Happy reading!
.
***
Rambut merah gadis cantik yang memiliki lesung di kedua pipinya dihembuskan angin, membuat wajah mungilnya terlihat jelas.
Dengan berlari kecil, kaki mulus tanpa cela itu memasuki sebuah coffeeshop. Dagunya terangkat, menunjukkan betapa berkuasanya dia di dunia yang fana ini.
Tidak takut apapun, Lea sedikit menghentakkan kakinya saat berjalan. Membiarkan bunyi derap langkah itu menjadikannya pusat perhatian lagi.
Ke manapun Lea pergi, semua mata selalu tertuju padanya. Hal itu membuatnya merasa sempurna. Di bawah langit tempatnya berpijak, semua mata tunduk padanya.
Tidak ada yang tidak bisa dimiliki Lea di dunia ini, termasuk seorang pria tampan yang duduk di sudut ruangan, dengan secangkir kopi menemani. Duduk tegap disertai senyuman manis di bibir merahnya, Lea menghampiri.
"Kau sudah lama menunggu? Sorry, I'm late." Lea tertawa pelan, berusaha merendahkan diri di hadapan sang kekasih.
"Aku tidak sabar ingin bertemu denganmu. Jadi, di sinilah aku, menunggu dengan sabar pemilik hatiku."
Lea tersipu. Meski kekasihnya tidak seromantis adegan di film romantis yang selalu dia ditonton, Lea merasa bahagia. Dengan senyum manis di bibir kekasihnya saja, dunia Lea seakan sudah hancur karena bahagia.
"Kau ... apa yang kau katakan, Harry?"
Lea memalingkan wajahnya yang sudah memerah. Hanya dua kata 'pemilik hati', jantung Lea sudah berguncang hebat. Debar tidak karuan, membuatnya ingin sekali memukul kepala Harry.
"Kau mencintaiku, hatiku milikmu, Lea," jawab Harry dengan senyum biasa.
Lea mengangguk dengan sisa rona merah di pipinya, duduk dan ikut menikmati kopi milik sang kekasih.
"Astaga, kau sangat suka mengambil minumanku tanpa izin," protes Harry pelan.
"Kita pacaran, Harry."
"Baiklah, kau menang."
Lea terkekeh melihat wajah tampan Harry yang mengerucut. Karena tangan dan bibirnya tidak bisa diam, Lea mendekat dan mencium bibir Harry, menyeka sisa lipsticknya dari sana dengan ibu jari.
"Bagaimana liburanmu di Toronto?"
"Tidak sebaik bersamamu."
Kembali lagi pipi Lea merona, kali ini lebih mendalam. Bahkan dirinya sangat malu-malu berhadapan dengan Harry. Padahal biasanya Lea seperti kancil liar yang berlarian ke sana ke mari, memamerkan kecantikan dan kemewahan yang dimiliki.
"Kau sekarang pandai merayu, Harry. Apa kau kursus pribadi selama di sana?"
Bibir pria itu terangkat, lalu mengacak rambut Lea. "Apa aku terlihat berbeda?"
Mata Lea menangkap ada yang berbeda di tubuh Harry. Dia baru sadar. "Tanganmu ditato? Kenapa?"
Harry mengedik acuh. "Hanya ingin, dan ternyata lebih keren kalau punya tato," ujarnya.
Lea mengerucut, dipandangnya kembali tangan kekar bertato itu. Karena penasaran, Lea menarik tangan Harry dan menyentuh permukaan kulit yang ditato.
"Aku pikir ini akan terasa kasar seperti bekas luka, ternyata begini."
Lea menilai permukaan kulit tangan Harry, lembut dan kekar seperti biasa. Tidak ada yang mengganggu indra peraba.
"Ke mana kau akan mengajakku hari ini? Kita masih punya waktu sampai matahari terbenam sebelum Kak Jullian memotong leherku."
"Apa Jullian masih tidak mengizinkanmu berkencan denganku?"
Lea mengangguk lemah. Jullian, sang kakak menentang hubungan antara dia dan Harry. Melarangnya melakukan apapun yang berhubungan dengan Harry, tapi Lea terlalu mencintai Harry hingga tidak mengindahkan larangan Jullian.
"Kau tahu itu, Harry."
Pria bertato itu tersenyum tipis. Dia menggenggam tangan Lea dan menenangkan hati Lea. "Selama kita bersama, tidak ada yang akan bisa memisahkan kita, Lea."
Sekali lagi jantung Lea tidak tahu malu. Berdebar sangat kencang bahkan terdengar sampai ke telinga Harry.
"Kau masih polos seperti dulu, Lea. Jantungmu berdebar lagi." Harry menyeringai.
Bibir Lea tersenyum malu-malu, menggenggam tangan Harry dan menatap dalam mata Harry. "Itu karena aku mencintaimu, Harry. Aku mencintaimu dengan seluruh jiwaku."
Tidak disadari, Harry mengecup pipi Lea. Pertama kalinya setelah mereka resmi menjadi kekasih, Harry berinisiatif lebih dulu. Biasanya Lea yang selalu memaksa untuk mecium Harry.
"Berhenti mengatakan itu, aku mengetahuinya."
***
Senja yang singkat di mana bentangan alam menjadi tempat utama terpecahnya kembang api di langit berbintang. Musim panas hampir berakhir, kota San Diego meramaikannya dengan festival kembang api.
Lekukan bibir disertai tangan yang tidak henti merangkul lengan sang kekasih, Lea melirik banyak mata para bunga lotus yang tidak lepas dari wajah tampan Harry.
Hal yang sama selalu terjadi, kecemasan Lea bertambah. Wajah tampan Harry tidak bisa ditutupi, banyak gadis remaja lainnya yang menginginkan.
"Kau sangat tampan, bisakah kau menutup wajahmu?" Lea memberikan saran protes yang dibalas senyuman tipis oleh Harry.
"Bagaimana dengan pindah tempat?" tanya Harry.
Lea membeo bodoh. "Pindah tempat?"
"Ya, ke tempat yang tidak ada orang, hanya ada kau dan aku."
Tanpa berpikir panjang, Lea mengangguk antusias. "Asal tidak ada yang mengintip ketampananmu. Kau tahu tempatnya?"
Harry menarik tangan Lea dari kerumunan, memecah fokus para gadis yang menatapnya dengan mata lapar.
"Kita ke mana? Kenapa kau menarikku ke lorong seperti ini?"
Lea mengikuti langkah sang kekasih, membelah kerumunan dan menuju sebuah lorong yang gelap. Hanya cahaya redup lampu rumahan yang menjadi penerang utama.
Tepat di depan sebuah bangunan kecil bertuliskan motel, Harry menghentikan langkahnya membuat Lea mengerutkan kening.
"Motel?" gumamnya.
"Kau mencintaiku 'kan?"
Lea mengangguk dan tersenyum manis hingga lesung di kedua pipinya terlihat. "Lebih dari apapun," ucapnya.
"Maka buktikan cintamu padaku sekarang."
Tidak terlintas sedikitpun pikiran buruk di otak Lea, dia mencintai Harry, memercayai pria itu sampai otaknya ikut bodoh.
Hanya beberapa kalimat rayuan dari pria itu, Lea menyerahkan diri dan kehormatannya. Lea tidak menyadari apa artinya menjadi seorang gadis perawan, Lea tidak paham seberapa berharganya kehormatan yang direnggut oleh sang kekasih. Yang dia tahu hanya kesenangan sesaat untuk penyatuan tubuh mereka.
Malam itu, malam panjang yang menjadi racun dalam hidup Lea, menghancurkannya dalam sekejab, membunuh semua perasaannya terhadap sebuah perasaan yang bernama cinta.
Kalimat Harry menjadi bumerang dalam hidupnya setelah malam itu. Harinya yang berwarna menjadi kacau, hitam kelabu dan penuh air mata.
"Kau mencintaiku, Lea. Tetaplah seperti itu sampai kau mati, cintai aku dengan segenap jiwa dan ragamu. Cintai aku sampai kau gila, lakukan itu dengan sepenuh hati. Kau akan mengingatku sebagai kekasih pertama sampai mati, karena selamanya aku tidak akan pernah mencintaimu. Gilalah dalam cinta untukku!"
Menangis bukanlah penyelesaian yang benar. Tidak ada waktu bagi Lea untuk menangis. Hatinya hancur, tapi bukan berarti dia menyerah untuk hidup.
Bunuh diri karena patah hati juga bukan langkah yang patut dilakukan. Lea sadar betul dalam kehancurannya, masih ada orang tua yang menyayangi, seorang kakak laki-laki yang melarangnya jatuh cinta pada Harry. Mengakhiri hidup hanya untuk orang yang goblokk, Lea bukan tipe orang yang seperti itu.
Dalam kesehariannya karena waktu yang bergulir cepat, Lea berubah menjadi orang yang pendiam. Tidak ada lagi Lea yang ceria seperti dulu. Hanya kesadarannya yang mengambil alih hingga dia masih berpikiran sehat, tidak mengambil jalan pintas seperti kebanyakan orang patah hati.
.
---
Bonus visual
Lea & Harry
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Deechalista Hutapea
kirain cerita Alita dan Diego..
kisah Alita dan Diego kpan thor...
2020-11-26
3
альфа
😂😂😂
2020-11-26
1
альфа
em si JB toh jadi Harry nya😂😂
2020-11-26
1