Part 3

Pria jangkung yang baru saja merusak ponselnya sendiri beberapa jam lalu ini tengah menatap lurus pemandangan di luar jendela kamarnya. Apa yang dia pikirkan biasanya tak sesuai dengan ekspresi wajah. Bisa jadi, saat dia tengah terdiam seperti saat ini, otaknya justru tak memikirkan apa-apa. Namun justru saat sedang berdiskusi atau berdebar dengan orang-orangnya, ia justru sedang memikirkan sesuatu. Unik. Karena dia bisa berpikir dalam kondisi riuh ramai penuh suara.

Asap rokok ia hembuskan, sesekali memejamkan mata agar bisa terlelap. Katakanlah dia gila, karena posisinya menutup mata justru saat berdiri juga dengan puntung rokok yang masih menyala di selipan jari sebelah kanan.

"Apa kali ini seorang Aero tidak bisa berpikir dengan benar? Ngga ada gunanya lo sekap cewe itu. Gue ngga peduli mau lo apain dia."

"Tapi thanks bro, berkat lo yang bertindak murahan itu, gue bisa lepas dari bayang-bayang masa depan suram."

Aero masih ingat dengan jelas setiap kalimat yang dilontarkan pria brengsek itu lewat sambungan telefon. Bisa-bisanya dia mengejek dan mengatai Aero lelaki bodoh. Biasanya ia tak terlalu memikirkan omongan orang lain, ia tidak akan peduli penilai orang tentang dirinya. Hanya saja tindakannya kali ini yang bisa dibilang gagal mengusiknya.

Anak buahnya saja tidak percaya dia membuat kesalahan, apa benar Aero sudah sebodoh itu kali ini? Sudah banyak kasus yang dia selesaikan. Mengungkap apa yang seharusnya menjadi kebenaran. Kadang pula ia ikut andil juga untuk menyembunyikan bukti nyata suatu perkara besar yang ditangani pihak kepolisian. Dia hanya bekerja untuk mendapatkan uang, itu saja.

Namun kali ini, apa karena bukan urusan uang ia gagal? Apa karena urusan pribadi dia tidak berhasil? Entahlah, dia sendiri masih ingin tahu bagaimana bisa seperti itu. Dari mana sumber kegagalannya harus dia cari tahu.

Aero membuka mata elangnya lagi setelah sekitar 1 menit terlelap. Itu lebih dari sekedap cukup untuknya. Tanpa melihat sisa rokok, ia segera mematikannya pada asbak yang tersedia di dekat tempatnya berdiri. Melenggang begitu saja keluar kamar hanya dengan celana jeans warna hitam yang menggantung di pinggang.

"Jordiiii!!" Teriaknya dari lantai dua. Semua orang yang masih setia berkumpul di ruangan luas lantai satu langsung memberikan atensinya pada Bos mereka,tanpa suara. Beberapa detik kemudian suara langkah berlari terdengar menaiki tangga. Lelaki itu memiliki bahu lebar, penampilan rapi dengan celana kain serta kemeja putih. Itulah Jordi.

"Iya Mas, kenapa?" Panggil Jordi dengan sopan saat sudah memasuki ruangan milik Bosnya. Hanya dia saja yang dibolehkan memanggil Aero dengan Mas, selain karena lebih tua, juga karena rasa hormat. Special. Dan semua orang dalam rumah itupun tahu.

"Untuk case selanjutnya, saya ingin Ario yang pegang kendali. Setelah kamu keluar panggilkan dia." Maksudnya adalah Aero ingin Ario dilibatkan dalam semua kasus.

Jordi cukup kaget mendengarnya, ia kira seseorang lain ada yang lebih layak, tenang dan pandai menjadi next leader. Tapi apa boleh buat, statusnya hanya seorang bawahan. Ia harus patuh.

"Siap Mas!"

"Ada satu lagi."

Jordi mengambil nafas diam-diam. Ia takut untuk yang 'satu lagi' ini. Karena pasti dirinya yang mendapatkan tugas ini. Tidak berat jika menurut Bos besarnya, namun kalau harus dilakukan dengan sangat rahasia, itu membuat Jordi sering sesak nafas. Ia adalah salah satu orang yang tidak bisa lama-lama menyimpan rahasia. Dia takut, karena bisa jadi rahasia itu dapat membawanya pada kondisi yang membahayakan.

Untuk itu, sebelum perintah dikumandangkan. Buru-buru Jordi meminta sesuatu. "Kalau bisa, beri satu partner Mas."

"Hmm?"

Wajah Aero yang mendadak menoleh sempat mengejutkan lelaki berpenampilan rapi ini-padahal hari sudah malam namun Jordi masih seperti pekerja kantoran.

"Artinya kamu meminta uang saku dibagi dua."

"I-iya." Jawab Jordi setengah tidak rela. Daripada dia harus berpusing-pusing menyelesaikan tugas sendiri. Akan lebih baik jika ada dua otak yang berpikir.

Aero hanya mengangguk menanggapinya.

"Siapa yang mau kamu jadikan partner?"

"Ardi. Boleh Mas?"

Pintanya dengan sedikit menurunkan nada bicara. Pasalnya Ardi sering Bosnya ajak kemana-mana karena dikenal paling jago bela diri. Lelaki itu selalu menjadi pilihan disetiap case.

Kening Aero berkerut, dan itu membuat Jordi makin tak enak hati. Sepertinya permintaan ini tidak akan di acc.

"Ok!"

"Apa?" Reflek Jordi balik bertanya. Ia sebenarnya kaget karena begitu mudah bosnya memberi persetujuan.

"Ok saya bilang." Aero duduk di kursi, sambil menyalakan laptop kemudian melanjutkan lagi omongannya. "Untuk case ini sebenarnya kamu sendiripun cukup."

"Apa tugasnya?"

"Kamu harus ingat, kamu perlu panggil Ardi."

Ah iya. Mana mungkin partner tidak diberitahu apa tugasnya. Aero lebih suka menyampaikan keinginannya langsung, tanpa perantara. Karena dengan perantara, ia sering mengalangi miss com."Siap Mas!"

Segera Jordi keluar dari ruangan berpintu warna hitam bertuliskan danger. Ia berjalan menuju balkon yang memperlihatkan keadaan lantai satu, kemudian memanggil nama Ardi. Meminta lelaki yang sedang asik main game PS untuk segera naik.

...***...

Sementara di belahan dunia yang lain. Hati wanita manis ini tengah hancur, ia dihianati. Bukan hanya oleh calon suaminya, tapi juga oleh saudara tiri dan kedua orang tuanya.

Ia pikir, statusnya dalam keluarga sama dengan adik tirinya. Sama-sama anak mereka. Lagi-lagi itu semua hanyalah angan, klise. Regina Athalia belum bisa mendapatkan tempat di hati orang rumah. Padahal sebaik mungkin dia mengabdi, banting tulang untuk membuat keluarga mereka hidup dalam kecukupan. Tidak terlalu mewah, namun Rea bisa memberikan apa yang keluarganya butuhkan tanpa waktu menabung yang lama. Penghasilannya sangatlah lumayan, bahkan lebih tinggi bila dibandingkan saudara tiri dan Bapak selaku kepala rumah tangga. Hampir 70% gajinya ia pakai untuk keperluan rumah, sementara untuk dirinya sendiri, Rea memilih sederhana.

Arka, pria yang akan menjadi calon suami Rea sampai detik ini tak menampakkan diri. Berkali-kali wanita ini menelepon, mengirim pesan, bahkan menghubungi lewat social media, tak ada satupun yang terkirim. Arka memblokir semua akses komunikasi dengannya-mungkin. Kenapa dalam sekejap lelaki yang awalnya baik itu berubah jadi kejam? Tidakkan pria itu ingin tahu apa yang suda terjadi dengannya di hari-H pernikahan? Mana kata cinta dan sayang yang terus di elu-elukan itu? Mana perhatian yang diberikan saat masa pendekatan? Mana janji-janji yang dibuat manis untuk membuatnya tersenyum ketika sudah lelah bekerja? Mana itu semua? Rea masih mempertanyakan.

"Ibu malu sama keluarga mereka. Bisa-bisanya kamu malah kabur ke kamar temen Arka!! Bodoh banget kamu!! Harusnya dari awal perkenalan, kamu bilang kalau memang ngga suka sama Arka, Ibu bakalan deketin dia sama adik kamu aja."

Sampai detik ini Rea tidak juga memahami apa yang Ibunya sampaikan. Satu kalimat terucap Rea membela diri, maka akan ada balasan jutaan kata-kata khusus untuk telinganya. Selain keras, pemilihan kalimat kasar yang Ibunya sampaikan membuat Rea hanya bisa diam dan menangis.

"Di minum dulu." Perintah Bibi yang setia duduk di samping ranjang Rea.

"Ngga pengin minum Bi. Rea masih ngga tau salahnya dimana. Mereka kok ngga pengin tahu kemana Rea waktu itu si? Mas Arka juga ngga tahu kemana." Sambil berbaring lemah di ranjang, Rea mencurahkan isi hatinya pada satu-satunya wanita yang selalu memperhatikannya di rumah ini.

Wanita yang telah lama mengabdikan hidupnya di rumah ini bergerak mundur. Memijat pelan kaki anak majikannya yang terbungkus selimut. Itu hal yang biasa dia lakukan guna menghibur ahli waris rumah ini. "Bukannya Bibi ngga percaya. Tapi waktu itu Bibi ada di gedungnya juga Mba. Emang beneran Mba Rea kabur sama temennya Mas Arka?" Tanya dengan penuh kehati-hatian.

"Rea ngga pernah bohong kan sama Bibi? Waktu harus hutang pun Rea bilang kan?"

Wanita pemilik wajah manis keturunan Mama kandungnya ini sedikit bangkit, duduk bersandar headboard. "Rea udah dandan, dianter turun sama dua orang yang make up -in. Eh di tengah lorong, dua orang tadi ke kamar ambil sepatu. Dan ngga lama pintu kamar kebuka, ada laki-laki pakai masker narik Rea masuk ke kamar. Terus-"

Nafas gadis manis itu tertahan, ada sesak yang muncul ketika dia menceritakan hal buruk itu kembali. Terlebih saat Rea mengingat foto yang Bibi Yul tunjukkan. Foto ketika dirinya tengah ada dipelukan seorang lelaki di atas ranjang. Itu adalah aib. Wajahnya jelas sekali terlihat. Dan sulit untuknya mengelak jika itu bukan dia.

"Rea ngga tahu udah diapain aja." Rengeknya disertai air mata yang meluruh tanpa henti. Bibi Yul hanya bisa mendekat dan memeluk anak asuhnya untuk menenangkan.

"Mas Arka bilang itu temennya, dan Mba Rea kenal?"

"Enggaaa. Rea ngga kenal orangnya." Elaknya lagi semakin menggeleng kuat. Ia menolak semua tuduhan jika pria yang bersama Rea di hotel adalah orang yang dia kenal. Belum selesai hatinya teriris saat mendengar cerita Bibi Yul tentang kelanjutan acara di ballroom. Lagi-lagi Rea harus menerima hatinya dihempaskan ke dasar jurang.

"Jadi beneran Bi? Mas Arka nikahnya sama Rena?" Ulang Rea untuk kesekian kalinya dengan suara putus asa. Ada luka tak kasat mata yang begitu menyiksanya. Ia yakin, butuh waktu lama untuk menyembuhkan ini.

"Mungkin sebenarnya Mas Arka bukan jodohnya Mba Rea. Bibi yakin, Mba Rea itu jodohnya orang paling baik di dunia ini. Lebih baik dari Mas Arka, lebih baik dari siapapun lelaki yang Mba Rea kenal. Bibi percaya itu." Hibur Bibi tak kalah haru. Matanya mulai berkaca-kaca, efek sesal yang harus ikut dia hadapi. Kenapa keluarga majikannya harus berjalan seperti ini? Ia adalah saksi hidup saat Mamah Rea meninggal, kemudian Ayahnya menikah lagi, dan terakhir saat Ayahnya meninggalkan dirinya berjuang sendiri.

"Ada yang hilang, tapi nanti pasti ada yang kembali." Pelukan Bibi Yul makin erat pada wanita yang sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri. Rasa cintanya pada Rea mungkin sama besar seperti pada anaknya di desa. Karena cinta tak mengenal apapun.

"Rea mau pergi aja dari rumah ini Bi, Rea ngga kuat lagi."

Mendengar nada frustrasi yang keluar dari mulut Rea, Bibi Yul segera melepaskan pelukannya. Kedua tangannya meremas kuat bahu Rea, kemudian berkata,"Jangan! Mba Rea itu ahli waris rumah ini, ngga boleh pergi! Mereka yang harusnya pergi! Hak Mba Rea disini! Mereka cuma numpang."

Mereka yang dimaksud adalah Ibu dan Bapak baru yang tak sama sekali memiliki ikatan darah dengannya. Orang asing.

Namun itu tak mempan, wanita berumur 25 tahun ini menatap lekat mata Bibinya dengan penuh tekad.

"Rea pengin hidup tenang, sama Bibi. Yaaa??"

"Mba, saya sudah janji sama Bapak."

"Jadi Bibi ngga mau?"

Perlahan wajah tua yang sudah mengabdikan separuh umurnya di rumah besar ini hanya menggeleng sambil tersenyum. "Mungkin Mba Rea ngga tahu, ada hal yang perlu dijaga di rumah ini. Kenangan Mamah sama Papah Mba Rea ada disini. Jangan pergi ya?"

"Rea ngga punya daya lagi buat berjuang. Laki-laki yang Rea pikir bisa bantu untuk keluar dari sini ternyata ngga bisa apa-apa. Harus aku sendiri yang mengusahakan. Aku ngga mau berharap sama orang lain. Percuma."

Ada pesan buat Aero?

atau Rea?

jangan lupa like dan comment ya

29112020

Terpopuler

Comments

anggita

anggita

like👍

2021-02-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!