Tidak ada yang tahu dibalik sikap tenang dan tanpa ekspresi seorang Rea saat ini, ia sedang gelisah. Bagaimana tidak? Kurang lebih dua jam yang lalu-atau sebenarnya bukan dua jam,tapi hampir sehari- dia baru saja mengalami musibah. Penculikan atau penyanderaan. Entahlah, keduanya seperti sama saja menurut Rea.
Kebaya masih melekat di tubuhnya yang semampai, masih pula mengenakan sandal hotel. Ia menyesal, kenapa tidak meminta salah satu tim make up menemaninya. Setidaknya, akan ada saksi bahwa ia telah disekap seseorang. Jika sudah seperti ini, Rea hanya bisa terus merapalkan doa dalam diam. Semoga ada keajaiban, semoga waktu telah berhenti dan semuanya akan kembali baik-baik saja.
Secara tidak sabar, ia menekan bel kamarnya sendiri. Sial, karena dia lupa menyimpan kunci kamar. Rea sangat berharap setidaknya masih ada orang di dalam, entah tim make up, keluarga atau siapapun.
Kenapa Rea tidak langsung turun ke bawah? Tidak mungkin. Penampilannya saat ini sangat tidak pantas. Ia terlihat seperti baru saja mengalami...
Ah sudahlah.
Ceklek
Gagang pintu diputar, dan harapan Rea sepertinya terkabul. Masih ada orang di dalam kamarnya. Namun,
"Ya?"
"Anda siapa?" Tanya Rea yang tak pernah melihat orang yang membuka pintu.
"Saya tamu kamar hotel ini."
Hmm? Rea menggeleng pelan, dia sepertinya masih dalam pengaruh alkohol. Sehingga pendengarannya sedikit terganggu.
"Maaf sekali, saya belum merasa check out. Dan ini sepertinya masih kamar saya. Ijinkan saya masuk untuk mengecek apakah ini benar kamar saya atau bukan." Kekeh Rea.
"Wait!" Tahan sang pria sambil meneliti penampilan Rea yang amburadul. Wanita yang lumayan manis ini hampir saja memasuki kamar hotel orang lain.
Really? Kebaya pengantin, namun dengan rambut yang terurai? Apakah di pesta pernikahannya baru saja dilanda badai katarina?
...***...
Rea terduduk lemas di salah satu kursi, masih di hotel yang sama dia tempati. Penjelasan yang baru dia terima sangat mengejutkan. Bahkan tanpa menunggu hitungan menit otak untuk mencerna dan menguraikan, seluruh tulang di tubuhnya langsung tak berfungsi. Hampir saja ia luruh ke lantai jika tidak ada seseorang yang menahan.
"Acara pernikahan tadi berjalan lancar. Tamu dan keluarga mempelai terlihat nyaman dan menikmati pesta. Dan tak lama, secara bersamaan mereka meninggalkan hotel. Mereka bilang ingin segera ke luar kota."
Itu pernyataan salah satu tim hotel yang sedang merapikan kembali ballroom. Matanya memandang tempat yang seharusnya menjadi singgah sana ratu. Namun semua itu hanya sebuah impian belaka. Tidak pernah ia menjadi ratu sehari disana. Tidak pernah ia menyalami tamu-tamu undangan. Tidak pernah ia merasa sudah dinikahi seseorang.
Kenapa tidak ada orang yang mencarinya? Kenapa semua terkesan santai padahal sebenarnya pengantin wanitanya telah hilang? Ada yang aneh dan itu masih terus Rea cari tahu.
"Minum dulu Kak." Seorang wanita staf hotel memberikan gelas mineral pada Rea.
"Ini jam berapa?"
"Jam 4 sore."
Kepala Rea makin berputar mendengar jawaban itu. Ia tidak bisa menangis, padahal rasa sesak sudah sangat terasa di dada. Hatinya seperti dipukul dengan palu godam yang besar. Menghempaskannya sampai ia tak bisa mengekspresikan lagi cara menyikapi semua ini.
Regina Athalia tak habis akal, walaupun saat ini seluruh tubuhnya benar-benar lemah. Otaknya masih mampu menuntunnya meminta kepada staf hotel untuk masuk kembali ke kamar tempat ia diculik.
Tidak ada berita apapun terkait hilangnya Rea yang dibicarakan oleh staf hotel. Semua nampak biasa-biasa saja. Apa sebenarnya dia yang bermimpi atau bagaimana?
Rea beserta seorang lelaki memasuki kamar hotel yang dituju, tempat itu masih sama seperti saat Rea pergi. Tak rapi maupun berantakan, untaian melati, sanggul dan aksesoris lain tertata rapi di atas nakas-seperti menang disiapkan. Baru Rea sadari juga disana ada sebuah paper bag, berisi sepasang pakaian wanita. Untuk dia kah?
"Bisa saya pakai kamar ini untuk membersihkan ini?" Tanya Rea setelah mengecek isi paper bag warna hitam.
"Silahkan, kamar ini memang atas nama Anda."
"Ha?"
Staf hotel pamit keluar, tak bisa meluruskan kebingungan yang Rea alami. Kamar Rea dia bilang?
...***...
Maaf untuk semuanya.
Aero.
Berkali-kali pun dilihat, note paper itu tak akan berubah. Rea meremasnya kesal, sampai tanpa sadar air matanya luruh. Luruh di saat yang sebenarnya tidak tepat. Kenapa tidak sejak tadi ia menangis? Justru saat di taksi, ia menumpahkan ketidakberdayaannya ini di hadapan supir. Ia mengaku lemah dan kalah. Tak bisa sekuat yang dibayangkan. Nafasnya tertahan, berusaha tidak mengeluarkan suara isakan yang bisa menganggu konsentrasi orang lain.
Pria bermasker itu meminta maaf atas semuanya. Dia kira hanya meminta maaf masalah akan selesai dan hidupnya bisa kembali normal?
Rea bahkan sejak 3 hari lalu tidak melihat wajah calon suaminya. Lelaki yang terlihat arogan namun bisa menerimanya. Apa dia tidak mencarinya?
"Tunggu sebentar ya Pak." Rea segera turun, berjalan memasuki halaman rumah. Ia tidak membawa uang, bahkan ponsel. Seluruh barang yang ada di kamar lama tempat dia dirias bersih, tak ada satupun barang miliknya tertinggal.
"Mba Rea??" Bibi Yul adalah orang yang membuka pintu rumah.
"Bi, tolong bayarin taksinya dulu ya? Rea ngga bawa uang."
Bibi Yul langsung terenyuh mendengar penjelasan Rea, gadis cantik yang dia asuh tidak memiliki uang. Benar, jarang sekali memiliki uang lebih. Karena dia membaginya untuk kebutuhan rumah yang harusnya ditanggung oleh kepala keluarga.
"Siap Mba!"
Usai memastikan ia tak memiliki lagi tanggungan. Wanita berparas manis ini melangkah masuk, telinganya langsung mendengar suara-suara ribut antara Ibu dan Bapak. Bahkan sampai ada bantingan, gebrakan dan suara benda pecah.
Pyar
Lemparan benda keramik itu tepat jatuh di depan langkah Rea, membuatnya terkejut dan langsung berhenti.
"Pulang kamu?!"
Sepasang mata itu melebar melihat kedatangan Rea.
"Ibu."
"Udah Ibu bilang kan? Jangan buat malu!" Sambil mengomel, sosok Ibu itu berjalan cepat ke arah Rea, seperti ingin menerkam. Tangannya bahkan sudah terangkat ingin melakukan sesuatu.
Pada akhirnya, inilah yang terjadi. Rambut Rea yang masih kusut langsung dijambak, ditarik paksa sambil Rea harus ikut berjalan mengikuti.
"Apa kamu ngga punya cara lain buat mempermalukan keluarga kamu? Setidaknya jangan dihari pernikahan Regina!! Ibu malu, waktu tahu bukannya kamu ke ballroom malah masuk ke kamar cowo. Lagi latihan jadi murahan kamu?" Bentak wanita itu ketika sudah memasuki sebuah kamar. Kamar Rea yang kecil dan biasa.
"Keluar aja dari rumah kalau ngga mau di atur!" Tambahnya lagi, sementara sang kepala rumah tangga tak punya daya apapun.
"Bu, Rea dapat musibah."
"Keluar aja dari rumah. Calon suami kamu aja langsung pergi saat tahu kamu sama cowo lain."
"Ngga Bu!"
"Ibu ngga tau harus apain kamu lagi. Lebih baik kamu tinggal aja sama keluarga Bapak kamu yang dulu. Ibu udah ngga sanggup. Kamu bikin malu Regina!!"
Satu yang Rea tahu, ini bukan harinya untuk bahagia ternyata.
...***...
Sementara di tempat lain, seorang lelaki baru saja turun dari motornya. Ia memasuki tempat tinggal sederhana tempat banyak kawannya berkumpul.
"Siang Bos. Misi berhasil?"
"Gagal."
"Ah pasti bercanda. Bos Aero tidak mungkin gagal menjalankan misi."
"Tapi kali ini gagal."
Ulangnya lagi dengan makin tegas. Ia lepas masker yang selalu menutup setengah wajahnya, hingga berhasil menampakkan wajah utuh yang penuh wibawa.
Aero adalah namanya yang dikenal luas. Hanya beberapa saja yang tau nama lengkap lelaki jangkung itu siapa. Kakinya yang panjang membawa ke arah kamar pribadi yang ada di lantai dua. Ia melepas jaket dan duduk di sisi ranjang. Kepalanya sedikit menunduk.
Diamnya Aero adalah saat yang berbahaya. Dan benar saja, tiba-tiba ponsel yang ada di genggaman tangan dia banting hingga membentur tembok. Tak bisa dicegah, benda elektronik itu langsung berantakan.
"Maaf."
Bisiknya sangat lirih, entah kata maaf untuk siapa.
25112020
Jangan lupa like dan comment ya guyss.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
anggita
mampir lgi.👍
2021-02-26
0
Naraya Ishak
semaangaat yaa thoor
2021-01-03
0