Bab 5 PENGAKUAN
“Halo” sapaku.
“Kamu baik-baik saja Gading?” suara merdu seorang gadis membangunkanku di pagi hari. Aku tidak ingat kapan aku mulai tidur.
“Baik kok.. jangan khawatir”
“Sudah makan? Aku membuatkanmu makanan untuk Galih juga”
“Tidak usah repot-repot begitu”
“Tidak papa, sebentar lagi aku kesitu” Ratih menutup telfonnya.
Jam dinding menunjukkan pukul 7.37 pagi, aku bangkit dari tidurku. Sepertinya banyak orang yang sedang mengkhawatirkanku. Banyak sekali pesan dan panggilan masuk yang kuabaikan. Aku tidak tahu jam berapa aku mulai bisa tidur. Tetapi aku masih ingat apa yang terjadi semalam. Dan aku mulai kesal saat beberapa pertanyaan masih saja menggantung di kepalaku tanpa kejelasan.
Aku membuka jendela di samping tempat tidurku dan menghirup udara segar, berharap hari kemarin akan berlalu begitu saja. Kubuka pintu kamarku dan beranjak turun menuju dapur untuk minum air.
Sampai di lantai bawah, aku melihat Galih sudah ada di meja makan sambil menatap segelas air putih yang dipegangnya. Aku masih belum ingin berbicara dengannya, jadi aku hanya mengabaikannya.
“Maafkan aku” Galih memulai pembicaraan, dan aku hanya diam. “Aku akan memberitahumu jika sudah saatnya nanti” secara tidak langsung dia mengakui kalau semua ini berasal darinya. Aku duduk tepat di hadapannya dan masih tidak ingin berkata apa-apa.
“Jika Kak Gading keberatan, aku bisa cari kos-kosan lain”
“Dan kamu akan membawa masalah untuk tempat kos lain juga?” sahutku dengan sedikit marah. Ganti dia yang diam.
“Aku tau ini pasti berat untukmu sampai kau belum bisa bercerita, bahkan tentang keluargamu saja kamu belum bercerita padaku dan memilih menghindar” aku menatap wajahnya yang tertunduk. “Aku tidak mengasihanimu, atau berusaha menjadi pahlawan untukmu. Tapi setidaknya beri aku kejelasan biar sakit kepalaku ini sedikit mereda” lanjutku. Aku tidak benar-benar sakit kepala, hanya saja aku merasa lelah dan ingin semua ini bisa jelas apakah gerangan yang terjadi. Aku hanya tidak mau beberapa pertanyaan datang menghantuiku.
Dengan bersabar aku menunggu jawaban darinya, tetapi hanya dentang jam dinding yang memenuhi telingaku. Aku berdiri tiba-tiba sehingga membuat kursi yang kupakai sedikit terjengkal ke belakang. Aku sudah lelah menunggu jawaban yang tidak tahu akan diucapkannya atau tidak. Saat aku mulai beranjak, Galih menghentikanku.
“Tunggu Kak..” aku mulai serius melihat ke wajahnya dengan penuh harap. “Aku akan menceritakan semuanya. Tapi…” belum selesai dia berbicara, bel pintu depan berbunyi.
“Itu pasti Ratih, kita lanjutkan nanti” Galih mengangguk.
Aku berjalan menuju pintu depan dan membukakan pintu untuknya. Sudah kuduga itu adalah Ratih, bersama Ibunya yang menenteng tas bekal nasi di belakangnya. Rasanya aku sudah lama sekali tidak melihat pemandangan seperti ini. Seingatku terakhir kali terjadi beberapa bulan lalu saat aku baru pulang dari Rumah Sakit karena Demam Berdarah.
“Silahkan masuk” kataku ramah. Aku melihat wajah Ibunya Ratih terlihat sewot atau apalah, membuatku ingin sekali menjahilinya. Beliau suka sekali marah padaku tanpa alasan yang jelas. Itu terlihat lucu dan membuatku suka sekali menjahilinya. Samapi pernah pada suatu waktu karena marah, beliau membawakan makanan yang banyak untukku dan memaksaku untuk menghabiskannya segera. Itu adalah hal yang paling suram dalam hidupku, karena setelah itu perutku sakit beberapa hari.
Kita berempat duduk di meja makan. Banyak sekali makanan yang mereka bawa dan tidak diragukan lagi rasanya. Aku paling suka masakan Ibunya Ratih, rasanya enak melebihi masakan Ibuku sendiri. Tidak heran kalau warungnya tidak pernah sepi.
“Waahh.. banyak sekali makanannya, kayaknya enak nih” ledekku.
“Kebetulan ini tadi masak banyak” sahut Ibu Ratih.
“Saya kira anda menyiapkan semua ini untukku”
“Tidak” jawabnya singkat dengan nada sewot. “Aku membuat ini untuk Galih” tambahnya sambil tersenyum pada Galih. Iyain ajalah, pikirku.
Berbagai makanan yang tadi penuh tersaji di meja makan kini perlahan mulai habis. Kita menikmati masakan yang dibuat oleh Ratih dan Ibunya dengan lahap.
“Apa kalian tidak ada yang meneror lewat pesan handphone gitu?” Tanya Ibu Ratih padaku dan Galih. Sudah kuduga beliau sebenarnya khawatir.
“Kalau saya sih nggak ada” jawabku sambil menatap Galih.
“Saya juga nggak ada” sahut Galih.
“Kok aneh ya..” kata Bu Nia, Ibu Ratih. “Ya udah, kita pulang dulu. Kalau ada yang bisa kita bantu, hubungi aja Ratih” lanjutnya sambil berdiri membersihkan tempat makan.
“Tempat makannya biar di sini saja, biar saya cuci dulu” kataku.
“Ndak papa, lagian aku gak yakin kalau kamu bisa nyuci bersih” sahut Bu Nia.
“Aku ingin punya istri seperti Ibuk” ledekku.
“Bahkan anakku pun tidak kuijinkan menikah denganmu” sahutnya.
Aku menatap Ratih sambil tertawa geli. Rasanya seru sekali bisa meledek Ibunya. Dan Ratih terlihat seperti menggertakku yang cengengesan dari tadi.
“Buk, kayaknya aku di sini dulu deh” kata Ratih pada Ibunya.
“Ndak boleh.. kamu harus bantuin ibuk jaga warung”
“Sebentar aja buk” rayu Ratih. Aku dan Galih hanya memandang mereka berdua bergantian. Bu Nia menarik tangan Ratih dan membawanya pulang dengan paksa. Ratih melambaikan tangan pada kita dengan wajah kecewa.
Kembali ke topic pembicaraan kita tadi, dengan dua laki-laki yang sedang dilanda masalah ini. Awalnya kita berdua diam, aku melihat Galih sedang mengambil napas dalam, sebenarnya seberapa sulitnya keadaan ini hingga membuatnya begitu tampak lelah sebelum melanjutkan pembicaraannya tadi.
“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku.
Galih menarik napas panjang lagi, dan mulai bercerita. “Sebenarnya, sejak SMA dulu aku sudah beberapa kali diteror dan hampir mati”
“Mati?” tanyaku dengan nada kaget.
“Iya, aku pernah diculik dan dipukuli di dalam gudang kosong sampai hansip yang sedang berpatroli menemukanku dan menyelamatkanku”
“Bagaimana itu bisa terjadi? Kamu tidak mengenal orang-orang itu?”
“Aku tidak tau apa yang terjadi dan tidak menegeal mereka” jawabnya meyakinkan. “Sudah beberapa tahun terakhir ini mereka tidak datang. Dan pada saat aku kesini dini hari itu dengan wajah lebam, mereka lagi yang melakukannya padaku, aku mengenali salah satu dari mereka” jelasnya.
“Bagaimana dengan orang tuamu? Kenapa tidak lapor polisi?”
“Aku tidak punya orang tua. Seingatku pada waktu SMP orang tuaku sering mempekerjakannku dan sering menghajarku. Makanya aku memutuskan untuk keluar dari rumah setelah lulus SMP” dia mengambil napas dalam lagi. “Waktu SMA aku diasuh oleh keponakan orang tuaku yang tinggal di sebelah kota ini.
Tetapi tidak lama, karena suaminya tidak setuju dengan keberadaanku, aku pindah ke asrama sekolah” Galih menatapku, matanya seperti memastikan apakah aku mendengarkannya dengan baik atau tidak.
“Lanjutkan” kataku.
“Ingatanku saat ini masih sebatas waktu aku SMP, sebelum masa itu aku tidak mengingatnya sama sekali. Terkadang aku berpikir kalau orang tuaku bukanlah orang tuaku yang sesungguhnya. Tapi aku benar-benar tidak mengingatnya”
“Kamu tidak pernah bertemu dengan mereka setelah itu?” tanyaku.
“Pernah sekali aku melihatnya, tetapi mereka tidak melihatku. Dan dengan cepat aku kabur dari mereka”
“Lalu dengan orang yang menghajarmu, apa mereka hanya menghajarmu dan tidak mencuri sesuatu darimu?”
“Hanya menghajarku”
“Apa kau ingat kata-kata apa yang pernah mereka katakana?” pertanyaanku membuat Galih berpikir sebentar.
“Aku tidak begitu ingat, tetapi salah satu dari mereka pernah berkata kalau aku tidah salah dengar ‘Bos besar akan memberi kita banyak uang kalau anak ini mati’” katanya membuatku merinding.
Tidak pernah terlintas di benakku kalau ini akan menjadi masalah hidup dan mati. Pikiranku yang mengira sedang ada masalah percintaan sudah salah kaprah. Dan sekarang apa yang bisa kulakukan untuknya. Aku rasa mengatakan sesuatu seperti sabar, semangat, pasti semua akan berlalu atau yang lainnya tidak akan mengubah nasibnya.
“Apa mungkin itu suruhan dari orang tuamu?” aku mulai mengira-ngira.
“Entahlah, tapi yang kutahu orang tuaku bukan orang kaya yang bisa memberikan banyak uang” jelasnya.
“Apa kau pernah mencuri sesuatu atau bertindak kejahatan sebelunya?”
“Tentu saja tidak. Aku memang hidup di lingkungan yang keras, tetapi aku tidak pernah memikirkan untuk melakukan kejahatan seperti itu” tegasnya. Sepertinya dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakana.
“Tapi kenapa kau memukulku waktu OSPEK kemarin?” tanyaku membantah.
“Maafkan aku, waktu itu banyak sekali yang menerorku. Aku mulai takut dan tidak tahu apa yang harus kulakukan”. Aku hanya memandangnya.
“Oh ya, kalau kamu tinggal di asrama waktu SMA, lalu sebelum kesini kamu tinggal dimana?” tanyaku penasaran.
”Aku tinggal di mess tempatku kerja sekarang”
“Dan malam itu kamu diserang lalu melarikan diri mencari tempat tinggal baru?”
“Iya” jawabnya singkat.
“Rumit sekali” kataku sambil mengangkat kedua tanganku dan beranjak berdiri. “Kamu masih bisa tinggal di sini, kita akan menanganinya bersama” kataku sambil berlalu.
Aku tidak tahu kenapa aku sangat ingin menolongnya. Tetapi aku sangat tahu kalau hidup sendiri itu tidak enak, apalagi dia masih lebih muda dariku, aku tidak bisa membiarkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
ARSY ALFAZZA
like + rate bintang ⭐⭐⭐⭐⭐👍🏻 saling mendukung ya Thor 👌
2021-01-10
0