Chapter 4

Lionara menatap gedung pencakar langit di depannya dengan perasaan yang berkecamuk. CHRISTOPER’S CORPS. Berulangkali dia melihat kartu nama milik pria yang bersedia membayarkan utangnya itu—memastikan

jika dia tidak salah alamat. Namun untuk kesekian kalinya lokasi tempat dimana ia berdiri sekarang adalah benar adanya, bahwa gedung di depannya ini adalah milik pria asing itu, setelah tadi dia sempat  juga menanyakan pada satpam yang berjaga disana.

Sudah dua hari berlalu, ia berusaha mengurungkan niat untuk datang ke tempat ini. Berusaha sekuat tenaga ia berkeliling untuk mencari pekerjaan tapi hasilnya tetap sama. Ia ditolak dengan berbagai alasan yang hampir sama—tidak memiliki ijazah akhir sampai SHS, sedang dia hanya lulusan JHS. Pekerjaan yang berhasil ia dapat hanya seputar mencuci dan menyetrika pakaian dari beberapa rumah serta kembali memungut barang bekas. Tapi upah dari kerja serabutan tersebut sampai kapan pun tidak akan pernah cukup membayar hutangnya. Belum lagi ketika mengantarkan Leon ke sekolah tadi, ia diberikan surat peringatan untuk segera membayar biaya administrasi Leon yang telah menunggak empat bulan. Jika tidak segera dibayarkan dalam bulan ini, pihak sekolah akan segera mengeluarkan Leon dari sekolah.

Mengingat semua itu tanpa sadar Lionara meremas kuat kartu nama di tangannya. Ia tidak punya pilihan lain lagi. Entah apapun persyaratan yang akan di ajukan pria asing itu ia sudah siap, sekalipun harus mengorbankan harga dirinya. Lionara sudah pasrah jika memang nanti tubuhnya lah yang akan ia korbankan. Sejak dulu takdir

memang selalu sekejam ini padanya, mendesaknya hingga nyaris tak berdaya lagi.

Lionara berjalan di dalam lobi yang sangat luas—terlalu luas hingga membuat Lionara tampak jelas sangat kampungan karna terus mendongak memperhatikan sekitar, banyak mata memandangnya heran atau bisa dibilang terkesan mengejek. Mungkin karena pakaiannya yang sangat lusuh, jauh melebihi standart orang-orang yang berada disini. Kaos putih dibalut luaran kemeja panjang tangan yang tidak dikancing dengan lengan yang digulung sampai siku, celana jeans yang memiliki sobekan di bagian lutut serta sepatu convers usang. Sedang rambut bergelombang panjangnya di ikat kuda.

“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” tanya salah satu wanita dibalik meja resepsionis.

“Ya, saya ingin bertemu dengan orang yang ada di kartu nama ini” jawab Lionara sedikit kikuk sambil menyerahkan kartu nama yang sedikit lecek akibat remasan tangannya tadi.

Wanita itu menerimanya dan segera membaca nama yang tertera disana. Lalu entah mengapa wanita di depannya mengangkat alis, memperhatikan Lionara dari atas hingga bawah.

“Tuan Jordan Matthew Christoper. Anda yakin ingin bertemu beliau?”

Lionara mengangguk, “Iya. Apakah saya bisa bertemu dengannya?”

“Anda sudah membuat janji dengan sekeretaris  Tuan Jordan untuk bertemu?”

Lionara menggeleng lambat,

“Maaf, nona, untuk bertemu dengan Tuan Jordan, anda harus membuat janji terlebih dahulu. Silahkan kembali jika anda sudah melakukannya.”

“Tapi orang itu sendiri yang meminta saya datang ke tempat ini,” tanpa sadar Lionara menyahut tinggi.

Wanita di depannya menghela napas kasar, “Anda harus mengikuti prosedur yang sudah ada. Beliau adalah pemilik perusahaan ini. Tidak sembarangan orang yang bisa bertemu dengannya jika tidak orang-orang penting!”

“Ini memang benar-benar penting. Tolong biarkan saya bertemu dengannya” pinta Lionara masih bersikeras.

Wanita di depan Lionara memutar bola mata jengah. Mulai menghilangkan wajah manis yang sempat ia tunjukkan. “Silahkan anda pergi sekarang, sebelum saya memanggil petugas keamanan.”

“Saya tidak akan pergi sebelum bertemu dengan beliau!”

Wanita itu menatap Lionara sinis, mulai kehilangan kesabaran. Lionara bergeming, tidak terpengaruh dengan perubahan wanita itu. Lalu wanita itu sibuk mengangakat telepon dan meletakkannya pada telinga sebelah kanan. Lionara masih berusaha berpikir positif, mungkin wanita itu sedang menelepon sekeretaris lelaki yang akan ia temui. Namun rupanya ia salah. Sesaat setelah wanita itu meletakkan gagang telepon, dua satpam datang dan langsung mencekal masing-masing tangannya, hendak membawa paksa ia keluar.

Lionara memejamkan mata, umpatan dalam kepala sudah siap meluncur—mencaci maki wanita kurang ajar di depannya itu. “Apa-apaan ini?! saya tidak akan keluar dari sini sebelum bertemu dengan pria yang bernama Jordan itu!” bentak Lionara memberontak kuat ditengah tarikan paksa kedua satpam berbadan besar itu. Suaranya yang

lantang itu membuat mereka menjadi pusat perhatian orang-orang disana. Tapi Lionara tidak peduli akan hal itu. Ia terus memberontak melepaskan diri.

“Bekerjasamalah Nona! Sebelum anda kami lapor ke pihak yang berwajib karna telah membuat keributan ditempat ini!” bentak salah satu satpam yang mulai habis kesabaran. Gadis ini lumayan kuat.

“Aku tidak peduli!” balas Lionara berteriak. Rasa frustasi sudah memenuhi kepalanya hingga akan pecah.

“Ada apa ini?” suara berat seorang pria berhasil membuat suasana disana mendadak hening.

Bagi mereka yang sudah bekerja disana tahu betul siapa pemilik suara berat itu. Tatapan mata mereka seketika berubah ngeri melihat pria itu yang kian berjalan mendekat dengan ketenangan yang luar biasa. Cekalan kedua satpam yang memegangi Lionara tadi melonggar, dan itu sedikit memberi kelegaan bagi Lionara.

“Tuan Jordan,” kedua satpam itu seketika mendundukkan kepala memberikan hormat

“Ada apa?” sekali lagi Jordan bertanya

“Gadis ini bersikeras ingin bertemu dengan anda. Katanya anda sendiri yang meminta dirinya datang kesini.” Terang salah satu satpam.

Hening. Jordan melangkah kian mendekat hingga berdiri tepat dihadapan Lionara yang masih menunduk. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

“Benarkah?” ujar Jordan “angkat kepalamu.” titahnya kemudian

Diam sejenak. Tapi perlahan kemudian Lionara mendongak—menatap tepat ke iris tegas milik pria yang menjulang tinggi dihadapannya.

Hening…

Manik mereka bertemu satu sama lain. Seolah waktu berhenti ditempat, ketika tatapan pemilik mata hijau dan mata biru itu saling mengunci untuk beberapa waktu lamanya.

Greeny Eyes…

Terakhir kali yang diingat Jordan adalah ketika dia bertatapan dengan anak perempuan kurus berbalut pakaian pelayan pria di kelab dalam suasana pencahayaan yang minim. Mata hijau itu tidak terlalu kentara, tapi kali ini ia bisa melihat dengan jelas betapa hijaunya manik gadis tersebut. Entah mengapa dalam pandangannya terlihat begitu indah dan sangat mirip dengan seseorang yang sangat dicintainya.

Pandangan Jordan beralih memindai keseluruh penampilan perempuan itu. Tubuhnya mungil dan kurus seperti anak remaja, tetapi ini adalah perempuan yang sudah cukup matang… sepertinya baru berumur awal dua puluhan. Penampilannya tomboy, tetapi entah kenapa proposi bagian-bagian wajahnya tampak begitu sempurna, berpadu dalam tangkupan wajah berbentuk hati dengan dagu lancip yang juga mungil.

Sejenak Jordan terpesona, tetapi dia mengerjapkan mata untuk mengembalikan kesadaran.

“Apakah anda pria pemilik kartu nama itu?” tanya Lionara ragu. Jujur saja saat ini dia tengah menahan napas akan sosok dihadapannya. Lionara tidak menyangka jika pria yang akan menolongnya adalah pria yang menabraknya beberapa hari lalu.

“Hm, rupanya kamu telah mengambil keputusan untuk bertemu denganku” ucapnya datar. Lalu tatapannya beralih pada kedua satpam yang masih memegangi Lionara “lepaskan dia. Aku yang memintanya datang kemari” titahnya kemudian

Tergagap, kedua satpam itu langsung membebaskan tangan Lionara. Keduanya kembali membungkuk malu karna telah melakukan kesalahan—menahan tamu yang dinantikan pemimpin mereka.

“Ikut aku. Kita bicara diruanganku” tanpa menunggu jawaban gadis itu Jordan melangkah pergi dan langsung diikuti oleh Lionara dari belakang.

****

“Jadi kamu bersedia menerima bantuanku?” Jordan bersidekap dada, menatap intens Lionara yang duduk terlihat kakuh di seberang meja.

“Saya tidak punya pilihan lain” sahut Lionara datar “langsung saja, apa yang anda inginkan dari saya untuk membayarkan kerugian yang saya buat?”

Jordan menipiskan bibir. Gadis ini ternyata jenis yang tidak bisa berbasa basi. Datar dan dingin. Sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan apapun padanya seperti yang biasa dilakukan oleh para perempuan lain ketika berhadapan dengannya. Mereka biasanya akan terpesona, tersenyum malu-malu lalu setelahnya dengan mudah menyerahkan diri untuk ditiduri olehnya.

Jordan telah terbiasa dengan penerimaan, terbiasa dengan pemujaan dari semua orang yang ingin mendapatkan perhatiannya. Tapi perempuan di depannya ini sangat berbeda. Padahal jelas-jelas dia yang hendak ditolong olehnya, namun sikap gadis ini sama sekali tidak menunjukkan seseorang yang mengharapkan belas kasihan.

Menarik! Batin Jordan

“Baiklah karna kamu sepertinya sudah siap dengan negosiasi kita, maka aku tidak akan berlama-lama lagi,” Jordan merendahkan tubuhnya, menyatukan kedua jarinya diatas meja—sedang matanya menatap tajam tepat di manik hijau Lionara

“Aku menginginkan seorang anak dari rahimmu.”

Hening, keduanya tidak saling mengeluarkan suara. Jordan masih dengan tatapan tak terbacanya, menelisik Lionara yang masih dalam posisi duduk tenang seakan tak terpengaruh dengan kalimat yang baru saja diucapkannya.

“Bagaimana?” tanya Jordan pada akhirnya, memecah suasana magis yang sempat tercipta diantara keduanya.

“Kenapa harus anak dari rahim saya? Bukankah anda bisa mendapatkannya dari para  perempuan yang memiliki derajat yang sama dengan anda? Saya yakin anda tidak kekurangan perempuan yang seperti itu. sementara saya, sangat jauh dibawah standart anda” Lionara menjeda, lalu menghela napas pelan. Rasanya sangat berat untuk melanjutkan kalimat yang tidak diinginkannya berikutnya, “saya bersedia anda tiduri untuk satu malam, tapi tanpa melibatkan seorang anak.”

Lionara mengucapkannya dalam satu tarikan napas yang begitu tenang. Tapi berkebalikan dengan reaksi tangannya yang mengepal kuat—begitu dingin hingga buku-buku jarinya memutih. Jordan memperhatikan itu. Dalam hati ia menertawakan keberanian perempuan ini, sedang jauh di lubuk hatinya sangat menolak.

“Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang berbeda dan lebih menantang” Jordan mengedikkan bahu santai “aku sedang tidak tertarik meniduri perempuan satu malam. Kali ini aku ingin menyumbangkan benih berkualitas milikku yang selama ini terbuang sia-sia, ke rahim perempuan yang kupilih. Akan sangat menarik rasanya jika nanti aku memiliki versi miniku” terang Jordan begitu santai dengan senyum yang mengembang tanpa dosa.

“Jika demikian anda bisa mencari perempuan lain.” Lionara berujar dingin. Ia segera bangkit berdiri—berbalik menuju pintu keluar dan baru saja tangannya memegang knop pintu, suara berat dibelakangnya berhasil membuat tubuhnya menegang

“Begitu?” Jordan bangkit berdiri, menatap punggung Lionara “ternyata kamu lebih memilih membayar hutangmu yang lumayan banyak itu dan mengorbankan adikmu yang kemungkinan sebentar lagi akan putus sekolah karna administrasi yang menunggak.”

“Anda menyelidikiku?” geram Nara—berbalik menatap dingin Jordan.

“Untuk berjaga-jaga,” sekali lagi Jordan mengucapkannya begitu santai

“Sebenarnya apa yang anda inginkan?!” Lionara menekankan nada suaranya. Sungguh, kembali diingatkan tentang Leon membuatnya frustasi.

“Menikah dan hasilkan anak denganku. That’s it.”

To be continued

IG : @rianitasitumorangg

Terpopuler

Comments

mentari pagi

mentari pagi

dua jempol thor. ..

2021-08-29

0

Ririn Satkwantono

Ririn Satkwantono

nahan nafas baca part ini..huh

2021-03-01

0

Hani Selly Permatasari

Hani Selly Permatasari

uwooww kereennn ceritanyaaa

2020-12-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!