Sudah dua minggu sejak kecelakaan waktu itu. Tapi sampai sekarang tidak ada perubahan apapun dengan status mereka. Alvian sudah berusaha membujuk Medisya agar mau menikah dengannya. Namun gadis itu selalu menolak, bahkan menghilang darinya.
Seharusnya Alvian bersyukur karena tidak perlu bertanggung jawab. Namun hatinya sangat gelisah. Mau bagaimanapun Medisya harus mendapatkan pertanggung jawaban. Gadis itu kehilangan masa depannya karena Alvian.
Tangan Alvian meremas selembar kertas pengunduran diri atas nama perempuan itu. Ia mendapatkan surat itu dari sekretarisnya pagi ini. Padahal Alvian sudah sangat berharap Medisya masuk kerja. Ia ingin berbicara dengan perempuan itu.
Mau tidak mau Alvian harus membatalkan rapatnya hari ini. Sudah cukup rasa pengecut menguasai otaknya sendiri. Ia harus menemui Medisya. Ah tidak, mungkin Alvian harus menemui orang tua Medisya dan menceritakan kebenarannya. Dengan begitu mereka dapat memaksa Medisya untuk menikah dengannya.
"Jihan, tolong kosongkan jadwal saya hari ini," titahnya pada Jihan yang sedang sibuk membuat laporan harian.
"Maaf, Pak Alvian. Tapi rapat dengan Taman Jaya Corp. tidak dapat diwakilkan."
Alvian mendesah kecil. Taman Jaya Corp. merupakan perusahaan yang hampir setara dengan perusahaannya. Sejak dulu ayah Alvian selalu berusaha untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan itu. Tidak mungkin ia meninggalkan pertemuan penting itu. Ia tidak ingin mengecewakan usaha ayahnya.
"Jam berapa pertemuannya?"
"Persiapan dimulai pukul satu, mungkin Pak Alvian harus hadir pukul setengah dua," jawab Jihan.
Alvian melirik jam tangannya yang masih mengarah ke angka 10. Masih ada waktu, dan itu lebih dari cukup untuk menyelesaikan masalahnya.
"Ada keperluan yang harus saya selesaikan. Saya usahakan akan kembali sebelum rapat dimulai."
Jihan mengangguk paham. Setaunya atasan mudanya itu tidak pernah melanggar ucapannya sendiri. Jadi ia tidak perlu khawatir tentang rapat nanti.
Alvian bergegas menuju rumah Medisya. Di jalan, pria itu harus membuka google maps karena ia tidak begitu tau jalan ke rumah Medisya. Waktu itu Medisya memintanya untuk menurunkan perempuan itu di perempatan besar yang jaraknya masih sangat jauh dari rumahnya. Alvian sudah memaksa Medisya untuk menunjukan rumahnya, namun perempuan itu bersikeras untuk menolak.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam, Alvian sampai di perumahan kecil. Pria itu turun dari mobilnya dan menghampiri satpam yang sedang mengobrol dengan temannya, mungkin.
"Permisi," sapa Alvian sopan. Membuat kedua pria paruh baya di depannya tersenyum.
"Saya sedang mencari alamat rumah Medisya Laluna. Apa anda bisa menunjukannya?"
Dapat Alvian lihat satpam itu mengernyit heran. Namun beberapa detik setelahnya pria itu bersorak keras.
"Oh, anaknya Pak Haris! Rumahnya di sana, Mas." Tangan tua itu menunjuk ke ujung jalan. "Rumah ke dua dari pojok sana. Sebelah kiri."
Mengerti dengan penjelasan satpam itu, Alvian segera mengucapkan terima kasih dan kembali ke mobilnya. Ia langsung menuju rumah yang ditunjukan tadi.
Alvian membuka kaca jendela mobilnya begitu sampai di depan rumah Medisya. Rumah minimalis berlantai dua itu terlihat sangat sepi. Namun pagar besinya terbuka lebar.
Baru saja Alvian hendak turun dari mobil, namun pemandangan yang ia lihat berhasil melumpuhkan sistem pergerakannya untuk beberapa detik.
Di sana, di halaman rumah Medisya, perempuan itu tersungkur karena dorongan dari seorang pria, mungkin ayahnya.
"Ayah, kumohon percayalah! Aku diperkosa!" Teriak Medisya.
"Kalau begitu katakan siapa orangnya! Kenapa kamu hanya diam, hah? Kamu ingin melindungi orang itu? Aku tidak akan percaya padamu! Aku yakin kamu bahkan tidak tau siapa ayah dari anak itu!"
Tubuh Alvian benar-benar menegang. Anak itu? Kepalanya menggeleng. Apa maksudnya?
"Mas, udahlah! Medisya bukan wanita sembarangan! Dia--"
"Tapi dia hamil, Senja! Apa selama ini dia menunjukan tanda-tanda bahwa dia diperkosa? Tidak! Dia bahkan masih bisa pergi ke rumah teman-temannya!"
Haris membentak istrinya yang terus saja membela Medisya. Padahal sudah jelas Medisya melakukan kesalahan besar. Perempuan itu hamil, tapi ia tidak mau menunjukan identitas ayah dari anak yang dikandungannya.
Sementara itu Alvian kembali mendapatkan kesadarannya ketika Medisya merintih kesakitan. Haris menendang Medisya ketika perempuan itu memohon di kakinya.
Rahang Alvian mengeras. Ia bahkan hampir lupa dengan niat awalnya untuk kemari. Yang Alvian lakukan sekarang adalah berlari dan merengkuh tubuh kecil Medisya.
"Siapa kamu?!" Seru Haris menatap tajam Alvian.
Namun Alvian mengabaikannya. Ia justru semakin mengeratkan pelukannya ketika Medisya memberontak.
"Lepaskan aku, brengsek! Untuk apa kamu ke sini?! Aku tidak butuh rasa kasihanmu!" Seru Medisya.
"Aku bertanya padamu, tuan muda," ucap Haris dengan penekanan di setiap katanya.
Alvian yang mendengar itu menoleh malas. Matanya memerah, jelas sekali ia sedang menahan emosinya.
"Saya atasannya!"
Entah mengapa kata-kata itu yang terucap dari bibir Alvian. Padahal hatinya ingin sekali berteriak bahwa ialah yang memperkosa Medisya.
"Oh lihat! Bahkan atasan kamu sendiri berani membela kamu! Apa yang sudah kamu beri untuk pria ini? Tubuhmu?"
"Ayah," lirih Medisya di antara tangisnya. Hatinya sakit karena Haris terus menuduhnya melakukan hal-hal hina.
"Masuk ke mobilku," titah Alvian. Menarik paksa Medisya untuk berdiri.
"Aku enggak mau! Lepaskan aku!" Medisya menatap kedua orang tuanya. Mengharap belas kasihan dari mereka. "Ayah, bunda, tolong. Aku takut padanya," lanjutnya lirih.
Haris mencekal tangan Alvian kuat. Menghentikan pria itu menyeret Medisya. "Atas hak apa kamu membawa perempuan ini?" Sarkasnya.
Alvian mendengus kecil. Sejenak ia memejamkan matanya untuk berpikir jernih. Kembali mengingat niatnya ke sini untuk membujuk Medisya agar mau menikah. Jadi Alvian tidak akan menyia-nyiakan waktu lagi. Ia akan mengatakan kebenarannya.
"Saya ayah dari anak yang dikandung Medisya. Saya yang menodainya dua minggu lalu." Bahu Alvian naik-turun tidak teratur. Rasa marahnya muncul apalagi melihat Medisya merintih kesakitan di bagian perutnya.
"Sudah jelas bukan? Sekarang saya akan membawa Medisya pergi!"
"Tidak!" Seru Medisya. "Bunda tolong, Medisya takut! Dia jahat, bunda," ucap Medisya memelas pada Senja.
Yang ia tau Senja sangat menyayanginya. Bahkan dari sorot matanya, wanita itu sangat ingin menolng Medisya. Tapi ia tidak bisa karena Haris terus saja mencegahnya.
Melihat ketakutan Medisya dan keberanian Alvian membuat pikiran Haris kalut. Ia menatap Medisya lekat. Selama ini anak itu tidak pernah melakukan kesalahan yang membuatnya semarah ini. Tapi tadi pagi, Medisya pingsan. Kata dokter yang memeriksanya, Medisya hanya mengalami gejala cemas karena kehamilannya yang pertama. Apalagi di usianya yang terbilang muda.
Hal itu membuat Haris sangat-sangat marah. Ia berpikir bahwa selama ini Medisya salah pergaulan. Semua kebaikan Medisya hilang dari memorinya. Digantikan dengan pikiran buruk tentang Medisya.
"Senja, bawa Medisya masuk," ucap Haris dengan intonasi rendah. Jelas sekali Haris sangat marah saat ini.
"Tidak!" Alvian menahan lengan Medisya kuat. Tidak peduli dengan rintihan Medisya.
"Saya tidak mengizinkanmu membawa Medisya, sebelum kamu menikahinya."
Saat itu juga genggaman tangan Alvian terlepas dari lengan Medisya. Melihat itu, Senja langsung menarik anak perempuannya untuk masuk ke dalam rumah.
Mata Haris menatap Alvian nyalang. Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal kuat. Memperlihatkan garis otot di tangannya. Belum sempat Alvian mengucapkan sepatah kata, tangannya sudah terangkat dan--
Bugh!!
--ia memukul Alvian dengan segala kemarahannya.
###
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Joen Marlina Lengkey
lanjut
2021-04-05
0
Syavira Vira
hemmmm
2021-01-16
0
faizza
baru mampir,,langsung suka,cerita sama tulisannya bagus,,nyaman dibaca
2021-01-12
0