Bugh!!
Bugh!!
Bugh!!
Pukulan-pukulan itu mendarat di setiap tubuh Alvian. Haris benar-benar memberinya kemarahan besar. Tentu saja! Ayah mana yang tidak marah mengetahui bahwa seorang pria merusak telah putrinya.
"Keparat! Tega sekali kamu merusak masa depan putriku!" Murka Haris. Pria paruh baya itu menarik kerah kemeja yang digunakan Alvian.
"Kenapa?! Jelaskan kenapa kamu menodainya! Kenapa kamu menghancurkan kehormatannya?"
Alvian memejamkan matanya erat. Nafasnya berderu tidak teratur. Sekuat tenaga ia melepaskan tangan Haris dari tubuhnya.
Bisa saja Alvian membalas segala perbuatan Haris itu. Namun dirinya sadar bahwa ia pantas menerima ini. Rasa sakitnya tidak akan sebanding dengan masa depan Medisya yang telah hancur karenanya.
"Saya benar-benar tidak berniat merusak Medisya. Malam itu saya mabuk, dan kebetulan Medisya masuk ke ruangan saya. Pikiran saya kalut pada saat itu!" Jemarinya bergerak mengusap darah yang mengalir dari sudut bibirnya.
"Semuanya sudah terjadi, om. Tidak ada gunanya membahas itu! Sekarang kita hanya perlu memikirkan tentang Medisya!" Seru Alvian berusaha meredakan emosi Haris.
"Saya akan menikahi Medisya! Tapi sebelum itu, Medisya akan tinggal bersama saya."
Mata Haris terbuka lebar mendengar perkataan Alvian. Pria muda itu sepertinya kehilangan akal. Dengan mudahnya ia mengatakan akan membawa Medisya pergi bahkan sebelum mereka menikah. Konyol sekali!
"Saya tidak mengizinkan kamu membawa putriku sebelum kamu menikahinya secara sah!"
Alvian berdecak sebal. "Saya akan menikahi Medisya! Tapi nanti, menikah bukan perkara mudah. Semua butuh persiapan. Untuk sementara izinkan Medisya tinggal bersama saya. Perempuan itu akan lebih aman dengan saya dibanding berada di sini. Anda bahkan tidak menjaganya dengan baik!"
"Tidak! Kalau kamu memang menginginkan Medisya, maka nikahi dia hari ini juga! Setelah itu kamu bebas membawanya pergi!"
Mata Alvian terpejam erat. Kepalanya sangat sakit sekarang ini. Ia tidak dapat berpikir jernih. Emosinya sungguh tidak stabil.
Setelah menghela nafasnya panjang, Alvian mengangguk. "Saya akan menikahinya malam ini juga. Tapi sebelum itu, izinkan saya bertemu Medisya. Saya perlu tau mahar apa yang diinginkannya," ucapnya pelan.
Sejenak Haris berpikir, namun akhirnya ia mengangguk. Dagunya terangkat, menyuruh Alvian untuk mengikutinya ke dalam rumah. Sama seperti di luar, bagian ruang tamu di rumah itu sangat sederhana. Memberikan kesan luas dan nyaman bagi siapapun yang berkunjung.
Alvian melangkah ragu saat Haris menaiki tangga. Walaupun ada rasa gugup di hatinya, Alvian memantapkan diri untuk niatnya ini. Ia benar-benar akan menikahi Medisya.
Haris membuka pintu kamar Medisya. Membuat dua orang wanita di dalamnya menoleh terkejut. Apalagi mengetahui keberadaan Alvian di belakang Haris.
"Bundaaa," rengek Medisya pelan. Perempuan itu menatap Senja dan menggeleng ketakutan.
Tanpa basa-basi Alvian menyelinap masuk ke dalam. Lalu menekuk lututnya di depan Medisya.
"Lepas!" Sentak Medisya saat Alvian memaksa menggenggam tangannya. Namun tenaganya tidak cukup kuat dibanding cekalan Alvian.
"Kita akan menikah, malam ini juga. Mahar apa yang kamu inginkan?"
Deg!
Medisya meronta histeris. Ia menatap Haris dan Senja seakan memohon pada mereka. "Aku enggak mau! Bunda, aku nggak mau menikah dengan dia! Dia jahat, Bunda!"
"Tidak ada gunanya menolak, Medisya! Anak yang kamu kandung butuh keabsahan hukum agar bisa hidup normal seperti anak-anak lainnya! Cepat katakan apa mahar yang kamu inginkan lalu biarkan Alvian mengurusnya. Lebih cepat lebih baik sebelum aib kamu ini terdengar sampai ke keluarga besar ayah!" Ucap Haris tanpa memikirkan perasaan Medisya.
Perempuan itu tidak bisa membantah. Karena sejak dulu dia tidak pernah diajarkan untuk membangkang. Apalagi mengabaikan perintah Haris. Hal itu tidak bisa ia lakukan. Medisya menatap Senja, meminta pertolongan dari wanita yang telah membesarkannya. Dan anggukan kepala Senja membuat hatinya sedikit tenang.
"Seperangkat alat solat dengan perhiasan emas saja," ucapnya sangat pelan.
Alvian yang mendengarnya sedikit tersenyum. Perasaannya sedikit lega saat ini. Ia merasa sedikit bebannya terangkat.
###
Di lain tempat, Abraham sedang menahan emosi ketika mantan sekretarisnya, Jihan, menelfon dan memberitahu bahwa Alvian tidak menghadiri rapat dengan Taman Jaya Corp.. Padahal perusahaan itu sudah menjadi incarannya sejak dua tahun lalu. Tidak mudah untuk mendapatkan kepercayaan dari pimpinan mereka.
Abraham sudah bersusah payah untuk menjalin kerja sama dengan mereka. Tapi Alvian dengan mudahnya mengacaukan semua. Anak itu sungguh keterlaluan.
"Apa dia mengatakan kemana perginya?" Tanyanya pada Jihan di sebrang telepon.
"Pak Alvian hanya mengatakan ada urusan yang harus diselesaikan. Beliau bilang akan kembali sebelum rapat dimulai. Tapi sampai sekarang saya tidak bisa menghubunginya."
Abraham menggeram kesal. Ia membanting ponselnya ke dinding sampai benda itu tidak berbentuk. Hal itu berhasil menarik perhatian sang istri.
Melinda mengusap bahu Abraham. Guna memberi ketenangan. "Ada apa?" Tanyanya setelah berhasil membujuk Abraham untuk duduk.
"Anak kamu itu merusak segala usahaku," ucapnya.
Memang Abraham selalu menyebutkan bahwa Alvian hanya anak Melinda ketika ia marah. Pria itu enggan mengakui anaknya sendiri.
"Anak kita, mas," balas Melinda mengingatkan walaupun Abraham mengabaikannya.
"Dia sudah berjanji untuk mengembangkan perusahaanku. Tapi kelakuannya yang seperti ini membuatku ragu. Baru beberapa bulan dia menjadi penggantiku, dan sikapnya sudah semena-mena seperti ini!"
"Nggak boleh berpikiran buruk seperti itu, mas. Mungkin Alvian ada urusan yang lebih mendesak jadi--"
"Tapi dia harus bisa mendahulukan mana urusan yang lebih penting!"
Abraham sudah akan melanjutkan, tetapi suara pintu utama yang terbuka berhasil menghentikannya. Ia segera menuju ke ruang tamu. Benar dugaannya, Alvian datang. Emosi Abraham semakin memuncak ketika melihat wajah Alvian yang penuh lebam.
"Oh! Jadi kamu meninggalkan rapat penting hanya untuk berkelahi? Kamu ingin menjadi jagoan lagi seperti saat sekolah?" Sindir Abraham.
"Maaf."
Hanya itu yang bisa dikatakan Alvian. Ia bahkan tidak cukup keberanian untuk menatap Abraham, apalagi Melinda yang berdiri mendampingi suaminya.
"Apa kamu pikir maafmu bisa mengembalikan keadaan?" Tanya Abraham.
Sedangkan Alvian terkekeh masam. Merasa ambigu dengan pertanyaan Abraham. Kata-kata itu juga terlontar dari mulut Medisya saat ia meminta maaf.
Abraham menghela nafasnya. Ia mendudukan dirinya di sofa dan memandang Alvian lekat.
"Jelaskan!" Titahnya. Ya, semarah apapun dirinya, Abraham tetap akan mendengarkan alasan Alvian.
"Vian,,, memperkosa seorang gadis."
Bugh!!
Satu pukulan Alvian dapatkan dari Abraham. Sedangkan Melinda luruh ke lantai sembari memegang dadanya yang sesak. Ia menatap Alvian tidak percaya.
Melihat Abraham sedang menetralkan nafasnya membuat Alvian memejamkan matanya erat. Ia tau, Abraham sedang menunggu kelanjutannya.
"Kejadiannya dua minggu lalu. Vian sudah berusaha menghubungi gadis itu, tapi dia selalu menghindar. Jadi hari ini Vian ke rumahnya."
Alvian mengusap wajahnya kasar. "Beruntung karena Vian sampai tepat waktu. Karena ayahnya hampir mengusir gadis itu karena kehamilannya."
Tidak ada yang tau bahwa sekarang Abraham sangat ingin memukul Alvian lagi.
"Gadis itu tidak pernah mengatakan kejadian itu pada orang tuanya. Dia juga menyembunyikan identitas Vian."
Alvian berhenti, ia rasa penjelasannya sudah cukup dimengerti oleh Abraham.
"Vian akan menikahinya malam ini juga. Tolong bantu Vian," ucapnya kemudian berlalu ke kamarnya.
###
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
⏤͟͟͞R. ALICE off
aslinya vian itu baik ya.
2021-02-22
0
Hiskia Midah
kasih kabar ya Thor kalo sudah up
2021-01-28
0
Ayy_
Harga diri Laki² itu tanggung jawabnya.
2021-01-26
0