Semalam dan sampai pagi ini Mas Ravi tidak menghubungiku. Aku memakluminya, begitulah cara mas Ravi kalau kami sedang bertengkar atau ada masalah. Dia menghindar dan tidak menghubungiku. Setelah beberapa hari barulah menghubungiku seakan - akan tidak terjadi apa - apa.
Sekarang sudah jam sepuluh pagi. Aku sudah di toko tempat aku bekerja dari jam delapan tadi. Mencatat keluar masuknya barang dan menghitung barang.
Disinilah di tempat aku bekerja. Aku bertemu dengan Mas Ravi. Kantor Mas Ravi selalu membeli ATK di toko tempatku bekerja. Karena pembelian yang selalu banyak, jadi tidak melalui toko tapi langsung ke gudang di tempatku.
Aku ingat Mas Ravi datang ke tempatku. Sopir toko yang biasa mengantar barang ke kantor mas Ravi sakit. Mas Ravi tidak bisa menunggu lama dengan ATK yang dia pesan. Dia langsung mendatangi kami.
" Mbak barangnya sudah ready?" tanyanya waktu itu.
" Iya mas sudah. Cuma Pak Antok nya sakit jadi agak terlambat. "
" lni masih cari supir pengganti," aku berusaha menjelaskan duduk permasalahannya pada Mas Ravi waktu itu.
" Gak papa, Mbak. Sekalian saya bawa."
" Ini saya juga dari toko bangunan cek barang," Mas Ravi kembali mempertegas pernyataannya.
Dari pertemuan singkat itulah Mas Ravi meminta no HP ku. Komunikasi kami semakin sering. Mas Ravi sering mengirimkan pesan. Sekadar bertanya sudah makan belum ? Jangan angkat barang yang berat - berat karena aku perempuan. Kami sering bertemu sampai sekarang memasuki tujuh tahun kebersamaan kami.
Aku
( Assalamualaikum, Mas sudah sampai Bandung? )
Itulah kalimat yang aku tulis setelah berkali - kali. Mengetik, menghapus, mengetik lagi dan menghapus lagi. Mencari kalimat yang tepat dan topik yang sesuai dengan kondisi tegang antara aku dengan Mas Ravi.
Lama tidak mendapatkan balasan dari Mas Ravi membuat aku berusaha melupakan kalau aku mengirimkannya pesan.
Sampai sore hari pun Mas Ravi tidak menjawab pesanku. Aku hanya berpikir positif, mungkin mas Ravi masih sibuk dengan pekerjaannya.
Di rumah ini aku juga sibuk dengan kesehatan ibuku yang semakin memburuk. Kami memutuskan untuk membawa ibu ke UGD. Selama mas Ravi di luar kota, selama itu juga ibuku menjalani rawat inap di rumah sakit. Menjalani perawatan yang intensif. Ibu sakit maag akut. Begitu diagnosis dokter ketika memberitahukan kepada kami.
Aku
(Assalamualaikum..........)
( Mas ibuku sakit. )
Aku mengirim pesan pada mas Ravi. Sekitar sepuluh menit baru mas Ravi memberi jawaban.
Mas Ravi
( Sakit apa ? )
Aku
(Mag akut, mas. Ibu rawat jalan )
Mas Ravi
( Kamu juga harus banyak istirahat. Jaga pola makan karena menjaga orang sakit juga berat. )
Aku
( Iya Mas terima kasih banyak )
Aku tersenyum dengan balasan Mas Ravi yang sangat mendukungku. Selama ibu di rumah sakit aku izin berkerja. Bersyukur aku, pemilik toko tempat aku bekerja sangat baik. Beliau mengijinkan aku merawat ibu di rumah sakit.
Tanganku masih asik memainkan HP ketika ibu memanggil namaku dengan suara yang tertahan.
" Rin........Rin..........ke sini....."
" Iya Bu, " jawabku berjalan mendekati ibu. Aku duduk di sisi ranjang menghadapkan badanku pada ibu yang berbaring.
Ibu tersenyum dan meraih tanganku.
" Ibu punya empat anak. Ibu berat denganmu, Nak........."
Ibu tidak melanjutkan kata - katanya hanya air mata deras sebagai lanjutannya. Serta merta aku langsung merangkul ibuku, terbawa suasana ikut menangis juga.
" Ibu jangan bilang begitu. Arin sudah besar," terbata - bata dan tetap dalam posisi memeluk ibu. Menangis tanpa suara hanya air mata yang membasahi kedua pipiku.
" Ibu berat Rin........ Kamu yang jaga siapa Ayahmu seperti itu tidak bisa diharapkan. Kakak - kakak dan adikmu sudah menikah ibu tidak khawatir. Kamu yang kuat ya, Nak......," petuah beliau dengan suara lemah.
Aku hanya menangis dengan menggelengkan kepalaku. Berharap tidak terjadi apa - apa dengan ibuku. Jujur aku masih belum siap jika terjadi hal paling buruk sekalipun. Aku belum siap ya Tuhan....... Izinkan aku lebih lama lagi dengan ibuku.
Kembali dengan suara rendah ibu berkata, Carilah suami yang baik, Nak. Rezeki semua ada yang mengatur tapi kalau kita tidak usaha tetap tidak akan datang dengan sendirinya. "
Aku tetap memeluk ibuku dengan menangis sambil membelai rambut ibuku yang sudah jauh dari kata hitam.
" Arin..... kalau kau punya pasangan, Arin akan tegar. Arin mau ya cari pasangan hidup," Ibuku kembali berkata lirih.
"Ibu mohon, Nak. Jangan bekerja terus. Perasaan kasih sayang kita nanti akan dicurahkan ke siapa?" nasihat ibu lagi tetap dengan uraian air mata yang tak kunjung berhenti.
Keluh lidahku. Ingin aku bercerita pada ibu, kalau aku mempunyai teman yang selama ini mengisi hari - hariku selama tujuh tahun. Ingin rasanya aku berkata dengan bangga kepada ibuku. Memperkenalkan Mas Ravi kekasihku. Bercerita kalau Mas Ravi pria yang baik. Tetapi entah kenapa aku lebih memilih diam. Lebih memilih memeluk ibuku dari pada harus bercerita tentang Mas Ravi. Aku tetap memegang janjiku pada Mas Ravi. Tidak mengatakan atau bercerita pada siapapun tentang hubungan kami.
Ibu terus saja menangis tersedu - sedu dan menatap iba padaku. Mungkin ibu merasa kasihan padaku karena keadaanku. Sejujurnya aku juga kasihan pada ibuku. Tentu beliau sangat menderita memikirkan tentang masa depanku yang juga belum bertemu dengan jodoh. Bahkan teman lelaki pun aku tidak punya. Hanya Henry yang akhir-akhir ini sering ke rumah. Itu pun karena Henry kepala gudang di tempatku. Anak pemilik tempat aku bekerja. Usianya sepuluh tahun di bawahku. Ibuku dengan jelas dapat melihat kami hanya berteman saja. Karena itulah ibu tetap cemas dengan keadaanku.
" Rin.......apa kamu kuat menjalani semua sendiri?" kata - kata ibuku seakan menjadi cambuk di hatiku. Pertanyaan yang ternyata membuat aku takut. Jika benar - benar itu terjadi bagaimana dengan diriku? Apa aku benar - benar kuat sendiri tanpa ibu, tanpa suami ?
" Kan ada Jhoji Bu, Arin tidak sendiri," jawabku menenangkan ibuku.
Walau dalam hatiku bergetar. Bibir ini terbata - bata berkata pada ibu. Ibuku dengan jelas dapat melihat aku hanya mengalihkan pembicaraan.
Jhoji adalah keponakan laki - laki ku, anak dari kakak pertamaku. Sekarang kelas lima SD. Jhoji diambil ibuku untuk diasuh sejak usianya 16 bulan, karena keadaan ekonomi kakak pertamaku yang sulit. Aku sudah bercerita tentang kakak perempuanku. Walaupun keadaan kami juga pas - pasan ibu tetap mengambil Jhoji karena kakakku juga mempunyai bayi kembar yang berusia dua bulan.
" Arin, itu lain Nak. Kamu bisa hidup dengan Jhoji tapi tetap kamu harus menikah, harus punya suami. " ibu menangis dengan suara yang terbata - bata.
Aku tidak tega melihatnya. Betapa berdosanya aku yang sudah membuat ibuku menderita karena cemas dengan keadaanku. Alangkah piciknya aku hanya karena sebuah ancaman akan ditinggalkan Mas Ravi. Aku tidak bisa berbuat apa - apa. Aku tidak bisa berkata yang sebenarnya pada ibuku. Dadaku sesak seakan diremas - remas. Sakit sekali. Kasian sekali dengan organ tubuhku yang yang bernama hati. Begitu berat menanggung perdebatan antara bercerita pada ibuku atau tidak. Aku membaringkan badanku di ranjang sempit ini. Tubuhku miring ke kiri, ke arah ibuku sambil tanganku tak bisa melepaskan pelukan pada ibuku. Aku tetap menangis tak bersuara. Ya Tuhan apa yang harus aku lakukan....... bantu aku ya Tuhan.
bersambung........
mohon dukungan, kritik dan sarannya karena masih pemula.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 123 Episodes
Comments