Asiyah Akhir Zaman
Jantung berdetak kencang. Dag.. dig.. dug..
dag.. dig.. dug.. Tidak terkontrol lagi denyutannya. Memukul mukul dada. Mendobrak-dobrak. Sesak sekali rasanya. Sempit. Tekanan darah naik dengan cepat. Seperti roket yang meluncur. Melarikan diri dari pengaruh gravitasi bumi. Tujuh mil per detik. Melesat cepat.
Menyamai aksi sang detak jantung. Tidak mau kalah. Penglihatan menjadi ganda. Bayangannya berlipat-lipat. Foto-foto yang tertempel didinding kantor, lurus, tegak, rapi, kini tampak miring semua. Pandangan menjadi buram. Kepala terasa sangat berat. Pusiiingg sekali rasanya. Argghh.. tidak kuat menahannya.
Tubuhnya pun ikut melemah. Tangan kirinya memegang ujung meja kantor yang mewah itu. Tangan kanannya menopang kepala yang terasa sangat sakit sekali. Mencengkram dadanya. Tubuh tua nan gempal itu mulai miring. Lemah sekali. Abi pingsan.
“Suami Ibu terkena serangan stroke,” ucap dokter pelan. “Butuh waktu yang cukup lama agar Bapak bisa sembuh total,” sambung dokter. Memberikan penjelasan panjang lebar pada Umi.
Seisi ruangan tampak dingin sekali. Cemas.
Asiyah berada di samping Abi sejak tadi. Tidak henti-hentinya menangis melihat kondisi Abi. Asiyah tidak tega melihat Abi. Abi terlihat tidak sekuat biasanya. Abi lemah sekali sekarang. Ketika mendengar kabar bahwa Abi jatuh pingsan di kantor hingga dibawa ke UGD Rumah Sakit tadi, seketika itu juga Asiyah meninggalkan semua aktivitasnya.
Asiyah tadinya sedang berkuliah. Asiyah segera meminta izin pada dosennya untuk pulang. Beruntung dosennya tidak terlalu banyak bertanya ketika Asiyah mengatakan bahwa Abi masuk rumah sakit dan Asiyah harus segera kesana.
Abi yang masih terkulai lemah di tempat tidur rumah sakit, hanya menatap kearah istrinya yang berdiri tidak jauh darinya. Perempuan cantik yang tampak awet muda itu mendengarkan penjelasan dokter tentang kondisi Abi dengan sangat teliti.
Seorang pengusaha sukses, kini hanya mampu terbaring di kasurnya. Bibirnya kaku, tak dapat menyatu sempurna antara bibir atas dan bibir bawahnya, miring. Tangannya kaku, membengkok. Tidak dapat bergerak. Kakinya tak dapat berjalan. Abi tidak bisa apa-apa.
Umi tampak sangat terkejut sekali dengan semua keadaan ini. Tidak percaya. Mengapa semua ini dapat terjadi? Mengapa jadi seperti ini? Umi syookk..Tiba-tiba saja. Semua terjadi secara mendadak..
Umi terdiam menyendiri cukup lama di sudut ruang itu, sambil menatap kosong kearah Abi..
Beberapa hari dirawat di rumah sakit, Abi diizinkan oleh dokter untuk pulang kerumah. Rawat jalan saja kata dokter.
Memang Abi belum sembuh, karena kelumpuhan yang dialami Abi akibat stroke ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa sembuh total, atau bahkan harapan untuk sembuh itu pun bisa hilang sama sekali. Tergantung tekad Abi sendiri, bagaimana Abi bisa mengontrol pikirannya, di samping perawatan dan pengobatan yang juga harus di maksimalkan tentunya.
Selama Abi dirawat di rumah sakit Aisyah dan Ali hanya bisa sebentar-sebentar saja melihat Abi. Peraturan rumah sakit sangat ketat. Anak kecil tidak boleh masuk, apalagi harus berlama-lama di dalam ruangan rawat inap pasien. Walaupunlah ruangan tempat Abi dirawat adalah ruangan VVIP, tetap saja tidak dibolehkan. Kata perawat biar steril. Kasihan juga anak-anak, takut tertular penyakit.
Aisyah dan Ali masih sama-sama duduk dibangku Sekolah Dasar. Aisyah dan Ali adalah adik-adik Asiyah yang terlahir kembar. Usia mereka berjarak sembilan tahun dari Asiyah. Waktu itu Umi tiga kali mengalami keguguran setelah lahirnya Asiyah. Awalnya Abi dan Umi tidak percaya, karena dari mereka berdua sama-sama tidak ada yang memiliki keturunan melahirkan bayi kembar. Tetapi alhamdulillah, sembilan tahun setelah lahirnya Asiyah, Umi melahirkan bayi kembar.
Tak tanggung-tanggung Allah memberikan karuniaNya. Setelah sekian lama Umi dan Abi mendamba kehadiran anak lagi setelah hadirnya Asiyah. Do’a yang selalu dipanjatkan oleh Abi dan Umi dikabulkan oleh Allah. Sepasang bayi kembar yang cantik dan tampan hadir mewarnai hidup mereka.
Asiyah sendiripun adalah seorang kakak yang juga cantik rupanya dan berkepribadian baik. Lengkap sudah kebahagiaan mereka. Ditambah lagi Abi juga sedang naik daun dalam bisnisnya kala itu.
Siang itu, tiba-tiba seorang pengacara yang mengurus semua ***** bengek berkas-berkas perusahaan Abi datang ke rumah.
Umi mulai khawatir, karena biasanya Pak Subroto akan menemui Abi jika sedang ada masalah saja di dalam perusahaannya.
Dengan membawa setumpuk berkas yang keluar dari tas hitamnya. Penuh sekali tas itu dengan berbagai macam kertas. Kertas-kertas berharga sepertinya. Repot sekali kelihatannya saat mengeluarkan berkas-berkas dari dalam tas jinjing hitamnya yang mengkilat itu.
Gemetar tangan Pak Subroto. Wajahnya tegang sekali. Merah padam. Sambil sesekali mengusap peluh yang mengucur deras di dahinya. Sapu tangan abu-abu itu diambilnya dari kantong belakang celananya, secepat mungkin agar tak tampak tanda kecemasan itu dari dahinya.
Ia duduk di kursi ruang tamu mewah milik Umi.
Umi berada di hadapannya, harap-harap cemas. Bersiap untuk mendengar, kira-kira kabar apa yang dibawa oleh pengacara itu. Mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Menatap getir. Jari-jari tangannya bermain satu sama lain di atas lututnya. Umi cemas.
"Maaf Bu.. ini adalah berkas-berkas yang harus segera Ibu tanda tangani.." Ucap Pak Subroto. Getir. Sembari menjelaskan keadaan yang sebenarnya telah terjadi.
Benarlah dugaan Umi sebelumnya. Dunia seakan terbalik. Kabar yang tidak mengenakkan itu pun sampai juga padanya.
Ada banyak berkas yang harus ditanda tangani oleh Umi.
Ternyata memang telah terjadi sesuatu dengan Abi hingga membuatnya terkena serangan stroke mendadak.
Perusahaan yang telah lama dibangun oleh Abi, dirintisnya dari nol bersama Umi, kini berada dititik terendahnya lagi. Bangkrut. Perusahaan Abi bangkrut.
Abi ditipu oleh rekan bisnisnya. Semua aset perusahaan dan aset pribadinya habis sudah dipertaruhkan saat memulai bisnis bodong bersama rekannya yang penipu itu.
Hanya rumah lah yang tersisa. Rumah yang ditinggalinya saat ini. Abi tidak berani mempertaruhkan rumahnya untuk kepentingan bisnis. Takut terjadi apa-apa. Paling tidak rumah sebagai tempat berteduh masih ada jika terjadi apa-apa dengan bisnisnya.
Asiyah mendelik sesekali kearah Umi. Asiyah hanya diam. Tidak bertanya apapun. Asiyah takut salah bicara.
Dilihatnya tangan Umi gemetar. Bergetar bibirnya, Umi tak kuasa menahan tangisnya saat menandatangani berkas-berkas perusahaan untuk terakhir kalinya.
Tidak menyangka. Sungguh tak disangka. Bangkrut? Umi masih tidak percaya. Ini tidak mungkin terjadi. Kita tidak mungkin jatuh miskin. Dicubit-cubitnya punggung telapak tangannnya. Mencoba memastikan bahwa semua ini bukanlah mimpi dan semoga Ia tidak merasakan sakit dan berharap ini semua hanyalah mimpi.
Pak Subroto merasa sangat tidak enak. Menyaksikan Umi yang biasanya terlihat bahagia dengan segala kemewahannya, kini sedang berada pada masa tersulitnya dengan kucuran air mata, kesedihan yang tampak jelas didepan matanya. Bukan. Bukan sebuah kebahagiaan lagi.
Setelah semua proses penandatangan selesai, pengacara itu pamit pulang. Tinggallah Umi dan Asiyah di ruang tamu rumah mewahnya.
Umi mendekap erat Asiyah. Menangis. Berubah merah wajah Umi yang putih itu. Bengkak matanya. Terlalu lama menangis.
Asiyah hanya diam. Walau Asiyah mengerti betul akan apa yang sedang terjadi. Asiyah pasrah tentang apa yang akan terjadi kedepannya. Asiyah sadar betul semua harta ini benar-benar hanya titipan Allah. Buktinya sekarang sudah diambil lagi. Dalam sekejap semuanya hilang.
Menghampiri Abi di dalam kamarnya. Abi masih lemah. Berbaring dikasurnya. Abi belum bisa apa-apa. Umi duduk di sebelah Abi, menatap Abi dengan berurai air mata.
Asiyah pergi meninggalkan Abi dan Umi berdua saja, setelah sejenak menatap mereka dari pintu kamar itu. Asiyah mencoba menenangkan diri di dalam kamarnya sendirian.
“Abi.. mengapa semuanya jadi seperti ini? Umi tidak kuat menghadapi semua ini sendirian,” Umi menangis sesenggukan dihadapan Abi. Menggenggam erat tangan Abi. Menatap wajah Abi. Umi sangat terkejut dengan semua keadaan ini.
Umi belum siap menerima semuanya. Umi tidak siap jika harus menanggung semuanya sendirian tanpa Abi.
Abi menatap Umi lamat-lamat. Menetes air mata dari tiap sudut matanya.
Abi tidak bisa bicara. Kali ini Abi tidak dapat menghibur istri tercintanya. Hanya do’a di dalam hatinyalah yang menjadi sehebat-hebat senjatanya dalam membantu Umi dan anak-anaknya saat ini.
Biasanya Abi lah yang menjadi pendengar setia semua keluh kesah Umi. Menjadi tempat bersandar bagi Umi.
Kini Umi harus menghadapi semua keadaannya sendirian.
Keadaan yang sangat berat menurut Umi.
Menghadapi semuanya dengan dua orang anak yang masih kecil, suami yang terbaring sakit dan Asiyah yang baru saja menduduki bangku kuliah.
Abi sangat memahami bagaimana kondisi Umi sekarang. Abi tahu betul Umi saat ini sangat tertekan. Abi mengerti betul bahwa istrinya itu adalah perempuan yang rapuh.
Dari pertama kali mengenal Umi, Abi lah yang selalu menenangkan Umi setiap kali Umi ada masalah. Masalah kecil menurut Abi, tetapi menurut Umi masalah tidak ada yang kecil, yang namanya masalah tetaplah masalah, Umi akan bersikap luar biasa dalam menghadapinya, Umi akan terus memikirkan masalah itu sampai benar-benar selesai dan tidak mengganggu pikirannya lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Vinoya Chan
aku mampir kak semangat ya 💪😊
2022-12-11
0
Maminya Nathania Bortum
hadir say
2022-10-20
0
linda sagita
salam kenal Dr " AMALIA ISKANDAR" jika berkenan kembali mampir ya AISYAH.
2022-10-09
0