Berdiri tepat di depan kontrakan baru mereka.
Abi, Umi, Asiyah, Aisyah dan Ali. Mereka memandangi gubuk reyot itu. Lama sekali. Hampir setengah jam. Terdiam. Terpaku. Tanpa pergerakan.
Mereka berjejer rapi.
Abi duduk di atas kursi rodanya, dengan tangan yang kaku, bibirnya yang mencong. Abi melihat rumah barunya. Menetes air mata Abi. Abi tidak bisa menyenangkan istri dan anak-anaknya untuk saat ini.
Umi hanya diam berdiri menatap nasibnya yang kini berada tepat didepan matanya. Umi masih tidak percaya bahwa Ia akan tinggal di tempat seperti ini.
Asiyah juga memandangi rumah itu, sesekali melihat ke arah Umi. Asiyah tahu betul ini berat bagi Umi, Ia pun juga merasakan hal yang sama. Namun tampaknya Umi kurang tabah dalam menghadapi situasi ini. Asiyah takut Umi tidak mampu bertahan.
Asiyah harus tegar. Asiyah tidak boleh menunjukkan kesedihannya pada Umi dan semuanya. Cukuplah keadaan yang menjadi beban mental mereka saat ini. Jika Asiyah tidak bisa membantu merubah keadaan mereka saat ini setidaknya Asiyah bisa menjadi penenang bagi hati mereka yang sedang dilanda kerapuhan.
Asiyah melihat kearah Aisyah dan Ali. Adik-adik kecilnya yang manja. Mereka malah asik bermain berlari-lari dan berputar dibawah pohon sebelah rumah reyot itu. Belum sadar betul mereka dengan perubahan kondisi ini. Mungkin nanti, dua atau tiga hari lagi Aisyah dan Ali akan sadar dengan runtuhnya dinding kemewahan yang selama ini membentengi mereka.
Aisyah dan Ali sudah tidak tahan berdiri lama-lama di depan rumah itu. Mau apa sih Abi, Umi dan Kak Asiyah memandangi rumah? Lama sekali, lebih baik main saja di bawah pohon.
Ali mengajak Aisyah bermain di bawah pohon mangga besar di sebelah rumah papan itu. Ada ayunan di dahannya. Ayunan itu kata yang punya rumah kontrakan, dulu dibuat oleh penghuni yang ngontrak di sini sebelumnya, untuk tempat bermain anak mereka. Sekarang mereka sudah punya rumah sendiri. Tinggallah ayunannya saja yang bergelantungan, tidak ada yang memainkan.
Alhamdulillah. Asiyah senyum-senyum melihat mereka yang sedari tadi berayun-ayun bergantian memainkan ayunan ban itu.
Ini adalah hadiah untuk Aisyah kecil dan Ali kecil dari Allah, fikir Asiyah. Lugu sekali mereka. Mereka tidak mengerti apa-apa atas hal yang sedang menimpa keluarga ini. Bermain saja kerjaannya. Tertawa. Sementara Umi dan Abi hanya bisa menangis.
Abi dan Umi pernah cerita, kata Abi, dulu Umi waktu masih muda cantik sekali. Abi menikahi Umi waktu Abi berusia 41 tahun, sementara Umi masih berusia 19 tahun.
Abi adalah seorang duda tanpa anak. Istri Abi yang dulu meninggal dunia karena ada penyakit pada rahimnya. Kata Abi ada penyakitlah pokoknya, Abi tidak menjelaskan detail penyakitnya apa.
Umi berasal dari keluarga yang kehidupan ekonominya terbilang sederhana, berbeda dengan Abi, Abi berasal dari keluaraga desa yang berkecukupan, nyaris mewahlah. Makanya selepas SMA Umi lebih memilih menikah ketimbang harus melanjutkan pendidikannya. Tidak ada biayanya kata Umi. Nenek dan Kakek hanyalah pekerja serabutan yang kini dua-duanya sudah meninggal dunia.
Abi merantau ke kota untuk memulai usahanya. Di sinilah Abi menemukan jodohnya, mulai dari istri pertamanya hingga menikah untuk yang kedua kalinya dengan Umi.
Jadi ceritanya, Abi dan Umi menikah karena dijodohkan oleh temannya Abi, awalnya. Tetapi waktu satu tahun berkenalan Abi dan Umi saling jatuh cinta.
Abi adalah laki-laki yang tulus mencintai Umi. Umi adalah perempuan baik yang berparas cantik. Abi sama sekali tidak memperdulikan latar belakang keluarga Umi. Begitupula Umi, ketulusan Abi juga dibalas dengan ketulusan oleh Umi. Umi menerima Abi apa adanya dengan status dudanya kala itu dan dengan usianya yang jauh lebih tua dari Umi.
Waktu itu Abi adalah pengusaha biasa, perusahaannya sih memang menghasilkan, tetapi keuntungannya masih pas-pasan.
Waktu itu Abi merintis usaha di bidang perdagangan. Abi menjual pupuk pertanian yang dikelola oleh sebuah manajemen perusahaan kecil-kecilan milik Abi.
Abi menikahi Umi setelah satu tahun Umi lulus SMA, tentu setelah mereka berdua benar-benar merasa yakin untuk melangkah ke pelaminan.
Setelah menikahi Umi, perusahaan Abi berkembang pesat. Abi merintis usahanya bukan hanya di penjualan pupuk saja tetapi juga merambah kebanyak produk pertanian lainnya.
Satu tahun menikah, Asiyah lahir. Alhamdulillah lengkap sudah kebahagiaan Abi dan Umi dengan hadirnya Asiyah. Seorang anak yang didamba. Terlebih Abi, karena dengan istri pertamanya dulu Abi tidak memiliki anak hingga istri pertamanya meninggal dunia.
Kata Abi, semua kesuksesan usahanya sekarang adalah rezeki Umi dan Asiyah, makanya usaha Abi jadi lancar dan berkembang. Rezeki Umi dan Asiyah alhamdulillah bagus, kata Abi.
Dari awal berumah tangga, Umi terbiasa hidup senang bersama Abi. Umi tidak pernah merasakan kesusahan selama menikah dengan Abi.
Abi adalah laki-laki yang baik dan penyayang, makanya Umi bisa jatuh cinta sama Abi. Umi selalu dimanja oleh Abi. Abi jugalah orang yang selalu mendengarkan dengan senang hati semua keluh kesah Umi.
Qadarullah.. kini hidup Umi berubah 180º.
Dunia seakan terbalik. Rumah mewahnya berubah menjadi gubuk papan. Ngontrak pula. Umi tidak bisa kesalon lagi untuk melakukan perawatan tubuh. Biasanya Umi selalu rutin merawat diri kesalon.
Kini semuanya tidak bisa lagi. Jalan-jalan sama teman-teman. Arisan. Semuanya hanya tinggal kenangan. Entah kapan bisa seperti itu lagi. Atau mungkin memang sudah tidak bisa lagi seperti dulu.
Seperti mimpi saja rasanya.
Pak Subroto sengaja memilihkan kontrakan papan ini untuk mereka tempati. Dari awal Umi sudah bilang, papan juga tidak apa-apa.
Di dekat kontrakan ada Sekolah Dasar soalnya. SD itu nantinya akan menjadi tempat Aisyah dan Ali bersekolah. Aisyah dan Ali bisa berjalan kaki saja pulang pergi sekolah untuk menghemat biaya. Tidak usah naik ojek. Banyak juga anak-anak sekolah di sana yang berjalan kaki. Jadi Aisyah dan Ali tidak perlu takut.
Pak Subroto sudah mengurus segala keperluannya. Mereka tinggal sekolah saja. Semuanya sudah siap.
“Umi, kenapa Ali pindah sekolah Mi?” tanya Ali.
“Iya Mi, terus kenapa kita tinggal dirumah ini?” timpal Aisyah.
Umi hanya diam, menatap mereka.
Bingung mau menjawab apa.
Tidak tega rasanya untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada anak-anak kembarnya itu. Tidak mungkin rasanya kalau harus mengatakan, ‘Kita bangkrut Nak dan kita jatuh miskin, mulai sekarang kita harus terbiasa hidup kekurangan, sekolah ditempat yang jelek, jalan kaki, makan seadanya dan tidak bisa jajan sepuasnya lagi.’ Ahhhh tidak tidak, tidak mungkin menjelaskan semuanya seperti itu, mereka juga pasti tidak akan bisa memahami sepenuhnya.
Asiyah yang melihat adik-adiknya menjejal pertanyaan pada Umi, datang menghampiri mereka. Merendahkan badannya. Memegang tangan kedua adiknya. Mereka berdua berdiri di sisi kiri dan kanan Asiyah, Asiyah menatap mata mereka satu per satu, mencoba bicara dari hati ke hati.
“Kita cuma sementara tinggal di rumah ini sayang, Ali dan Aisyah juga cuma sementara sekolah di sekolahan baru ini. Nanti kalau Kakak sudah ada pekerjaan, in syaa Allah kita akan pindah dari sini secepatnya, kalian harus sabar yaa,” jelas Asiyah, senyum penuh kelembutan pada kedua adik kembarnya yang manja itu.
Tidak apa-apalah berbohong sedikit, demi menenangkan adik-adiknya, mudah-mudahan secepatnya bisa pindah dari rumah ini. Padahal entah kapanlah Asiyah bisa membawa mereka pindah dari rumah ini, apalagi mencari pekerjaan itu bukanlah sesuatu yang mudah bagi Asiyah.
“Tapi sampai kapan Kak? Aisyah digigitin nyamuk ni dari tadi disini,” Aisyah mengeluh saja. Baru juga sampai. Belum ada satu jam duduk di dalam rumah papan ini.
Ternyata mereka sadar lebih awal dengan semua keadaan ini. Tidak harus menunggu waktu satu atau dua hari dulu tinggal di kontrakan papan ini. Mereka mulai sadar bahwa mereka sekarang tinggal di rumah yang jauh sekali dari kata mewah dan bersekolah di sekolah yang jauh sekali dari kata elite.
“Ali juga nggak mau ahh sekolah di SD yang kita lihat tadi Mi, jelek banget sekolahannya, kayak kandang sapi,” sambung Ali.
“Huusshh, Astaghfirullah.. Ali dan Aisyah nggak boleh yaa ngomong kayak gitu, adik-adik Kakak kan anak-anak yang baik, harus belajar bersyukur, hari Senin besok Aisyah dan Ali kan sudah mulai sekolah ditempat yang baru, harus semangat dong yaa,” Asiyah tersenyum lagi, mendekap erat kedua adiknya.
Diciumnya lagi pipi-pipi mereka. Terus saja berusaha menyemangati. Asiyah sangat menyayangi mereka.
Umi masih saja termenung di kursi ruang tamu yang dipinjamkan oleh pemilik kontrakan. Kata yang punya, nggak apa-apa, dipakai saja.
Abi masih duduk di kursi rodanya, di sebelah Umi. Sementara Asiyah sibuk memberi pengertian pada adik-adiknya tentang keadaan mereka saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
udah aku kasih bunga ya kak, Jangan bosan mampir lagi di karyaku. aku nyicil dulu bacanya, nexk time otw sini lagi...
2022-10-07
0
Dani irwandi
mampir jga ya kak
2022-09-20
0
Dehan
sabar ya aisha..
2022-09-18
0