi saat ia menenggak air minum dari botol. Ia menjawab panggilan tersebut setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
"Halo, Pa!" jawabnya sembari berjalan menuju ke tong sampah terdekat, membuang bekas kotak makanannya.
"Zeal, kemana saja kau? Kenapa lama sekali kau angkat telepon papa?" suara serak khas papanya menguar berat.
"Papa lagi di mana?" Zeal mengalihkan pembicaraan, menganggap pertanyaan papanya retoris belaka.
"Di mobil. Baru pulang dari berburu salmon," terdengar nada heran. "Kenapa, Honey?"
"Nope, kupikir papa di kandang monyet sebelah. Suara papa jelas sekali, seperti ada di dekat sini."
"Zeal ...."
"Ya, Pa?"
"Apa benar kau jadi pawang harimau? Jangan bilang kalau kandang monyet sudah dipindahkan di dekat kandang harimau."
Zeal terkekeh keras, bersandar di sebuah pohon terdekat sembari menggigiti kukunya. Matahari sangat terik, ia butuh tempat untuk berteduh. "Mama bilang apa lagi, Pa?"
"Tentang mimpinya."
"Papa percaya?" Zeal menyahut sambil terkekeh, "Papa kenal mama, kan? Dia selalu suka berlebihan. Kurasa papa lebih pandai membedakan mana lelucon dan mana bukan lelucon daripada siapapun."
Terdengar desahan lega dari seberang benua dan samudera, Zeal berhasil meyakinkan papanya untuk berpihak padanya. Meskipun tegas dalam banyak hal, papanya adalah sosok yang paling mudah ditipu.
"Papa rasa mama kamu perlu dijenguk, Zeal. Bisa jadi mimpi buruk itu manifestasi rasa rindunya padamu. Itu juga yang papa rasakan sekarang. Papa rindu kamu."
Muncul sebuah senyum ironis di wajah Zeal, ia tak mengatakan apapun lagi sampai terdengar salam perpisahan.
Panggilan terputus. Zeal bergerak dari pohon tempatnya berteduh menuju sebuah keran air di dekat taman. Ia berkumur lalu membasuh wajahnya untuk melenyapkan keringat dan debu. Ia basuh wajahnya berulang kali, namun ia tak bisa membasuh rindu yang besar pada kedua orangtuanya.
Sebab air tak lebih kental dari darah. Zeal merindukan mama dan papanya. Satu di Dubai. Satu di Alaska. Saat ini ia benar-benar rindu mereka.
"Hey! Zeal! Kamu dipanggil ke ruangan Mister Rick, setelah itu, Dokter Sam dan Mika menunggu kamu di kandang harimau putih."
Bayang, asisten pemburu legal, Rickard Hudson, datang dengan serangkaian pesan dari para atasan mereka. Berusaha menepis melankolis rindu, Zeal iseng memercikkan air keran ke wajah serius Bayang. Membuat teman sebayanya itu meradang kesal. "Argh! Kau gila atau horny, Miss Alison?!"
Zeal menggigit bibir menahan gelak. "Aku basah. Memangnya kau tidak kepanasan, Bay?"
"Panas. Ini rasanya pengen buka baju. Pengen basah-basahan sama kamu."
"Sini aku buka, kalau mau sekalian aku mandikan di kolam buaya."
"Kau saja mandi di neraka, Miss Alison!"
Bayang bersungut-sungut gusar sembari bergegas meninggalkannya. Sesaat Zeal tertawa terpingkal-pingkal, senang bisa menjahili rekan kerjanya itu. Meskipun tak ada yang tahu, semua itu ia lakukan untuk menghibur diri yang sentimental karena rindu. Seperginya Bayang, perasaannya kembali suram. Ia tak tahu harus melakukan apa selain membawa perasaan suram itu ke ruangan atasannya, Mr. Rickard Hudson.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Ricky Ruland Marthin Rikumahu
keren Thor, smart idea
2020-12-06
0