Setelah puas menangis, aku tetap memeluk ibuku. Keheningan yang ada sepanjang sore ini. Kalau kalian bertanya dimana ayahku ? Kenapa tidak perduli kalau ibuku sakit ? Aku tidak dapat menjawabnya, karena aku malas sekali bertanya pada ayahku. Kenapa tidak datang membesuk ibuku. ? Kenapa tidak pernah tanya ibu sakit apa. ? Ayah hanya datang seminggu sekali karena lebih memilih tinggal dengan istri barunya. Walaupun aku satu kantor dengan ayah tapi kami juga jarang bertemu. Aku juga malas menemuinya. Sore hari aku pulang. Ayah malam sampai pagi. Mungkin itu alibi yang paling tepat kenapa aku dan ayah jarang bertemu.
HP ku berbunyi terdengar tanda panggilan masuk. Aku meraih HP di nakas sebelah ranjang rumah sakit ini. Aku langsung beranjak meninggalkan ibuku melangkah keluar kamar, karena melihat nama panggilan. Kalian tentu dapat menebak dari siapa panggilan masuk di HP ku............... ya dari mas Ravi.
" Assalamualaikum," salam ku pada mas Ravi memulai pembicaraan.
" Waalaikumsalam. Bagaimana keadaan ibu Rin ? " tanya mas Ravi
" Masih tetap mas, tidak ada perubahan."
" Yang sabar ya."
" Iya mas terima kasih banyak atas perhatian mas Ravi."
" Rin.............kalau butuh dana aku bisa bantu semampuku. Arin jangan malu - malu. Aku mengganggap ibumu seperti ibuku."
" Benarkah mas Ravi menganggap ibu seperti ibu mas sendiri ? " tanya ku ragu pada mas Ravi.
" Iya Rin aku bersungguh - sungguh," jawabnya tegas menenangkan perasaanku.
" Mas, ibu kuatir dengan masa depanku. Aku harus bagaimana ?"
" Kuatir apa maksud ibu, Rin," terdengar kepanikan dari suara mas Ravi.
" Mas Ravi..............Apakah boleh aku memperkenalkan mas pada ibuku sebagai pacarku ? Itu yang ibu khawatirkan tentang masa depanku. Arin belum punya pasangan, " dengan penuh harap dan air mataku sudah membasahi kedua pipiku
" Jangan dulu Rin....................Aku belum siap," nada yang sumbang mas Ravi membalas permintaanku.
" Aku mohon mas,................. Mas Ravi mau aku perkenalkan pada ibu," Aku menyandarkan badanku di dinding, menunggu jawaban dari mas Ravi
Tidak ada jawaban dari mas Ravi.......
" Aku mohon mas.....," pintaku lagi. Aku meletakkan dasar - dasar nilai maluku entah dimana. Sehingga aku mampu mengatakan itu semua pada mas Ravi.
Belum ada jawaban dari mas Ravi tapi sambungan telepon tetap aktif. Tidak terasa air mataku jatuh lagi membasahi pipiku yang memang sudah basah.
Hari ini tugas kelenjar lakrimalisku sangat berat. Mulai pagi sampai sore hari ini terus saja harus bekerja lembur, memproduksi air mata . Duxtus kecilku yang malang. Aku sangat menghargai kerja rodi mu yang mengalirkan air mataku ke permukaan bola mataku sampai jatuh di pipiku.
" Mas Ravi tolong.......... Bukankah mas bilang menganggap ibuku seperti ibu mas. Ibuku sedang sakit mas."
Mas Ravi tetap tidak menjawab, hanya tarikan suara yang berat aku dengar dengan jelas.
" Mas.........tolong sekali ini saja, kalau mas mau kita berpisah aku tidak apa - apa. Tapi tolong............ mas mau aku kenalkan pada ibuku," seakan aku ingin berteriak pada mas Ravi, laki - laki yang aku cintai. Memaksanya, membawanya dihadapan ibuku.
" Iya baiklah aku mau, tolong sambungkan pada ibu," jawaban mas Ravi membuat aku senang. Setengah berlari aku menghampiri ibu yang memang sudah terjaga dari tidur beliau ketika ada suara telepon tadi.
" Ibu...... Ini mas Ravi temanku ingin bicara pada ibu, boleh ? tanyaku pada ibu, ketika aku sudah dekat dengan ibu dan duduk di samping beliau. Aku memberikan HP ku dan langsung disambut dengan tangan lemahnya. Menempelkan HP pada daun telinga beliau dengan mata yang berbinar - binar.
Aku merasa perasaan ibu antara terharu dan bahagia, aku dapat melihatnya dengan sangat jelas. Tangan yang satunya memegang HP dan satunya lagi menggenggam tanganku. Aku menganggukkan kepala memberi isyarat pada ibu kalau mas Ravi adalah calon menantunya.
" Assalamualaikum ibu, saya Raviantaka,"
terdengar dengan jelas suara mas Ravi sangat berwibawa dan dengan intonasi yang lembut.
" Maaf ibu......Baru kali ini saya bertegur sapa dengan ibu............. Tolong maafkan saya,"
suara merendah Mas Ravi membuat ibu semakin terharu.
Ibuku sangat gugup dengan keadaan ini. Beliau hanya mampu berkata, " Iyaa........ iya nak."
" Saya masih di luar kota ibu, Insha Allah Minggu ini sudah kembali," sambung mas Ravi lagi, berusaha memperkenalkan diri dan keadaannya.
" Iya tidak apa - apa nak. Tolong jaga Arin untuk ibu ! Tolong ya nak ! Ibu sangat berterima kasih banyak kalau nak Ravi mau menjaga Arin," Ibu berkata dengan memandangku dan mengeraskan pegangan tangannya. Sementara air mata ibu dan air mataku tetap berjatuhan, seperti hujan deras pada bulan Januari. Dipuncak - puncaknya musim hujan.
" Iya ibu saya akan menjaga Arin. Ibu harus sehat ya agar kita bisa bertemu," kalimat - kalimat yang dilontarkan mas Ravi seakan menjadi obat untuk ibuku dalam sakitnya.
Untukku sendiri seakan menjadi gubuk ditengah sawah. Tempat aku beristirahat dalam kerja kerasku selama hari ini. Seakan menjadi batu untuk aku berpijak, saat aku berjalan diatas tanah berlumpur. Seakan menjadi air saat aku sangat dahaga. Mudah - mudahan ini awal yang baik untuk hubunganku dengan mas Ravi.
Aku dan ibuku berpelukan sangat erat. Kembali tangisan diantara kami membuncah dengan kerasnya. Seakan dalam server yang sama aku dan ibuku menangis dengan suara yang keras. Kami seakan lupa kalau kamar sebelah juga sakit karena perasaan yang senang.
Aku bercerita pada ibu tentang hubunganku dengan mas Ravi. Mulai dari awal kami bertemu sampai tujuh tahun kami membina hubungan. Aku bercerita pada ibuku tentang pribadi mas Ravi. Mas Ravi orangnya baik dan pengertian. Yach ............ aku bercerita tentang laki - laki yang aku cintai, seperti apa yang aku inginkan. Rasanya aku juga ingin bercerita pada semua orang kalau aku punya mas Ravi. Mas Ravi yang selama ini menemaniku. Ibuku sangat bahagia mendengarkan ceritaku.
Dua hari setelah mas Ravi memperkenalkan dirinya. Setiap hari mas Ravi menelepon aku dan ibuku. Sekedar bercerita tentang pekerjaannya ataupun menanyakan keadaan ibuku.
Keadaan ibuku sudah membaik. Aku, kakakku dan adikku sangat senang mendengar kabar kalau ibu diperbolehkan untuk pulang.
Kami memang berjaga bergantian. Membagi tugas. Kakakku yang pertama membereskan rumah dan memasak untuk mengirim makanan di rumah sakit. Adikku yang saat itu mempunyai bayi tidak dapat berbuat banyak. Sementara kakak laki - laki ku tidak dapat pulang ke Jawa karena pekerjaannya juga berat.
Setelah dua minggu merawat ibu dan tidak bekerja. Pagi ini aku melakukan aktivitasku seperti semula. Kakak perempuanku pulang ke rumah suaminya yang agak jauh dari rumah kami. Kakak tinggal di kecamatan yang berbeda dengan rumahku. Memakan waktu hampir dua jam perjalanan untuk sampai kerumahnya.
" Bagaimana mbak, ibu sudah sehat," ? tanya Henry menyapaku ketika aku sampai di kantor.
" Iya Alhamdulillah sudah sehat. Sekarang masa pemulihan saja," jawabku sambil tetap memijit keyboard komputer.
" Nanti kalau sudah selesai, mbak cepat pulang ! Kasian ibu sendirian," perintah Henry padaku
" Tidak apa apa kok, ada Jhoji pulang sekolah bisa jaga ibu," aku menolak dengan halus tawaran dari Henry karena tidak enak sudah dua minggu tidak bekerja.
" Tidak apa - apa mbak, aku juga punya ibu. tahu rasanya merawat ibu. Tentang pekerjaan kan ada aku sama Dita, mbak " sambungnya lagi memberi penjelasan.
Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepalaku tanda setuju dengan tawaran Henry pemilik usaha tempat aku bekerja.
Bersambung.....,........
Mohon dukungan, semangat dan like Yach.........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 123 Episodes
Comments