Jordan melangkah ke dalam klub dengan langkah yang begitu santai. Ia segera menuju salah satu ruang VVIP yang disebutkan Evan saat dihubungi tadi. Begitu menemukan ruangan itu ia langsung membuka tanpa mengetuk.
Seorang wanita penghibur yang Jordan tahu bernama Lana menoleh padanya dan seketika pandangannya berbinar melihat Jordan.
“Jo!!” Lana hendak bergelayut ke arahnya tapi Jordan menghindar ke samping sehingga wanita itu jatuh terjerembab di lantai.
“Maaf, Lana,” ucap Jordan datar, “moodku sedang tidak baik sekarang.” Sambungnya lalu tanpa perasaan ia segera duduk di single sofa dengan kaki bersilang angkuh.
Dengan mulut yang komat kamit tanpa suara, Lana bangkit tertatih. Beberapa temannya yang ada di dalam ruangan tertawa mengejek.
“Ughh…pasti itu sangat menyakitkan” Evan meringis dengan mimik yang dibuat-buat, sedang disebelah kanan kirinya terdapat wanita seksi tengah bergelayut ditubuhnya.
“Al! jangan sampai kau berprilaku menyebelkan seperti Jordan juga jika sedang kesal dari luar sana!” Lana masuk keruangan lagi dengan menggerutu dan langsung duduk di sebelah Aldrich yang tengah menyesap vodka, sama sekali tampak tidak terganggu.
“Jangan salah, Aldrich justru yang lebih berbahaya jika sedang kesal. Bisa-bisa kau dibuat tidak bisa bekerja disini lagi,” koreksi Evan ikut tertawa.
Aldrich memutar bola mata malas. “Keluar kalian semua! Tinggalkan kami bertiga disini.” Aldrich menyandarkan tubuhnya setelah mengusir para wanita itu.
“Kami baru saja bertemu kalian setelah beberapa minggu kalian tidak kemari!” semua wanita yang berjumlah lima orang itu mulai ribut memprotes.
Aldrich menghela napas dan mengalihkan pandangan pada Evan—si maniak yang tidak bisa jauh-jauh dari para wanita sexy itu.
“Evan!!”
“Ck, kau ini merusak kesenanganku saja.” decih Evan sinis “Sudah. Sudah. Kalian
turuti saja.” Evan mengeluarkan berlembar-lembar uang seratus ribuan membayar tip wanita-wanita itu. Mereka langsung menerimanya dan keluar ruangan berbondong-bondong. Beberapa diantaranya menjulurkan lidah pada Aldrich.
“Apa kau ingin bernyanyi?” Evan menyodorkan mic pada Jordan yang sejak tadi hanya diam “Siapa tahu dengan satu lagu membuat suasana hatimu kembali stabil,”
Jordan masih diam tidak menanggapi, memilih menyalahkan rokok lalu mulai mengisapnya.
“Hal apa yang berhasil membuat wajahmu seperti kanebo kering begitu?” kali ini Aldrich yang bertanya.
“Terlihat jelas?” Jordan terlihat menutup matanya, menikmati hisapannya.
“Ck, kan kau sendiri tadi yang mengatakannya bodoh,” rutuk Evan gemas
“Oh”
“Memangnya ada apa?” Evan bertanya penasaran. Pasalnya temannya yang satu ini sangat
jarang menunjukkan suasana hatinya yang tidak baik. Diantara mereka bertiga, hanya Jordan lah yang selalu tampak tenang, dan jangan lupakan sikap menyebalkannya itu yang suka membuat orang lain naik darah.
Jordan menghela napas, mematikan rokoknya lalu menaikkan kedua kaki ke atas meja dengan kedua tangan yang bertopangkan kepala pada sandaran sofa.
“Pak tua itu berulah lagi” pelan, Jordan menjawab
“Om Josep?” tebak Aldrich
“Tentu saja. Memang siapa lagi yang selalu dia sebut Pak tua selain ayahnya sendiri!” gereget Evan
“Kali ini apa?” tanya Aldirch lagi, tanpa menghiraukan ucapan Evan
“Dia memajukan jadwal pertunanganku dengan Yael menjadi bulan depan”
“Lalu apa masalahnya?” Evan mengerut dahi “bukankah hubunganmu dengan gadis itu baik? Ditambah lagi Yael adalah model cantik dan terseksi yang lagi naik daun,”
Aldrich menoyor kepala Evan. “Aiisshh… sakit sialan!” decak Evan, mengelus-elus
kepalanya yang kena jitak.
“Otakmu ini memang tidak pernah jauh-jauh dari wanita seksi!” sekali lagi, Aldrich
mendorong dahi Evan dengan telunjuknya
“Aku pria normal kalau kau lupa.” ralat Evan “tidak seperti kau, yang sejak dari zigot hanya tertarik dengan Emma, si anak rumahan?! Ck, ck, ck…”
“Itu jauh lebih baik dari pada kau yang murahan!” balas Aldrich sengit
“Oh c'mon dude, Itu sangat nikmat, you know?“
Jordan terkekeh, “Bukankah kita bertiga sama saja?”
“Aku tidak!” tegas Aldrich melotot
“Jadi, apa yang kau lakukan disini?” Jordan menaikkan alis naik turun—sengaja menggoda Aldrich
“Brengsek! Tadi kau yang meneleponku. Sebenarnya aku tidak ingin kemari tapi kau bilang ada sesuatu hal serius yang ingin kau bicarakan” Aldrich menggerutu
Jordan dan Evan tertawa bersamaan. “Sebenarnya kalau kau tidak mau datang pun, tidak masalah. Tapi karna kau sudah bersedia datang, aku menghargai usahamu ini.”
“Yup, benar sekali” sambung Evan. Keduanya saling bersulang sebelum meneguk vodka di gelas mereka kembali. Sedang Aldrich memutar bola mata jengah.
“Jadi, hanya itu masalahmu?” tanya Evan
“Tadi pagi ada juga perempuan yang semakin memperburuk suasana hatiku,”
“Perempuan?” beo Aldrich
“Aku jadi penasaran, perempuan mana yang berhasil membuat seorang Jordan bisa sekesal ini?” Evan menaik turunkan alisnya.
“Well, hanya seorang gadis miskin sombong.” Jordan mengangkat bahu “tadi aku tidak sengaja menabrak sepeda bututnya. Dia mengalami cidera kecil. Dan karna aku sedang butuh pelampiasan, aku memarahinya. Tadinya
kupikir dia akan balik berteriak marah dan minta ganti rugi tapi…”
“Tapi?” Aldrich dan Evan bertanya penasaran
Jordan kembali menyesap vodkanya sejenak, “Dia bangkit terpincang-pincang—minta maaf lalu… pergi begitu saja dengan sepeda bututnya,”
“Hanya itu? dia sama sekali tidak minta ganti rugi?”
“Jika demikian, lalu bagian mana dia membuatmu kesal?” Aldrich mengerut dahi “perempuan itu tidak minta ganti rugi, justru meminta maaf?”
Jordan menghela napas kasar. “Justru karna itu aku kesal. Dia mengabaikanku! Bayangkan saja, jelas-jelas gadis itu miskin, tapi dengan sombongnya dia malah pergi tanpa meminta uangku untuk ganti rugi” Jordan menggerutu kesal
Sementara Aldrich dan Evan hanya diam melongo dan saling berpandangan—menatap Jordan rumit.
“Al, kurasa otaknya ada gangguan. Apa perlu kita membawanya ke psikiater dekat sini?” bisik Evan pada Aldrich
“Kupikir kita harus melakukannya,” sahut Aldrich menyetujui
Jordan menggeram mendengar bisikan mereka yang jelas, “Kalian pikir aku tidak waras, hah?”
“Yes.” Evan mengangguk polos “jika tidak untuk apa kau kesal, sedang gadis itu sama sekali tidak mempermasalahkan perbuatanmu padanya. Tapi kau malah marah tidak jelas.”
“Fix, kami memang harus segera menelepon dokter kejiwaan!” cetus Aldrich
Jordan tertawa sinis, “Kalian mau mati rupanya hari ini ditanganku, eh?”
Setelah mengatakan demikian, secepat kilat Jordan bangkit dan langsung menyerang kedua sahabat konyolnya itu. Mereka bertiga bergelut di tengah sofa bak anak kecil yang memperebutkan mainan—sesekali ketiganya juga tertawa keras.
****
“Kakak, terluka?” tanya Leon saat baru keluar dari kamar setelah menyelesaikan tugas sekolahnya. Matanya membola melihat Lionara yang tengah membalut luka dilutunya dengan kain kasa.
“Ah, i-iya. Tadi kakak kurang fokus, jadi tidak sengaja nabrak tembok terus jatuh deh,” ringis Lionara seraya memasang senyum kakuh
“Jadi bagaimana, apa kakak tetap pergi kerja dengan kaki sakit begitu?” Leon memandang kahwatir pada lutut Lionara.
“Tenang saja, ini sudah tidak sakit lagi.” Lionara berdiri lalu menghentak-hentakkan kakinya bersemangat dilantai "See? Tidak apa-apa, kan?” tunjuk Lionara tersenyum lebar, tapi dalam hati sebenarnya meringis menahan sakit.
“Tapi kak—“
“Tidak ada tapi-tapian. Sudah, kakak tidak kenapa-napa.” Nara mengelus rambut halus Leon sayang “kakak harus berangkat kerja sekarang. Kamu hati-hati dirumah ya,” pesan Nara sambil mengecup puncak kepala Leon lama
“Iya, kakak juga hati-hati kerja disana,” balas Leon, memeluk erat pinggang kakaknya
“Pasti, sayang-nya kakak”
Setelah memastikan adiknya tidak kahwatir lagi, Lionara pun segera berangkat ke lokasi tempat kerjanya yang kedua—di sebuah kelab. Tak ada kesempatan baginya untuk beristirahat, tadi dia hanya pulang untuk mengganti pakaian dan mengganti perban luka pada lututnya, lalu harus berangkat lagi menjalankan kerja shift malamnya yang lain.
Lionara sudah terbiasa bekerja keras, membanting tulang, berjuang dengan kekuatannya sendiri untuk mencukupi kebutuhannya dan sang adik yang masih bersekolah. Tumbuh berdua tanpa kedua orangtua di sebuah rumah reyot di pemukiman kumuh kota tempat dia mencari rejeki saat ini. Hidupnya sangat keras dan penuh perjuangan, dia harus belajar berbagi dan menahan keinginan hati, juga tidak pernah merasakan memiliki barang baru yang dibeli untuk dirinya sendiri. Karna semua gaji yang ia dapatkan digunakan untuk biaya makan dan sekolah Leon.
Pada siapa lagi dia bergantung kalau bukan pada dirinya sendiri?
Dulu saat masih remaja, Nara merupakan putri dari seorang konglomerat. Ayahnya merupakan seorang Ceo
dari perusahan tambang batubara, sementara ibunya adalah seorang chef terkenal. Namun, suatu ketika kejadian naas menimpah keluarganya. Pesawat jet milik ayahnya mengalami kecelakaan dan dikabarkan seluruh penumpang tewas ditempat. Sontak mendengar kabar kematian ayahnya, Ibunya shock hebat dan berakhir depresi. Lalu tepat sebulan pasca kematian ayahnya, ibunya pun ikut menyusul pergi meninggalkan dunia ini. Tinggallah Lionara dan Leon yang pada waktu itu masih berumur dua tahun, berada dalam pengasuhan paman dan bibinya. Adik dari Ayahnya, yang merupakan kepercayaan orangtuanya.
Enam bulan setelah kematian kedua orangtuanya, watak serakah dari paman dan bibinya mulai muncul.
Mereka memanipulasi semua harta warisan milik Lionara dan Leon—dibalik kepemilikannya menjadi atas nama mereka, dengan memanfaatkan Lionara yang masih polos—menandatangani dokumen yang sama sekali tidak ia mengerti.
Dengan tega, paman dan bibinya mengusir Lionara serta sang adik dari rumah tanpa dibekali sepeser uang. Dan dari sanalah, Lionara yang masih remaja mulai merasakan penderitaan dan lika liku beratnya bertahan hidup. Ditambah lagi dengan merawat adiknya yang masih kecil.
Bertumbuh dewasa di lingkungan pinggiran kota yang kotor dan keras menjadikan pribadi seorang Lionara, yang tadinya sosok periang—berubah menjadi sosok yang tangguh namun dingin.
Sekarang sudah hampir sebelas tahun berlalu sejak ia diusir dari rumahnya sendiri. Tertati-tatih Lionara
menjalankan kehidupannya. Tak jarang jika tubuhnya bisa beristirahat sejenak, kerap kali ia menangis diam-diam. Memanjatkan doanya dalam diam adalah hal yang selama ini ia lakukan, berharap semesta memberinya sedikit kebahagiaan. Sungguh, ia sudah sangat lelah. Ia berada di jurang putus asa, hampir menyerah. Namun sekali lagi, hanya demi Leon, dia berusaha untuk tetap kuat dan tegar.
To be continued
IG: rianitasitumorangg
See youuuu
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Ratna
coba baca
2022-12-04
0
Mardhiyah dhiyah
awal yg menyedihkan ..
2021-08-31
1
syailendra
ceeita ny seru juga
2021-08-29
1