Bab 4 MISTERI
Hari ini jadwalku adalah menyelesaikan laporan pertanggungjawaban di kampus. Jadi aku bergegas menuju kampus dan meninggalkan Galih sendirian di rumah. Dia bilang kalau hari ini dia masuk kerja sore hari dan akan menghabiskan paginya dengan bersantai di rumah.
Dengan penuh konsentrasi, laporanku hampir saja selesai. Hari ini bisa ku kumpulkan ke Andi dan dirapatkan bersama dengan anggota BEM lainnya. Ini sudah hari kamis, mulai senin depan kegiatan perkuliahan sudah dimulai. Aku berharap laporan ini segera berlalu dan setidaknya masih ada sedikit waktu untuk istirahat sebentar sebelum kegiatan perkuliahan.
***
Di sore hari yang dingin, suasana kampus cukup lengang dan sesuatu tiba-tiba datang mengagetkanku dari belakang
“Hei..” aku terjingkat “Wkwkwk.. kaget ya?” aku melihat wajah kegembiraan pada Ratih yang sengaja menjahiliku.
“Baru latihan paduan suara?” tanyaku.
“Nggak kok, aku baru bertemu temanku”
Aku hanya mengangguk. Rasanya aku ingin sekali segera pulang dan membaringkan tubuhku. Pasti rasanya sangat nyaman sekali. Hanya membayangkannya saja aku bisa senyum-senyum sendiri.
“Laporanmu sudah selesai?” tanya Ratih padaku.
“Sudah, aku bisa tidur nyenyak hari ini”
“Syukurlah” ujarnya. “Oh ya, Gading”
“Ada apa?” aku meliat Ratih sepertinya sedikit cangung pada saat ini.
Dia tidak langsung menjawab, dan aku melihat keraguan pada raut wajahnya. Tidak biasanya dia seperti itu, lebih sering dia tidak pernah berfikir saat berbicara denganku, atau lebih sering sesuatu yang menyakitkan spontan keluar dari kata-katanya. Tapi kali ini beda. Dari balik rambutnya yang terurai dan sedikit berkibar tertiup angin, aku melihat wajahnya yang sedikit malu-malu. Oh.. tunggu sebentar, rambut terurai??
“Sepertinya kamu lebih sering mengurai rambutmu akhir-akhir ini?” tanyaku padanya.
“Apa kau sedang mengejekku?”
“Bagus kok, coba dari dulu kayak gitu” jawabku.
Ratih hanya menunduk sambil malu-malu. Ada apa dengannya saat ini? Rasanya aku jarang sekali mendengar dia memakiku, atau menjitak kepalaku, atau mencubit lenganku, dan lain-lain. Tetapi, apa dia sakit? Bisa jadi dia sakit.
“Apa kamu lagi sakit?” aku berhenti dan meletakkan telapak tanganku di dahinya. Dan anehnya dia hanya diam dan tidak memberontak, aku kira dia akan melempariku dengan sepatu mungkin. “Nggak panas kok” aku menurunkan tanganku. “Kamu kenapa sih?” tanyaku penasaran.
“Aku nggak papa.. udah jalan aja, lihat kedepan” katanya. Aku masih memperhatikannya. “Lihat depan” bentaknya sambil memutar wajahku ke depan dengan kedua tangannya. Seaneh apapun yang dia lakukan hari ini, berbaring di tempat tidur adalah tujuan utamaku sekarang.
Beberapa menit jalan kaki dan sampai di rumah, aku kira keinginanku akan segera terwujud. Saat ini ketakutan telah mengalahkan segalanya. Semua orang menatapku dengan iba, ada apa gerangan ini? Garis polisi terbentang tepat di depan rumahku membuat dadaku semakin sesak.
Ada seorang polisi yang berdiri di depan membendung kerumunan warga supaya tidak masuk ke rumahku. Saat aku melihat ke dalam rumah, sesuatu membuatku tercengang. Kaca jendela pecah? Seketika aku menerobos masuk. Seorang polisi yang berdiri di depan pintu menghentikanku.
“Maaf, anda tidak boleh masuk”
“Tapi saya yang punya rumah Pak” berusaha masuk tetapi ditahan. Yang aku pikirkan adalah apakah Galih baik-baik saja? Itu saja.
“Oh begitu… ada beberapa pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu.. apa…”
“Sebentar pak, apa ada orang lain di dalam?” aku memotong kata Pak Polisi yang berperawakan tinggi dan sedikit garang itu,
“Tidak ada.. mari kita bicara di dalam”
Saat di dalam, terlihat semua perabotan rumahku baik-baik saja dan tidak ada yang rusak. Sepertinya hanya jendela saja yang rusak. Lalu bagaimana dengan Galih kalau dia sekarang tidak ada di rumah. Apa dia diculik?
“Tolong sebutkan nama anda siapa?” pertanyaannya membuatku terbangun dari berbagai kemalut di kepalaku.
“Gading” jawabku singkat.
“Dimana orang tuamu? Atau orang lain yang tinggal di sini bersamamu?”
“Orang tuaku sudah meninggal, aku tinggal bersama seseorang yang kos disini. Seharusnya di kerja sekarang. Siapa yang menghubungi bapak tadi? Dan bagaimana ini bisa terjadi?”
“Tetangga anda, kejadiannya masih sekitar 30 menit lalu waktu seorang Ibu-Ibu menelfon kantor dan mengatakan kalau telah terjadi sesuatu….” Aku memeprhatikan dengan seksama semua yang dia katakana. Jika 30 menit lalu kejadiannya, itu berarti Galih sudah berangkat kerja. “Kita langsung berangkat kesini dan sekitar 10 menit baru bisa sampai. Kami juga sudah menanyai beberapa saksi kejadian” aku masih mendengarkannya. “Ada saksi yang bilang kalau ada dua orang naik motor berboncengan, pakaiannya hitam dan memakai helm tertutup, tiba-tiba berhenti di depan rumah anda dan melempari jendela dengan batu. Setelah diteriaki oleh saksi, mereka berdua kabur begitu saja” jelas Pak Polisi. “Apa anda memiliki musuh? Atau anda ikut dalam sebuah geng motor atau sebagainya?” lanjutnya.
Pertanyaan itu seketika membuatku membeku. Beberapa waktu lalu aku memikirkan tentang itu mengenai Galih. Apa aku harus bercerita tentang Galih yang tiba-tiba datang dengan babak belur? Tetapi bagaimana kalau itu hanya salah paham tentang urusan wanita saja? Tapi bagaimana kalau dia benar-benar terlibat dalam geng dan mempunyai musuh??
“Gading.. apa kau mendengarku?” Pak Rudi, saat aku melihat bet nama di atas saku seragamnya, telah membangkitkanku dari lamunan.
“Tidak pak” sepontan aku menjawab tidak.
“Saya bertanya pada tetangga anda, sepertinya orang tua anda adalah orang yang baik. Lalu bagaimana dengan teman kos anda? Apa dia punya musuh?” aku menatap Pak Rudi dengan tatapan kosong. Apa yang harus kukatakan? Apa aku jujur saja?
“Sepertinya tidak pak, dia adalah adik tingkatku di kampus. Aku yakin dia bukan orang seperti itu” jawabku. Saat ini aku merasa harus bertanya pada Galih terlebih dahulu sebelum membuat pernyataan yang aku masih belum tahu kebenarannya.
Setelah berbagai pertanyaan yang dilontarkan Pak Rudi selesai, pihak kepolisian kembali ke kantornya dan para warga disuruh untuk membubarkan diri. Aku sengaja menutup pintu rumahku dan berniat tidak ingin menerima berbagai pertanyaan dari siapa saja. Terlihat Ratih ingin sekali masuk dalam rumah saat aku hendak menutup pintu, tetapi aku menggelengkan kepala padanya. Rasa cemas dan penasaran terpancar jelas di wajahnya, begitu juga ibunya yang berdiri di belakangnya. Saat ini aku hanya ingin sendiri tanpa digannggu oleh siapapun.
Berbagai pertanyaan melayang di kepalaku membuatku hanya termenung di atas kasur tempat tidurku sampai malam. Sudah berkali-kali aku menelfon Galih tetapi tidak diangkat olehnya. Aku masih saja tidak bisa tidur sampai handphonku berbunyi membangunkanku dalam lamunan. Dengan segera aku meraihnya dan mengangkat telfonnya. Seseorang yang kutunggu sedang menelfonku.
“Halo Galih, kamu dimana?” tanyaku sebelum dia mengatakan sesuatu.
“Ini baru selesai kerja Kak, ada apa?” suaranya terlihat bingung. Aku melihat jam dinding dan saat ini tepat jam 10 malam. Seperti dugaanku, dia pasti sudah berangkat kerja sebelum kejadiannya terjadi.
“Tidak papa, aku akan menjemputmu, jadi jangan kemana-mana sebelum aku datang. Mengerti?” aku menutup telfonnya sebelum dia bertanya lagi.
***
“Naiklah” kataku saat sampai di tempat kerja Galih. Tanpa berkata apa-apa dia mematuhi perkataanku. Di tengah perjalanan Galih tidak bertanya sepatah katapun padaku. Begitu juga denganku, aku tidak akan mengatakan apapun sebelum sampai di rumah. Biar dia melihat sendiri apa yang terjadi, karena pecahan kaca masih kubiarkan berserakan. Bekas garis polisi juga masih ada disana.
“Kak, ada apa dengan jendelanya” dia terlihat terkejut.
“Masuklah dulu” kataku. Dan dia mematuhinya.
Aku duduk di sofa dan dia mengikutinya dengan duduk tepat dihadapanku.
“Dengarkan aku” dia menatapku tajam “Tadi sore setelah aku pulang dari kampus, rumah kita ramai banyak orang dan polisi juga. Kaca jendela tanpa ada kejelasan tiba-tiba dipecah dua orang pengendara motor yang melarikan diri. Ibunya Ratih menelfon polisi” aku masih memandanginya. Dia terlihat panic, tetapi hanya terdiam.
“Coba sekarang jelaskan padaku apa yang terjadi, aku yakin kamu punya penjelasannya” aku menatapnya serius. Dan kali ini aku sangat tidak main-main.
Dia tertunduk dan diam sambil memainkan jarinya. Aku masih melihatinya tetapi dia tidak beranjak bicara atau bahkan menjelaskan sesuatu.
“Aku akan mendengarkannya kalau kamu mau menjelaskan” rayuku. Tetapi dia masih saja diam seribu bahasa. Aku mulai kehabisan kesabaranku. Sambil berdiri aku mulai berteriak padanya.
“TOLONG JELASKAN PADAKU SEKARANG”
“Itu bukan urusanmu” jawabnya dengan wajah marah juga.
“Bagaimana ini bukan urusanku, kamau tidak lihat kaca jendela pecah.. dan yang..” dia memotng pembicaraanku.
“Aku akan menggantinya, kamu kira aku tidak punya uang untuk menggantinya?” sambil berdiri dia mulai berteriak padaku.
Dengan sepontan kepalan tangan kananku yang dari tadi kutahan berayun cepat mengenai pipinya. Dia terlempar ke kiri dan bangkit dengan menatapku tajam. Aku melihat darah keluar dari mulutnya, tetapi aku tidak mempedulikannya. aku beranjak pergi meninggalkannya tanpa berkata-kata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
ARSY ALFAZZA
mantap 👍🏻
2021-01-10
0