Chapter 3

”Semua minuman yang kau pecahkan adalah extra old, yang artinya minuman itu telah disimpan sangat lama sehingga memiliki nilai yang sangat tinggi.” Datar, sang manager menjelaskan “dan total harga untuk tiga botol yang kau pecahkan tadi adalah tiga belas juta rupiah!”

“Ti… tiga belas juta?” tercekat, Lionara menelan salivanya susah payah. Kedua tangannya yang terkepal disisi begitu dingin, sedang raut wajahnya berangsur semakin pucat. Lionara tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia sudah menciptakan masalah yang begitu besar dan pastinya telah mengecewakan Camila—sahabat yang merekomendasikannya bekerja disini.

Tuhan… kenapa jadi begini?

“Jadi bagaimana?” tanya sang Manager, memecah keheningan yang beberapa saat membentang “apa kau bisa membayarnya sekarang juga?”

Pelan, Lionara mengangkat wajahnya yang tertunduk “Kalau sekarang saya tidak bisa membayarnya. Bisakah anda memberi saya keringanan dengan cara mencicilnya dari gaji saya?” tanya Lionara ragu-ragu

“Apakah menurutmu setelah kejadian ini saya masih berkeinginan mempekerjakanmu?” sarkas sang manager mengangkat alis

Terdiam. Lionara tidak mampu menjawab. kepalanya kembali tertunduk menatap sepatu usangnya yang sedikit robek dibagian mata kaki

“Begini saja, saya punya alternatif lain agar kau terbebas dengan mudah dari masalah ini” ucap sang manager ditengah keheningan mereka kembali. Sedang Lionara yang mendengar itu, langsung menegakkan kepala menatap sang manager

“Alternatif?” ulang Nara

“Hm, sebenarnya minuman-minuman itu sudah akan dibayar lunas oleh seseorang. Dia tadi melihatmu memecahkan botol dan bersedia membayarkannya asal kau bersedia menuruti keinginannya. Bagaimana?”

Lionara mematung. Otaknya masih sibuk mencerna tawaran ambigu seseorang yang disebutkan oleh sang manager.

“Keinginan seperti apa maksudnya?” tanya Lionara tanpa berbasa-basi. Firasatnya sudah mulai tidak enak dengan alternatif yang ditujukan untuknya ini.

“Mengenai hal itu kau bisa menayakan langsung padanya.” Sang manager mengulurkan kartu

nama ke hadapan Lionara yang dengan ragu diambil gadis itu “itu kartu namanya. Kau bisa mendatanginya kesana”

Lionara menatap sejenak kartu nama itu. Keningnya berkerut saat membaca nama perusahaan

yang  tampak tidak asing itu. Tidak mau berpikir terlalu lama, Lionara memilih mendongak menatap sang manager kembali.

“Tiga hari. Aku memberimu waktu untuk melunasi kerugian yang kau buat. Entah dengan cara yang mana kau pilih, aku hanya menginginkan uang itu sudah ada dalam waktu terebut” tegas sang manger terlihat tidak ingin dibantah.

****

Pukul empat dini hari, ketika semua karyawan masih sibuk bekerja, Lionara telah keluar dari kelab dengan seragam yang sudah berganti. Sisa pekerjaannya hari itu tidak diteruskan mengingat sang manager langsung yang memecat dan menyuruhnya agar segera kembali pulang. Lionara berdiri di depan kelab dan menatap sendu

tempat itu untuk yang terakhir kalinya. Hanya tepat  satu bulan dia bekerja ditempat ini dan kini semuanya berakhir. Gaji yang didapatnya saat bekerja disini sangat lumayan dari keseluruhan pekerjaan yang selama ini dilakukannya. Kemana lagi ia akan mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhan dan sekolahnya Leon.

“Nara!” Camila, sahabat karib Lionara tiba-tiba muncul dengan nafas yang terengah akibat berlari.

Lionara mendongakkan kepala, dan langsung memasang senyum kecil melihat Camila yang kini berdiri tepat dihadapannya tengah mengatur napas.

“Kenapa jam segini kau sudah keluar?” tanya Lionara sekedar basah basi. Ia yakin sahabatnya ini pasti sudah mengetahui masalah yang menimpahnya.

“Kau dipecat?” Camila mengabaikan ucapan Lionara barusan.

“Ya begitulah. Aku melakukan kesalahan fatal,”

“Tapi itu tidak sepenuhnya kesalahanmu!”

“Tetap saja itu salahku. Aku yang tidak berhati-hati,”

“Nara…” erang Camila. Ia menyentuh kedua pundak Lionara dengan raut sedih “lalu bagaimana dengan kerugiannya?”

“Tiga belas juta. Dalam tiga hari Pak manager memintaku sudah harus melunasinya”

“What?! Dalam tiga hari katanya?” pekik Camila melebarkan mata geram “apa dia pikir mendapatkan uang sebesar  itu mudah, hah?”

Lionara mengangkat bahu santai. Ia mengulum senyum—sedikit terhibur dengan tingkah lucu Camila.

“Nara, aku yakin kau tidak akan bisa memiliki uang sebanyak itu, bukan?”

“Memang tidak. Tapi aku akan berusaha mencarinya,”

“Tidak perlu.” Potong Camila cepat “aku punya tabungan dirumah. Untuk sementara kau bisa memakainya—menunggu kau mendapatkannya. Iya itu saja. Karna mustahil bagimu bisa mendapatkan uang sebanyak itu, ditambah lagi sekarang kau sudah dipecat” lanjut Camila memberi saran seraya tanpa sadar mengigiti jari kukunya—kebiasaan yang selalu dilakukannya ketika sedang terdesak.

Lionara menatap lekat raut sahabatnya, lalu tersenyum tipis disana. Camila, adalah sosok yang selalu menolong dirinya dalam kesulitan apapun. Gadis ini seperti malaikat yang datang untuk membantunya tanpa pernah meminta balasan apapun. Bertahun-tahun lamanya mereka sudah menjadi sahabat dekat sejak dirinya menginjakkan kaki

pertama kali di daerah kumuh tempat tinggal mereka. Awalnya Lionara begitu dingin

memperlakukannya, mengabaikan—menganggap Camila seperti tidak ada. Namun sikap riang dan pantang menyerah Camila yang selalu mengekorinya kemanapun, bahkan saat bekerja memungut barang-barang bekas, membantu dan mengajaknya berbicara panjang lebar dengan ekspresi yang dibuat selucu mungkin, berhasil meruntuhkan sedikit demi sedikit sikap dingin Lionara padanya.

Camila adalah gadis yang manis. Dia memiliki mata bulat yang cantik, bentuk tubuh yang proporsional, hidung mancung, kulit kecoklatan dan rambut panjang bergelombang yang hitam legam, serta jangan lupakan lesung pipi yang membuat Camila semakin terlihat manis jika tersenyum. Tidak jauh seperti dirinya, Camila juga hidup

sebatang kara. Awalnya dia tinggal di panti asuhan namun beranjak remaja dia kabur dari sana karna mendapat kabar bahwa dirinya akan diserahkan pada pria tua sebagai jaminan agar panti asuhan tempatnya berada tidak ditutup. Camila remaja hendak dijadikan pemuas nafsu oleh linta darat tersebut.

“Terimakasih untuk kebaikan hatimu, tapi aku sama sekali tidak bisa menerimanya” ujar Lionara setelah selesai dengan nostalgianya. “aku tahu selama ini kau mengumpulkan uang itu untuk melakukan perjalanan, mencari keberadaan ayahmu yang kau yakini masih hidup. Dan aku tidak bisa mengambilnya”

“Tapi Nara, hal itu bisa menunggu. Kau yang paling membutuhkannya—“

“Aku bisa mendapatkannya” potong Nara tegas. Ia bergerak semakin dekat lalu memeluk tubuh Camila erat “Jangan kahwatir, aku bisa mengatasinya. Dan terimakasih untuk semuanya, Cal. Maaf telah mengecewakanmu” lirih Lionara diujung kalimatnya bersamaan dengan setetes bening yang keluar dari sudut matanya.

Lioara semakin mengencangkan pelukannya saat dirasa Camila hendak melepaskan. Ia tidak

ingin Camila melihat air matanya sekarang. Sudah cukup gadis ini terbebani dengan kehidupannya yang menyedihkan.

Camila menghela napas pasrah. Tahu bahwa ucapan sahabat yang dikasihinya ini tidak bisa terbantahkan lagi. Camila membalas pelukan Lionara dengan sama eratnya.

“Baiklah, aku percaya padamu. Tapi berjanjilah, jika kau tidak mendapatkannya, segera datang padaku, hm?” Camila mengusap-usap punggung ringkih Lionara

Tidak ada suara yang keluar, melainkan hanya anggukan pelan dari Lionara tanpa melepaskan pelukannya. Sekali lagi, ia merasakan sangat rapuh dan lelah luar biasa. Dia butuh pelukan ini. Pelukan yang setidaknya bisa menenangkan kegundahan hatinya, walau hanya sementara.

****

“Percayalah, terkadang aku malu mengakui sahabat kurang waras seperti kalian di depan umum.” decih Aldrich, memandang ngeri pose konyol mereka ketika remaja dulu.

“Ew, entah kenapa kata-katamu terdengar begitu manis sekali di telingaku” timpal Evan mendramatisir

“Ugh---ohh bukankah disitu kita terlihat sangat keren sekali?” Jordan menelengkan kepalanya, memperhatikan lekat bingkai foto mereka yang berada diatas meja kerja, lalu menyeringai “ditambah lagi tubuh kurus kerempeng si Evan yang semakin menyempur—“

“Sialan, kau mau mati, hah?!” teriak Evan ganas, seketika bangkit berdiri dari duduknya karna tidak terima pengejekan yang nyata-nyata itu. Alhasil langsung disambut gelak tawa membahana dari keduanya sambil bertos ria.

Sadar kedua sahabat tidak tahu dirinya itu bersekongkol meledeknya, dengan ganas Evan berlari mengejar Aldrich dan Jordan yang sudah lebih dahulu berlari menjauh darinya. Ketiga pria dewasa yang berjiwa kekanak-kanakan itu saling kejar mengejar dalam ruangan yang seharusnya dijadikan tempat untuk bekerja kini malah terlihat seperti arena taman bermain bagi ketiganya. Ruangan yang tadinya sangat rapih itu kini berangsur berantakan akibat aksi kejar-mengejar mereka, dan tak luput dibarengi dengan aksi saling melempar hingga membuat beberapa dokumen

berhamburan di lantai. Kini, ruang kerja Evan tampak kacau balau seperti diterjang badai tornado.

“Sial, lihat apa yang sudah kalian lakukan pada ruanganku,” gerutu Evan, memandang

ngeri keseluruh sudut ruangannya sendiri. Napasnya masih terengah ketika kini ketiganya duduk menyandar di sofa.

“Unik, bukan?” kekeh Aldrich “ini baru yang dinamakan seni.”

“Seni kepalamu!” Evan menoyor kepala Aldrich “ruanganku hancur berantakan! Lagipula kalian datang kesini memang sengaja untuk mengangguku bekerja, kan?”

“Kau ini cerewet sekali. Apa gunanya OB yang kau pekerjakan jika tidak untuk

menyelesaikan hal yang remeh teme begini” timpal Jordan enteng sembari mengambil bantal kotak disisinya dan melemparkannya ke wajah Evan

“****!” umpat Evan saat bantal itu mengenai wajahnya cukup kencang. Sedang Aldrich yang hendak membalas menoyor Evan kembali, dibuat menyeringai senang karna pembalasan itu sudah diwakili oleh Jordan

“Thanks, Dude,” ucap Aldrich puas

Jordan mengangkat bahu acuh. Ia menyugar rambutnya yang sedikit basah kebelakang akibat berlarian tadi.

“To the point saja, aku tahu kedatangan kalian kesini pasti memiliki maksud tertentu,” dengus Evan, matanya menyipit memandang curiga

“Tidak perlu menatapku dengan mata jelekmu itu,” decak Aldrich “bukan aku. Tapi dia

yang ingin  bantuanmu.” Aldrich mengedikkan dagu ke arah Jordan

“Jordan?” Evan melebarkan mata menatap tidak percaya pada Jordan yang tampak tidak terusik dengan keterkejutannya. Diantara mereka bertiga, Jordan lah yang hampir tidak pernah  meminta bantuan pada mereka

maupun pada siapapun itu. Jordan adalah jenis lelaki yang selalu tampak begitu santai, ramah namun tidak pernah tertarik mencampuri urusan orang lain. Dia lelaki yang berjiwa bebas, tidak suka terikat dan diatur. Jordan memang senang bercanda dan menjahili sahabat-sahabatnya. Tapi siapa sangka dibalik wajah Jordan yang begitu

rupawan dan diatas rata-rata tersebut, tersimpan sisi gelap nan mengerikan jika seandainya sisi itu dibangunkan dari tidur lelapnya. Dan hal itu hanya diketahui oleh Evan dan Aldrich. Sebagai sahabat, mereka sebisa mungkin tidak membiarkan sisi gelap Jordan terbangun—karna hal itu akan sangat mengerikan.

Evan berdehem, menegakkan punggungnya kembali setelah tersadar dari lamunan panjangnya.

“Katakan, apa maksudmu itu?” tanya Evan pada akhirnya

Jordan mengangkat alis, sedikit curiga dengan Evan yang tadinya begitu cerewet tiba-tiba berubah

serius. Tapi ia memutuskan mengabaikan.

“Aku ingin kau melakukan sedikit hal kecil pada pemilik kelab yang biasa kita kunjungi. Aku tahu pemiliknya adalah kenalanmu” Jordan berucap misterius

“Apa itu?” tanya Evan begitu penasaran

“Semalam ada seorang pelayan perempuan kelab memecahkan botol minuman yang bernilai

tinggi. Perempuan itu ketakutan dan aku yakin dia tidak bisa membayar kerugian tersebut. Jadi aku memutuskan mengambil alih kerugian tersebut dengan melibatkan namamu.”

“Kenapa?” Evan menyipit curiga. “sepanjang kami mengenalmu, kau tidak pernah tertarik mencampuri

urusan orang lain. Apalagi ini menyangkut perempuan. Biasanya kau paling anti berurusan dengan mahluk lemah seperti mereka, kecuali pada satu perempuan. Ibumu.”

Evan berucap pelan-pelan, sebisa mungkin tidak membuat Jordan menggelap dengan mengusik wanita kesayangannya itu.

Jordan tersenyum miring, matanya berkilat membayangkan sosok itu…

“Perempuan itu… memiliki mata hijau yang menenangkan dan rupanya sedikit mengingatkanku dengan ibuku pada masa mudanya.”

To be continued

IG: @rianitasitumorangg

Terpopuler

Comments

Biduri Aura

Biduri Aura

aku suka cerita yg kyak gini 🥰🥰🥰

2022-12-19

0

Bunda ArSyi

Bunda ArSyi

Nara 😭😭
jgn2 Nara keluarga ibunya Jordan thor 😁😁

2020-12-17

1

Nova Yuliati

Nova Yuliati

akhirnya up juga setelah sekian lama....😂😂😂😂

2020-12-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!