"Mas, ada yang mau saya bicarakan, dan ini sifatnya pribadi." Fathan berkata begitu setelah di lihatnya, Adlan meletakkan Tab-nya di atas meja. Sudah hampir satu jam benda itu menjadi perhatiannya.
Bukan sedang berselancar di dunia maya ataupun hal lain, tapi mempersiapkan materi rapat untuk nanti sore di An-Nur, katanya.
"Apa?" Ibrahim Adlan merubah posisi duduknya lebih santai.
"Ini tentang apa yang ummi bicarakan dengan Mas Adlan seminggu yang lalu, saya...."
Fathan memutus ucapannya begitu saja, karna istrinya yang hadir di ruangan itu membawa nampan berisi minuman di ikuti Aisha yang membawa sepiring kue hangat.
"Wahh
ini kombinasi yang pas!" Fathan menatap kue kesukaannya itu yang sudah terhidang di atas meja.
Mahil tersenyum lalu duduk di samping suaminya.
Sementara Aisha masih tetap berdiri saja
" duduk Aisha!" Adlan menatapnya, gadis cantik itu tersenyum kikuk, lalu duduk tak jauh di dekat Ibrahim Adlan.
Jika Fathan langsung menyeruput minumannya dan menyantap kuenya dengan semangat, Adlan hanya menatap saja belum berminat untuk melakukan hal yang sama seperti adiknya itu.
" Kenapa tidak di minum ,Mas?" tanya Aisha yang sedari tadi, diam-diam memperhatikannya.
"Aku ingin minum air putih dulu."
"Saya ambilkan ya,Mas?" Aisha langsung menawarkan diri untuk mengambilkan. Namun, Adlan menggeleng cepat.
"Jangan! aku akan mengambilnya sendiri!."
Gadis cantik itu menunduk kecewa, namun ujung matanya melirik Ibrahim Adlan yang membuat gerakan kecil merenggangkan ototnya, 4 jam melakukan rapat di kantor Al-Bustan di tambah satu jam membuat materi rapat di tempat yang lain membuat ototnya terasa kaku.
Adlan sebenarnya ingin tiduran saja, namun sebentar lagi harus pulang ke Al-Falah mengantar umminya,sebelum nanti sore berangkat lagi ke An-Nur.
Ning Mahil mengusap remahan kue di sudut bibir Fathan dengan jemarinya. Sang suami segera tersenyum senang dengan perhatian kecil istrinya itu dan menjawil pipinya gemas.
Mahil tersenyum dan menunduk malu karna adegan kemesraan berdurasi sangat singkat itu tak luput dari tatapan Ibrahim Adlan yang duduk di depan keduanya.
"Sebaiknya aku ke kamar saja." Ujar Adlan.
"Kenapa mas?" Fathan menatapnya.
"Duduk di depan pengantin baru seperti kalian, bukanlah pilihan yang tepat." ujarnya.
Fathan segera tersenyum lebar. "kami ini sengaja memberi semangat, biar Mas segera menyusul," ujarnya santai.
Adlan tak menanggapi, ia benar-benar beringsut hendak pergi,namun urung karna Nyai Mabruroh dan Nyai masturoh yang menghampiri mereka.
"sedang santai kalian?" sepasang kakak beradik yang sama-sama masih terlihat cantik di usia yang sudah tak lagi muda itu segera duduk bergabung disana.
Pembicaraan pun mengalir dengan santai tentang beberapa hal,hingga Adlan berkata, "Ummi sebentar lagi kita pulang, nanti sore saya mau ke An-Nur, ada rapat.
"Apa tak sebaiknya kau istirahat saja di sini nak, nanti sore langsung ke An-Nur, biar ummi minta jemput sopir nanti." Nyai Mabruroh menawarkan solusi lain.
"Apa ummi masih ingin lama disini?"
"Tidak juga, hanya agar kau tidak terlalu capek. Sejak datang dari Ummul-Quroo kau sangat sibuk sekali sampai jarang istirahat." Bu Nyai cantik itu menatap lembut putranya.
"Saya gak apa-apa Ummi, ini adalah kegiatan yang menyenangkan bagi saya."
"Tapi kau kan perlu memikirkan dirimu sendiri juga Adlan, perlu menata masa depanmu sendiri." Nyai Masturoh menimpali.
"Ini juga bagian dari menata masa depan, Bibi." Adlan berkata dengan senyum.
"Maksud bibi itu, menikah!" Nyai Masturoh memperjelas ucapan " jadi bagaimana, apa kau sudah bisa memberi jawabannya sekarang?" Akhirnya, sang bibi pun langsung pada inti pembicaraan setelah gemas melihat ketenangan keponakannya itu.
Sudah tiga kali, Ibrahim Adlan datang ke Al-Bustan setelah kedatangan pertamanya sepuluh hari yang lalu, tapi ia tak memberi jawaban apa-apa pada bibinya yang memang sudah menunggu.
Pemuda tampan itu selalu sibuk di kantor Al-bustan
hanya mampir sebentar menemui bibinya sebelum pulang. Kebetulan hari ini, Adlan datang bersama umminya yang meminta ikut. Nyai Masturoh bertekad untuk menanyakan saja langsung dan tentunya atas persetujuan Nyai Mabruroh juga.
"Sa-saya" Aisha yang tampak gelisah setelah ucapan umminya itu mulai berpikir keras untuk menghindar
"Mas Adlan. saya ambilkan air putih ya," ujarnya. Dan tanpa menunggu persetujuan Ibrahim Adlan, gadis cantik itu segera ke dalam.
Nyai Masturoh menatap secangkir kopi di hadapan Adlan yang belum tersentuh sama sekali. "Jangan air putih nak! bikinkan teh saja, Mas Adlan tidak suka minum kopi." ujarnya pada Aisha yang mengangguk dan segera berlalu pergi.
"Wahh, Aisha perhatian ya, Nak sama kamu," ujar Nyai Mabruroh pada putranya itu yang hanya menanggapi dengan senyum kecil.
Sebuah umpan sudah dilemparkan.
Dan umpan yang di lempar adiknya itu, langsung di sambut oleh Nyai Masturoh.
"Terus terang Nak, bibi ingin sekali kau bersedia mengambil tanggung jawab pada Aisha sebagai pendamping hidupmu." Nyai Masturoh menatap keponakannya lembut. Langsung pada poin-nya.
"Sekarang Aisha merupakan beban tanggung jawab yang sangat besar padaku. Sejak Almh mbak Shaliha meninggalkan dia padaku ketika masih bayi, sejak saat itu aku berjanji akan memenuhi semua hak-haknya dengan memberikan yang terbaik."
"Dan saat ini aku dan pamanmu berpendapat bahwa kau-lah yang terbaik untuk Aisha, Adlan. Alangkah bahagianya jika kau bersedia meringankan beban tanggung jawab ini, Nak." Nyai Masturoh menatap lembut, berharap keponakannya itu akan bersedia mengabulkan keinginannya.
Ibrahim Adlan menghela napas, ia merasa tak mampu berkata-kata, terlebih setelah melihat raut wajah bibinya.
"Bagaimana Adlan?"
"Bibi, saya..." Adlan hanya menggantungkan kalimatnya.
Fathan menatap kakak sepupunya itu, dan ia merasa ada sesuatu yang rumit, yang sedang di pikirkan olehnya.
"Kau pasti sudah dapat menjawabnya kan, Adlan?, kau pasti sudah memikirkan hal ini." Nyai masturoh betul-betul menginginkan jawabannya saat ini.
"Adlan," Nyai Mabruroh angkat bicara.
"Bicaralah, Nak. beritaukan pada bibimu apa yang menjadi keputusanmu!" Nyai Mabruroh tau, kalau putranya itu pasti sudah punya keputusan, hanya merasa sungkan saja untuk menyampaikan.
Adlan beralih menatap ibunya. " ummi merestui saya, untuk menyampaikan keputusan saya?"
"Iya." Umminya mengangguk dengan senyum meyakinkan.
"Apapun keputusan saya ummi?" tanya Adlan lebih lanjut.
Nyai Mabruroh kembali mengangguk, meski perasaannya menangkap ada hal lain dari pertanyaan putranya itu.
"Iya. sampaikanlah, biar kami semua tau," ujar Nyai Mabruroh. Bagaimanapun terlalu lama membuat orang lain menunggu, itu tidak baik. batinnya.
Ibrahim Adlan beralih menatap bibinya. "Baiklah bibi, saya bersedia mengambil tanggung jawab pada salah satu putri, Bibi, " ucapnya yang membuat semua orang tersenyum senang, terlebih Nyai Masturoh.
Tidak dengan Fathan. Apalagi dengan jelas ia mendengar ucapan Adlan yang mengatakan salah satu putri bibi. Ada maksud tersembunyi dalam ucapan itu, seperti istilah dalam ilmu Nahwu, ada dlomir mustatir.
"Saya Akan mengambil tanggung jawa pada putri bibi, tapi bukan Aisha." Ibrahim Adlan dengan cepat memperjelas maksud ucapannya sebelum terjadi salah penafsiran.
Fathan tersenyum mendapati bahwa dugaannya benar.
"Lalu siapa Nak?" Nyai Masturoh bertanya heran. Kalau bukan Aisha, lalu siapa?
Hanya Aisha putrinya kini yang belum berkeluarga, sedangkan Annisa bahkan sudah punya anak. Demikian pikirnya.
"Najwa Aulia!" sahut Ibrahim Adlan.
"Apa!!??"
Kini tak hanya Nyai Masturoh saja yang kaget.Tapi semuanya, termasuk Fathan Abdillah.
"A..apa maksudmu, Nak?" bahkan Nyai Mabruroh langsung menatap putranya itu tak terima.
"Bukankah Najwa juga putri Bibi? dan setelah Mas Irfan meninggal, Bibi juga mempunyai tanggung jawab yang tidak kecil terhadapnya kan?"
Sang ummi menatap tercekat dengan jawaban putranya.
Dan tanpa memperdulikan keterkejutan semua yang mendengarkan ucapannya, Ibrahim Adlan segera menatap bibinya yang tampak tegang itu. "Kalau Bibi tak keberatan, saya ingin menggantikan Mas Irfan, mengambil tanggung jawab pada Najwa Aulia, dan menjadikannya pendamping hidup saya selamanya."
Dia berkata dengan mantap dan tegas.
Nyai Masturoh terdiam,terpaku, tak tau harus berkata apa.Ternyata Bukan hanya harapannya yang tak terlaksana, keponakannya bahkan meminta sesuatu yang sangat jauh di luar dugaannya.
Tiba-tiba
Brakk
Keheningan itu di pecahkan oleh suara benda yang jatuh ke lantai dengan keras. Semua menoleh ke arah sumber suara. Di tengah pintu, tampak Aisha berdiri dengan wajah pucat, nampan berisi teh hangat yang di bawanya jatuh ke lantai, sebagian isinya membasahi baju gadis cantik tersebut.
"Aisha!!" semua berseru kaget. Namun gadis cantik itu segera berbalik dan berlari pergi dengan menahan isak. Nyai Masturoh segera bergegas mengejar.
****
"Apa maksudmu tadi berkata seperti itu nak?."
Nya Mabruroh menatap sang putra yang duduk mengemudi di sampingnya. Mereka kini dalam perjalanan pulang ke Al-Falah.
"Itu yang menjadi pilihan saya, Umi."
"Bibimu pasti sangat kecewa, apalagi Aisha, dia nampak terpukul sekali."
"Saya tau."
"Apa kau bersungguh-sungguh dengan ucapanmu tadi, apa ini hanya caramu agar tidak di jodohkan
dengan Aisha?".
"Tidak Ummi. Saya bersungguh-sungguh memilih Najwa!"
"Kenapa? apa alasannya, dan kenapa harus Najwa?"
Nyai Mabruroh masih benar-benar tak mengerti dengan keputusan putranya itu.
"Karna saya yaqin, dia adalah takdir saya."
Nyai Mabruroh menatap putranya heran. Semudah ini ia memutuskan sebuah Takdir. Batinnya.Tak terima.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
NA_SaRi
huhuuui auto nangis sesegukan itu aisha
2022-06-02
0
Rahma Inayah
gk dpt gadis nya janda pun tak ap .saya suka karakter adlan tegas demi utk hdp masa dpnnya dia berani menetang kel nya
2022-05-26
0
Krisna New
janda makin di depan..
2021-10-20
0