Pagi-pagi buta terdengar seleret caci maki dan teriakan histeris dari jalan komplek.
"Keparat!"
"Manusia biadab!
"*******!"
"Psiko!"
“What is this shit!!”
Silih berganti mulut-mulut yang belum gosok gigi itu terpekik.
Suara gaduh di jalan komplek terdengar seperti lagu hip-hop rap di telinga sosok lelaki berkulit putih. Ia duduk berselonjor kaki, bersandar kepala ranjang, tekun menyimak keributan yang terjadi di luar sana. Sesekali ia membetulkan letak bantal bulu angsa di balik punggungnya. Sesekali pula tubuh setengah telanjangnya menggeliat resah. Saat ini, lelaki itu hanya mengenakan celana panjang katun bermotif apel hijau. Di tangannya terentang sebuah buku. Beyond Good and Evil milik Friedrich Nietzsche.
ALAN adalah nama lelaki berkulit putih itu. Ia baru saja mengacak rambut gelap yang sewarna dengan iris matanya. Iris gelap itu adalah tanda bahwa ia bukan nordik sejati. Kendati memiliki wajah setenang telaga di hutan taiga, tetapi ia adalah dalang di balik keributan yang terjadi di jalan komplek. Semalam suntuk ia tak bisa tidur. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia mengalami insomnia. Membaca buku filsafat sama sekali tidak membantu.
"My Goodness! Siapapun yang tega melakukan ini pasti tidak waras!" seorang wanita meraung histeris.
Alan tersenyum kecil, belum bergerak dari atas ranjang. Sepasang matanya masih berkutat pada aforisme-aforisme jiwa bebas Nietzsche. Beberapa kali ia sudah menguap, menandakan kantuk yang ia tunggu-tunggu mulai menyapa.
"Anjing ini . . . Ya Tuhan, buruk sekali kematiannya . . . ," suara lain menimpali. “Kita harus lapor polisi!”
"Tapi sebelumnya, kita harus bangunkan semua orang untuk membicarakan masalah ini. Pasti ada yang sengaja membunuhnya saat hujan semalam."
"Maksudmu—kau menuduh tetanggamu heh?" terdengar suara tua nan ringkih, namun sinis dan berbisa.
"Tidak sama sekali, Nyonya Emily yang terhormat," lelaki yang memaki tadi menukas lembut suara bernada sinis tersebut. "Aku bukan menuduh siapapun, aku cuma mau kita sama-sama membersihkan bangkainya. Lantas mencari motif di balik kekejian ini. Just it."
"Oh. Begitu.
"Huh! Ada-ada saja kegilaan!"
"Orang yang melakukan ini jelas tidak sehat. Kita harus waspada! Bisa jadi kegilaannya tak cuma membunuh anjing, tapi juga manusia," suara yang berbeda kembali menyambar. Paranoid level kronis.
Alan yang tengah menyimak percakapan tersebut kali ini terkekeh. Merasa senang dengan hasil acara pestanya tadi malam.
"It's like a terror. Aku yakin ini ulah ...."
"Berandalan teman Zeal. Victor and the squad," suara lain menyambung, menuduh seenak leluhurnya.
"Tapi kenapa dia melakukannya?"
"Ah! Apa mungkin dia tega? Baru kemarin aku melihatnya memberi makan anjing itu."
"Bisa saja dia pura-pura baik pada anjing itu sebelum membunuhnya."
"Astaga … bangun! Bangun! Victor yang kalian tuduh adalah ketua gangster elit. Mafia sekelas Cali Cartel! Aku yakin pembunuh anjing ini bukan Victor ataupun orang-orangnya. Lagi pula, untuk apa mereka membunuh anjing?!" sebuah pembelaan fanatik keluar dari mulut seseorang. Suaranya terdengar muda dan penuh semangat. "Menuduh tanpa bukti itu namanya fitnah, Saudara-saudara."
Kemudian hening, tak ada sahutan.
"Ron, cepat bangunkan semua orang terdekat! Kita harus membicarakan masalah ini."
"Baik, Pa," anak bernama Ron itu menyahut, suara yang sama dengan si pembela seseorang bernama Zeal dan teman mafianya.
Alan menutup dan meletakkan buku filsafatnya di nakas sebelum turun dari ranjang. Ia menyambar sebuah t-shirt abu-abu lengan panjang bertulisan LMAO di lemari, lantas mengenakannya. Setelah itu ia bergegas keluar kamar, menuruni anak tangga, dan melangkah tenang menuju pintu.
Sudah waktunya show!
Alan membuka pintu, merasakan sejuk udara pagi sudah tercemar bau darah bangkai dan pengurai. Setiba di luar ia menahan langkah, berdiri di depan pagar rumahnya sembari memicing ke arah kerumunan orang di tepi jalan. Mereka sedang menghadapi bangkai cincang yang sukses membuat pagi beberapa orang didera mual, muntah, sakit kepala, dan sedikit gangguan mental. Alan bersedekap tenang di tempatnya, menunggu pemuda yang dapat perintah membangunkan orang-orang—tiba di rumah yang menyaksikan perbuatannya semalam.
"Dia pasti anjing dari spesies yang berbeda," Alan membatin sembari melirik ke aspal jalan, lantas mengusap dagu licinnya. "Spesies berbeda dari anjing yang sudah jadi bangkai cincang."
Alan berusaha mengingat sosok yang tak sengaja—tetapi sekilas ia lihat. Sosok yang sudah mengacaukan satu malamnya, yang membangunkan kembali nafsu membunuh manusia setelah sekian lama ia lawan dan redam. Sosok itu sebentar lagi akan keluar dan menampakkan taring-taring kecil. Perempuan setan! Pengintip di balik gorden sialan!
Alan yakin seratus persen si pengintip itu adalah seorang perempuan. Sekilas ia melihat rambut panjang yang tergerai saat gorden ditutup. Bagi Alan, perempuan pengintip itu tak lebih dari kutu anjing yang sebentar lagi akan ia tindas. Bagaimana pun caranya, perempuan itu harus mati.
"Berani keluar menemui malaikat maut? Come on, Bit*! Don’t let me wait*!" Alan mendesis lirih\, memberi sugesti pada alam semesta untuk menarik targetnya keluar dari kandang.
Alan mungkin akan memberikan dispensasi bila perempuan itu tidak mengatakan apa yang dia lihat semalam. Mungkin ia akan mengampuni hidup perempuan itu setelah menyita lidah dan sepuluh jari tangannya untuk jadi umpan anjing jalanan lain yang akan ia lenyapkan selanjutnya.
“Here we go....”
Pemuda bernama Ron itu akhirnya sampai di depan rumah yang ia tunggu. Memencet bel dan berteriak memanggili nama pemilik rumah itu.
"Kak Zeal! Kak Zeal! Bangun kak Zeal!"
Alan kini tahu nama targetnya. ZEAL.
"Kerja bagus, Anak Papa!" Alan bergumam puas dari posisinya.
Beberapa saat kemudian, pintu rumah itu terbuka. Ada tremor yang tiba-tiba bergemuruh di dalam diri Alan. Perempuan yang ia tunggu akhirnya keluar dengan kimono tidur hitam menjuntai, rambutnya digulung asal, dan wajahnya tampak sembab menahan kantuk berat.
Perempuan itu menguap saat berjalan maju ke badan jalan, menghadapi bangkai anjing yang berserakan. Dari posisinya, Alan ikut bergerak menuju badan jalan. Seperti harimau mengincar buruan, sepasang matanya tak lepas mengawasi gerak-gerik si perempuan. Masa bodoh dengan bangkai!
"Selamat pagi, Saudara-saudariku sekalian!" seorang lelaki paruh baya membuka forum setelah perempuan bernama Zeal itu bergabung dalam kerumunan. "Pagi ini terjadi sebuah fenomena ganjil di lingkungan kita. Anjing ini dibunuh dengan keji dan bangkainya diserakkan di depan jalan kita. Apa ada yang ingin kalian sampaikan terkait peristiwa ini?"
Diam-diam Alan menghujam tatapan tajam ke arah si perempuan di seberang jalan. Zeal bukan nama yang ia suka.
"Saya!" seru seorang wanita tionghoa yang sudah beberapa kali muntah melihat bangkai tersebut.
"Silahkan, Nyonya Chan."
"Forum ini digelar dalam suasana yang sangat menjijikkan! Apa tidak bisa kita langsung membersihkannya saja? Aku tidak tahan, sungguh tidak ta ... huekkk!!!"
Nyonya Chan kemudian mengalami mual seperti ibu-ibu hamil muda, buru-buru ia berlari masuk ke rumahnya untuk menuntaskan hajat. Seperginya wanita malang itu, beberapa lelaki paruh baya tampak berbisik-bisik memasang taruhan di antara mereka. Taruhannya adalah: apakah Nyonya Chan sanggup keluar lagi atau tidak? Di Singapura, berjudi adalah makanan sehari-hari.
"Ay!" seorang lelaki kurus gemulai mengangkat tangan, mencuri perhatian semua orang. "Ay bukan mau menuduh. Tapi Ay tahu, beberapa dari kita benci anjing itu karena sering mengaisi tong sampah dan menggonggong sepanjang malam. Tapi membunuh anjing dengan cara macam ini benar-benar amoral."
Hello\, Motherfu****!
Perempuan sialan itu akhirnya menangkap tatapan tajam yang diam-diam Alan hujam. Zeal membalas tatapan dinginnya dengan memutar bola mata, sebuah ejekan ter-frontal dan sangat kurang ajar. Sikap perempuan itu membuat darahnya menggelegak. Alan kini menduga-duga bahwa perempuan itu sedang menunggu waktu yang tepat untuk membongkar semuanya.
"Huh, kau menuduh tetanggamu lagi?" suara Emily, si nenek sinis kembali menginterupsi.
"Aku memang tidak suka dengan anjing itu, tapi bukan berarti aku tega membunuhnya. Aku juga punya anjing peliharaan di rumah. Hati-hati dengan ucapanmu, Sobat!"
"Santai saja lah! Memangnya ay menyebut nama yu?"
"Jelas kau menuduh salah seorang tetanggamu!" seruan keras terdengar lagi.
"Apa kita harus melakukan otopsi atau semacam tes forensik pada bangkai ini? Yaaa, untuk menemukan tersangkanya."
"Oh, maaf. Ay tarik kata-kata ay. Terserah! Ay tidak mau tahu lagi! Bye!"
"Nyonya Chan benar, untuk apa kita mendebatkan pelaku tak bermoral itu? Lebih baik kita membersihkannya bersama-sama—sebelum anak kecil melihat."
“Bagaimana kalau kita lapor polisi saja? Agar semuanya jelas.”
“Kalau kau mau, lapor saja! Tetapi polisi juga akan menyalahkan kita semua, karena tak seorang pun dari kita pernah melaporkan keberadaan anjing itu pada organisasi perlindungan hewan atau organisasi penampungan satwa terlantar.”
"Aku yakin, ini ulah orang gila yang masuk ke komplek kita."
"Kalau begitu kita harus menambah pengamanan di gerbang komplek."
"Aku tahu siapa yang melakukan semua ini."
Satu suara berhasil menghentikan perdebatan orang-orang sekomplek. Meledakkan debar yang tak karuan di jantung Alan. ZEAL. Perempuan itu berjongkok di tepi jalan, menatap hampa bangkai cincang yang berserakan di depan matanya, tak sedikitpun gadis itu membalas segenap pandangan tercengang tetangganya.
"Siapa?"
"Are you serious, Sis?" ekspresi Ron tampak menegang.
"Siapa Zeal?"
"Katakan, Zeal! Siapa?" semua orang mendesaknya.
"Kenapa tidak bilang dari tadi, Zeal? Ah, kau ini kebiasaan!"
"Hee, sudahlah! Let her talk!"
"Yang melakukan semua ini memang orang gila. Dia gila karena anaknya mati terbunuh," perempuan itu melirik Alan, lantas memutar bola matanya lagi, "yang aku tahu, anak perempuannya tewas digigit anjing Pitbull peliharaannya!"
Semua perhatian kini terfokus pada perempuan itu. Termasuk Alan yang kini bersedekap tenang dan mengulas senyum simpul setengah geram. Ia berharap bisa membunuh perempuan itu dengan matanya. Andai tatapan bisa membunuh.
Perempuan itu menoleh ke arah pemuda bernama Ron. Ekspresinya sangat meyakinkan. "Ron, kau ingat tidak lelaki gila yang suka mengejar-ngejar anjing waktu kita di sekolah dulu?"
Ron terdiam sebentar untuk mengingat. Kini haluan mata semua orang beralih ke arah pemuda itu. "Ya ampun, aku ingat, Kak. Astaga! Jadi dia masih hidup? Masih berkeliaran? Oh. Kenapa aku tidak kepikiran dia pelakunya ya?" Ron meremas kepala, tenggelam dalam arsip memori.
"Zeal, apa benar kau melihat orang itu yang membunuh anjing ini?" tanya lelaki yang menjadi moderator dalam forum pembahasan bangkai.
Zeal mengangguk yakin, "Ya, Paman Stan. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri."
Semua orang tampak menerima kesaksian Zeal, si penipu yang layak mendapat piala oscar. Perempuan itu sudah mengambil risiko besar dengan menutupi identitas pembunuh yang sama sekali tak terkesan oleh pembelaannya. Malah sebaliknya, Alan jadi semakin bernafsu untuk balas dendam. Terlebih cara gadis itu memutar bola mata sungguh tak bisa diampuni.
Sorot mata Alan mengikuti gerakan punggung si perempuan saat semua orang kembali ke rumah masing-masing. Tak sengaja ia melihat jemari telunjuk dan tengah tangan kiri perempuan itu bersilang. Seperti boneka Chucky yang sedang berbohong.
"Perempuan setan!" Alan mengutuk keras sembari berlalu.
Dengan sombong, Zeal menutup pintu dengan bantingan yang cukup keras. Berhasil melonjakkan amarah di jiwa Alan ke titik tertinggi. Tanpa menunggu seseorang menyadari eksistensinya, Alan kembali masuk ke rumah dengan mulus. Ia sama sekali tak melibatkan diri dalam gotong royong pembersihan bangkai.
Setiba di kamar, ia melangkah lurus ke jendela. Sekali lagi terkejut mendapati tetangga jalangnya sudah lebih dulu berdiri di depan jendela, memandanginya dari jauh. Dari jendela ke jendela, kurang lebih berjarak beberapa puluh meter. Dua pasang mata kembali berpandang geram. Sementara di bawah sana, orang-orang menahan jijik demi membersihkan jalan dari bangkai
"Santai, Puppy Zeal. Perjalananmu ke alam baka akan segera kujadwalkan!"
Alan tersenyum miring dengan satu alis mencuat ke atas, baru saja mendeklarasikan aksi pembalasan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments