Happy reading!
.
***
Karena dia sangat baik, maka aku memilih untuk tidak memilikinya.
Lea Alayra, After Yesterday.
---
Lea meringkuk di balik selimut tebal miliknya, memeluk erat tubuh yang sudah sangat ternoda. Rasa sakit di sekujur tubuhnya melebih sakit di dada. Lea kembali terluka.
Lelaki asing itu berulang kali menidurinya, memaksakan kehendak. Dan dengan kejam menyiksa fisik juga batinnya.
"Jalaang, aku membencimu ...."
Kalimat itu terus menggema di kepala Lea. Menusukkan ribuan belati ke dalam dadanya, menyiksanya perlahan. Membuatnya mati dalam kebencian pada diri sendiri.
Lea benci dirinya sendiri yang tidak bisa apa-apa ketika lelaki itu melakukannya dengan kasar. Lea tahu, itu pelecehan. Namun, pada siapa dia harus mengadu.
Semua orang tidak akan percaya. Pekerjaannya di bar menimbulkan banyak tanya, tapi hanya pekerjaan itu yang membayarnya dengan harga fantastis, tanpa memandang latar edukasi.
Lulusan sarjana tapi berakhir di tempat seperti itu. Lea menyeringai miris, menertawakan dirinya yang harus berakhir di tempat yang begitu. Lima bulan bukan waktu yang singkat berada di antara para singa kelaparan.
Seseorang yang membuatnya harus pergi dari kota asal, melarangnya menggunakan nama keluarga, bahkan identitas aslinya harus disembunyikan. Lea tidak punya pilihan, pekerjaan apapun harus dia dapatkan demi menyelesaikan tantangan.
Namun sekarang, Lea seolah tidak punya kekuatan. Seluruh tubuhnya hancur remuk, bergerakpun hampir tidak sanggup. Ketika bunyi pintu apartemennya terbuka kasar, Lea sudah tahu siapa penyebab tanpa membuka mata.
"Apa yang terjadi padamu, Bodoh? Kenapa kau sakit lagi?"
Seorang gadis sebaya dengannya, dengan seragam khas dokter, dengan wajah panik menyibakkan selimut yang membungkus kulit Lea.
Lea tidak menjawab, dia sibuk menutupi tubuhnya dengan kain yang ditarik gadis itu.
"Jawab aku, Bodoh! Apa yang terjadi? Kenapa kau terluka? Siapa yang melakukan ini padamu?"
Rentetan pertanyaan dari gadis itu membuat Lea menitikkan air mata. "Kenzie, aku tidak berguna ...," lirihnya kemudian.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kenapa kau terlihat seperti telah disiksa?"
Kenzie membuka kotak medisnya, mengobati luka seluruh tubuh Lea dan memaksanya memakan obat.
"Seorang iblis melakukan itu padaku. Kenzie, katakan padaku, apa yang harus aku lakukan?" Lea bertanya dengan lemah, matanya tertutup rapat dengan buliran kristal terus berkejaran.
Kenzie menatap nanar pada luka di sekujur tubuh Lea, meringis takut karena terlalu banyak. "Dia menggunakan kekerasan. Siapa bajingann itu?"
Lea menggeleng, tidak berniat mengetahui siapapun orang itu atau sekadar mengingatnya lagi. Tersiksa dalam kehancuran, Lea kembali menangis.
"Aku tidak mengenalnya, Kenzie. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mungkin berhenti sampai di sini saja, Jullian pasti akan merobek jantungku kalau dia tahu aku kalah."
Kenzie menghela napas kesal. Keadaan Lea sungguh memprihatinkan, tidak hanya fisik tapi batin juga tersiksa.
"Kau sudah melangkah jauh, tidak ada jalan untuk berbalik sekarang. Tapi kau bisa memilih berhenti dari pekerjaan yang menakutkan itu."
Lea kembali menggeleng, tidak mungkin baginya berhenti. Menjadi bartender satu-satunya pekerjaan yang dia selami, juga yang tidak membutuhkan kualifikasi dalam bekerja.
Tanpa identitas yang sebenarnya, Lea tidak bisa menemukan pekerjaan yang layak dengan pendidikannya. "Jullian menutup semua akses masuk ke semua perusahaan, kau tahu itu, Kenzie."
Lea menutup matanya kala rasa nyeri dari luka itu mendera.
"Apa kau akan berpura-pura kuat saja dengan keadaan yang seperti ini? Aku tahu kau tidak mudah menyerah, tapi jangan paksakan dirimu."
"Aku bisa berpura-pura tidak terjadi apapun semalam. Sudah 'kan? Kau bisa pergi sekarang, aku sudah tidak apa-apa."
Lea menatap manik Kenzie, memohon pada gadis itu untuk segera pergi dari tempatnya. Belum sempat Kenzie beranjak, ketukan pintu apartemen terdengar.
"Lea, itu pasti Hunter."
Lea menatap nanar pada pintu kayu yang membatasi dirinya dengan seseorang di luar. "Suruh dia pergi," ucapnya dingin pada Kenzie. "Dan kau juga pergi sekarang."
Kenzie berdiri, tanpa berbalik, dia berucap. "Apa kau tidak bisa mempertimbangkan dengan menjadi wanita Hunter? Dia pria yang baik, kau akan menjadi wanita terbahagia sedunia jika berhasil melakukannya."
"Dia miskin, aku membutuhkan pangeran berkuda putih dengan sepotong kartu hitam di tangan," ketus Lea.
Karena dia sangat baik, maka aku memilih untuk tidak memilikinya. Aku membayangkan bagaimana aku akan mati dalam rasa malu jika dia memiliki wanita sepertiku.
***
Lagi-lagi suasana yang menyebalkan ini menanti manik hitamnya. Dua pria menatapnya dengan tatapan aneh dan menjengkelkan. Leon dan Bryan.
William hampir menutup kembali pintu apartemennya jika saja kaki Leon tidak cepat mengganjal dan langsung menerobos masuk. "Enyahlah, aku tidak memiliki minuman di sini."
"Ayolah, aku sedang bertengkar dengan Maddie, biarkan aku menginap di kamarmu," ucap Leon memohon.
Bryan tertawa mengejek. "Itu alasan yang konyol, Leon," ucapnya. "Aku ke sini menemani Leon jangan sampai dia bunuh diri karena frustasi." Bryan memberikan alasannya ke sini.
"Ayolah, itu juga alasan yang konyol, Bryan," ejek Leon.
Keduanya langsung menyerbu minuman bersoda di kulkas William, tanpa memedulikan tuan rumah yang menatap marah pada mereka.
William mengepalkan tangan, bersiap memberikan pukulan ke wajah kedua temannya jika memporak-poranda apartemennya.
"Aku akan membunuhmu kalau berani mengacaukan tempat ini, Leon."
Leon tertawa hambar. "Aku hanya ingin tidur setelah minum ini," ujarnya dan meminum minuman bersoda di tangannya sampai habis.
Tanpa peduli lagi dengan wajah marah William, Leon berlalu ke tempat biasa dia berdiam diri.
Menghembuskan napas pasrah, William duduk di sofa dan memijat keningnya, menatap Bryan dengan wajah datar. "Leon mengatakannya padamu?"
"Kenapa kau melakukannya?" Bryan langsung ke inti.
"Hanya bermain-main."
"Come on, Dude. Kau tidak pernah bermain dengan wanita, bahkan dengan Kelly kau tidak pernah melakukannya. Apa kau menyukainya?"
Meski konyol dan menyebalkan, Bryan tidak bodoh seperti Leon. Bisa dibilang otaknya masih sedikit waras dibandingkan dengan Leon. Sedikit lebih dewasa dari umur yang terpaut beberapa tahun di bawahnya.
"Apa aku akan menyukai wanita sampah sepertinya? Itu seperti mimpi buruk musim dingin ini, Bryan. Aku membencinya, bahkan aku ingin sekali membunuhnya dengan sekali cekikan."
Tidak ada yang memahami apa yang ada di otak William selain Bryan. Dia menatap mata hitam milik William tanpa kedip.
"Dia tidak seperti ekspetasimu?"
"Wanita jalaang," ucapnya. Mata hitamnya menajam, mengingat kejadian semalam yang mengganggu pikiran.
Bryan tidak peduli dengan ekspresi William, hanya menanyakan apa yang ingin dia ketahui. "Bagaimana kau tahu dia sudah tidak perawan? Kau tidak pernah bercinta sebelumnya."
William melihat seringai tipis di bibir Bryan. Dia tahu teman bangkainya ini mengejek kekakuannya.
"Aku tidak bodoh, otakku masih menyimpan teori penting."
"Teori tidak sama dengan praktek. Ada kecelakaan yang tidak bisa diprediksi yang merobek selaput milik para gadis, tidak hanya pria yang melakukannya. Kau tidak sebodoh itu untuk menutup mata hatimu terhadap perempuan 'kan?"
Mata William menatap Bryan dengan tajam. "Aku tahu mana ladang yang baru dan mana yang sudah pernah digarap, Bodoh."
"Tapi kau menyiksanya, Will. Kau tidak rela kalau Nath juga mengalami hal yang sama dengan wanita itu, bukan? Dia mungkin punya keluarga yang akan membalas dendam padamu. Ayolah, kau tidak sekejam ini sebelumnya."
"Nath-ku tidak akan mengalami ini, aku akan membunuh setiap pria yang berani menyentuhnya."
"Itu juga yang akan dipikirkan ayah wanita yang kau tiduri, dia tidak akan terima kalau anak perempuannya diperlakukan seperti itu. Atau mungkin kakak laki-laki sepertimu."
William menggeram kesal, ingin sekali memukul wajah Bryan yang seolah menyalahkan perbuatannya.
"Dia jalaang sebelum aku menidurinya, untuk apa aku menyesal telah menyiksanya? Itu setimpal. Bagus juga kalau ayahnya mendatangiku, biar dia tahu se-jalaang apa anak perempuannya, putri yang dia anggap sebagai gadis perawan."
"Itu bukan pemikiran orang dewasa, Dude."
William memukul meja membuat Bryan mengerjap kaget. "Aku memang tidak dewasa, apa kau puas?! Aku ingin menyiksa dan membunuhnya perlahan di tanganku. Aku ingin dia merasakan bagaimana wanita jalaang sepantasnya diperlakukan."
.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Asni J Kasim
Crazy Up kakak 😘😚
2020-11-29
1