"Bagimana tidurmu?"
Pertanyaan itu yang dilontarkan Rio saat Yasmine masuk ke dalam mobil pria itu. Pagi ini Rio memutuskan untuk mengantar Yasmine berangkat bekerja. Kalau ditanya begitu, Yasmine nyaris kesiangan tadi. Ia tidur sangat larut sampai melupakan fakta kalau hari ini adalah hari pertama ia masuk kerja.
Yasmine menggeleng. "Kau bisa lihat, bajuku belum kusetrika. Masih kusut meskipun tidak terlalu buruk."
Rio terkekeh. Pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. "Kuharap bukan karena pernyataanku kemarin kau jadi begini."
Yasmine menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja," Yasmine menunduk, menatap jari manisnya yang masih terbingkai cincin mungil pemberian Rio.
Tidak mau berpikir lebih panjang dan membuat suasana canggung, Rio mengangguk. "Baiklah. Tapi boleh kukatakan sesuatu tentang pekerjaanmu, Yash?"
Yasmine menoleh. "Ya, tentu!"
"Kau beruntung diterima sebagai Sekretaris Direktur. Dengan jabatan setinggi itu, kau harus bersiap untuk apa saja kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Jangan menyerah. Sesulit apapun masalah yang kau hadapi, kau harus ingat bahwa posisi ini adalah posisi yang paling kau inginkan. Kau sidah bekerja begitu keras untuk mendapatkannya. Kau mengerti?"
Yasmine mengangguk. Mengabaikan fakta kalau bajunya kusut, kalau semangatnya nyaris padam, ia harus tetap maju. Yasmine bahkan belum bertempur. Setidaknya, hanya karena hal-hal kecil yang tidak sebanding dengan usahanya, Yasmine tidak akan pernah mengalah. "Mendengar kata-katamu aku jadi bersemangat, Rio. Terima kasih."
Rio berdecak. "Sepertinya julukan 'kakek', yang kau tujukan untukku memang benar, Yash. Kali ini aku benar-benar merasa sangat tua."
Yasmine terkekeh.
"Ah, kau sudah tahu siapa atasanmu?"
Yasmine menggeleng. "Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya. Mungkin dia pria enam puluh tahunan yang harus kuatur!"
Rio mengernyit. "Kau belum bertemu dengannya? Bukannya kabarnya dia adalah pria berusia akhir dua puluhan?"
Yasmine menggeleng. "Rio. Sejak aku mengikuti wawancara, tes, dan sebagainya aku tidak pernah melihat sang direktur. Lagipula, kau jangan termakan gosip semacam itu. Mana mungkin pemimpin perusahaan masih berusia akhir dua puluhan? Kurasa itu hanya ada di film-film."
Rio menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tapi kabarnya, dia memang masih muda, Yash... Atau aku salah ya..."
"Sudahlah lupakan soal dia. Sekarang katakan padaku, bagaimana dengan seminarmu di Kalimantan? Memang tidak ada orang lain yang bisa dikirim perusahaanmu selain kau ya?"
Rio menggeleng. "Sepertinya hanya aku yang paling kompeten dalam bidang ini," pujinya pada dirinya sendiri yang langsung mendapatkan tinju dari Yasmine. "Tapi ya, kurasa memang aku yang harus ke Kalimantan. Hanya untuk dua minggu. Kau tidak akan merindukanku, kan?"
Yasmine tersenyum. Sudut bibirnya ia paksa ia tarik ke atas. "Aku akan merindukanmu..." kata-kata itu seharusnya terdengar romantis, dan bukannya penuh dengan keraguan seperti ini. Yasmine mengutuk dirinya sendiri.
Mobil Rio berhenti di perempatan jalan raya. Menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. Menunggu para pejalan kaki untuk menyebrang. Rio menggunakan waktu singkat itu untuk menatap Yasmine. "Aku tahu kau akan merindukanku," kata Rio meyakinkan dirinya sendiri.
Meskipun dalam hati ia juga meragukan hal semacam Yasmine akan meneleponnya malam-malam karena didera rasa rindu. Sepertinya mustahil. Lagipula... Ia sadar diri untuk khayalan bodohnya itu.
"Kapan kau berangkat?" tanya Yasmine.
"Lusa. Jadi pastikan besok kau meluangkan untuk kencan makan malam kita. Nanti sepulang bekerja aku akan menjemputmu!"
Yasmine mengangguk. "Pastinya..."
...***...
"Pak, nanti saya kembali ke kantor jam berapa?" sopir Abiyasha, Ronald, pria bertubuh besar dengan kepala plontos itu bertanya dalam mobil ketika Abiyasha yang duduk di kursi penumpang sedang mengecek data statistik perusahaannya dalam laptopnya.
Mereka berdua sedang menuju kantor. Abiyasha mendongak, melihat ke kaca spion tengah memantulkan Ronald yang yang sedang menunggu jawaban. Abiyasha menimbang. "Mm, kau kembali saja nanti jam makan siang. Nanti aku harus ke pabrik untuk meninjau langsung stok barang."
Ronald mengangguk paham. "Baik. Apa saya perlu stand by di kantor sampai jam makan siang?"
"Tidak perlu. Kau pulang saja, Ronald!" Abiyasha kembali menunduk untuk mengolah data pada laptopnya. Kemudian teringat sesuatu. "Ah, kudengar minggu depan kau akan menikah."
Dibalik penampilan sangar Ronald, Abiyasha melihat rona malu pada wajah pria yang sudah bekerja selama tiga tahun itu padanya saat Abiyasha mengungkit soal pernikahan. Abiyasha tidak menyangka kalau pria itu akan merespon sedemikian rupa. Tapi hal itu menunjukkan kalau Ronald sangat bahagia. "Hanya acara sederhana, Pak. Hanya mengundang beberapa staf kantor. Saya sendiri tidak mengadakan acara besar-besaran."
Abiyasha mengangguk. "Kemarin aku melihat staf kantor dan beberapa direksi sudah mendapat undangan. Kau juga sudah mengundang Erland. Jadi aku bertanya-tanya kenapa aku belum mendapatkan undangan darimu!"
Ronald berdehem. Suara baritonnya menggema. "Saya tidak punya keberanian mengundang Pak Abi. Mana mungkin saya meminta Pak Abi datang ke pernikahan saya saat saya tahu anda sangat sibuk. Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud lain."
Abiyasha tertawa. Berbeda dari Erland yang serampangan dan cenderung ceplas-ceplos, Ronald jauh lebih pendiam. Pria itu terkesan tertutup pada Abiyasha. Padahal baginya baik Ronald maupun Erland adalah dua sohibnya yang sangat baik. Abiyasha sudah memperingatkan Ronald untuk tidak bersikap terlalu formal seperti Erland. Tapi Ronald tidak pernah bersikap demikian padanya maupun Erland. "Jadi... Kau tidak mengundangku, Ron?"
Ronald merasa bingung. "Eh, maaf. Maksud saya bukan begitu, Pak. Saya hanya tidak mau merepotkan Pak Abi dengan meminta saya datang ke acara kecil saya."
"Kau berlebihan, Ronald!" Abiyasha tertawa. "Aku akan pastikan hadir dan meluangkan waktu untukmu kalau kau mengundangku."
"Benarkah? Saya dan Tiara akan sangat senang kalau Bapak hadir ke acara kami."
Abiyasha tersenyum. "Jadi nama calon istrimu Tiara?"
"Iya, Pak."
"Kau pasti sangat mencintainya, Ronald!"
Ronald mengangguk. "Ya, saya merasa sudah menemukan jiwa saya saat bersamanya. Saya harap Pak Abi juga dapat merasakan hal yang sama."
"Cinta?" Abiyasha berdecih. "Aku tidak percaya hal semacam itu, Ron. Lagipula aku tidak tahu bagaimana caranya mencintai." Papar Abiyasha.
Ronald menggeleng. "Saya yakin Pak Abi pasti akan merasakannya."
"Bagaimana cara mengetahui kalau aku sudah merasakan cinta?"
"Umm, sulit dijelaskan, Pak. Tapi seperti yang saya katakan tadi, bertemu dengan orang yang kita cintai seperti menemukan separuh jiwa yang hilang. Bapak hanya perlu merasakannya dalam hati. Saat bertemu dengannya, Pak Abi hanya akan melihatnya, dan bukan orang lain. Hanya satu pandangan yang tertuju untuknya. Jantung Pak Abi akan berdetak begitu cepat, dan detik itulah dapat dipastikan Pak Abi jatuh cinta," kekeh Ronald.
Abiyasha hanya mengangguk pelan. Tersenyum tipis. "Sepertinya hal itu sulit terjadi padaku," batinnya menjawab.
Mobil bergerak pelan. Mengimbangi kecepatan mobil lain yang juga berkurang karena pemberhentian lalu lintas. Abiyasha membuka kaca mobil penumpangnya, meletakkan laptopnya di kursi penumpang, lalu menghirup oksigen yang masuk melalui kaca mobilnya.
Tanpa sengaja, pandangan Abiyasha menangkap sebuah pemandangan di dalam mobil yang tanpa sengaja berjalan sejajar dengan mobilnya. Dalam mobil tersebut terlihat dua orang sedang saling tertawa. Mereka saling mengumbar candaan.
Abiyasha terpana. Matanya awas menatap seorang wanita yang wajahnya nyaris tidak terlihat karena duduk membelakanginya. Abiyasha memiringkan kepalanya. Menunggu detik demi detik agar wanita itu menoleh padanya. Saat wanita itu berhenti tertawa, ia sedikit memutar kepalanya. Wajah wanita itu tidak benar-benar terlihat jelas.
Tapi Abiyasha tahu ada yang salah dengan hatinya yang tiba-tiba seperti berhenti berdetak saat wanita itu menoleh tanpa sengaja. Menatapnya singkat, tanpa benar-benar menatapnya. Dari samping Abiyasha bisa melihat sedikit wajah wanita itu.
Deg! Deg! Deg!
Abiyasha terpana. Aliran darahnya berpacu begitu cepat. Lampu merah dengan cepat berganti menjadi hijau. Mobil yang ditumpangi wanita tadi berjalan terlebih dahulu meninggalkan mobil Abiyasha yang masih mulai melaju.
Kepala Abiyasha mendadak pening sehingga Abiyasha harus memijat pangkal hidungnya.
Ronald yang menyadari hal itu langsung bertanya. "Pak, anda terlihat pucat. Kenapa?"
Abiyasha mengusap wajahnya. "Aku hanya sedikit pusing."
"Anda mau kita kembali pulang dan istirahat?"
Setelah mengerjapkan matanya berulang kali dan memastikan bahwa ia baik-baik saja, Abiyasha menggeleng. "Aku baik-baik saja. Tapi entah kenapa tiba-tiba hatiku sakit sekali, Ron. Nyaris sesak."
"Bapak punya asma?"
Dan detik itu, Abiyasha sama sekali tidak bicara soal penyakit asma.
...***...
^^^Bab ini kupersembahkan untukmu,^^^
^^^seseorang yang begitu mempercayaiku.^^^
^^^IG : @_yuanitaaw^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments