Mas Ravi tersenyum melihat kedatanganku, dan aku balas dengan senyuman yang manis.
" Sudah lama mas ?" sambil meletakkan tas. Aku duduk di kursi yang berhadapan dengan mas Ravi.
" Lumayan," jawabnya dengan melihatku dan tersenyum lagi. "Aku ada perjalanan ke luar kota, ke Bandung mungkin sampai dua Minggu. Aku juga akan pulang sebentar ke rumah ibu". Sambungnya setelah posisi dudukku berhadapan dengannya.
" Kok mendadak sekali mas ?" tanyaku heran karena tidak biasanya tugas mendadak seperti ini.
" Iya ada kunjungan ke kantor pusat. Aku harus menemani manajer."
Hening sejenak. Setelah makanan tiba kami tidak membahas apa - apa karena mas Ravi tidak suka makan dengan mengobrol. Tidak baik katanya.
Mas Ravi adalah lelaki yang sudah tujuh tahun ini menemaniku. Wajahnya seperti laki laki Jawa pada umumnya. Hitam manis dengan tinggi 180 cm, membuatnya semakin terlihat gagah.
Memang aku tidak terlalu mengekspose mas Ravi keteman - temanku atau keluargaku atas permintaan mas Ravi. Aku setuju - setuju saja. Toh lebih baik seperti ini yang penting hubungan kami lancar.
Aku tidak terlalu perduli dengan omongan orang. Memang seusiaku yang sudah memasuki kepala tiga sudah seharusnya aku punya keluarga dan punya anak.
Mas Ravi tidak pernah menyingung masalah pernikahan denganku. Demikian juga aku. Keluh lidahku, setiap kali ingin meminta atau bertanya bagaimana hubungan kami ini. Jujur, sebenarnya aku juga ingin menikah. Ingin punya anak yang lucu - lucu. Tetapi mas Ravi tidak pernah membahas masalah pernikahan denganku. Dia selalu sibuk dengan pekerjaannya. Cita - citanya yang ingin menjadi orang yang sukses.
Setiap kali kami bertemu. Mas Ravi selalu bercerita tentang pekerjaannya........... pekerjaannya...........dan selalu pekerjaannya. Entah kenapa aku selalu menjadi pendengar yang setia untuknya ? Memberikan semangat untuknya. Membantunya menyelesaikan tugas - tugasnya sebagai kepala divisi perencanaan.
Seperti pertemuan hari ini dengannya. Mas Ravi mengatakan akan menemani managernya ke luar kota dan akan mampir ke kota asalnya. Seakan ada celah untukku membahas masalah yang lebih mendalam pada hubungan kami.
" Mas tidak kepingin ngajak aku ?" tanyaku ragu pada mas Ravi
" Aneh kamu Rin, inikan perjalanan dinas bukan traveling," Mas Ravi menjawab dengan terkejut dengan keinginanku
" Mas Ravi kan mau ke rumah ibu mas, aku ingin ikut bertemu ibu mas, boleh ?" setengah mendesak aku pada mas Ravi dan menatap netra hitamnya
Wajah datar mas Ravi langsung memberiku isyarat untuk jawaban yang akan aku dengar. Hatiku langsung menciut. Aku langsung menundukkan wajahku merasa malu dengan apa yang aku tanyakan barusan. Sebuah kata penolakan yang akan aku terima belum terlontar dari mulut mas Ravi. Hatiku sudah teriris terlebih dahulu.
" Jangan dulu Rin, aku belum siap kearah sana,"
" Beri aku waktu Rin........Aku ingin sukses dulu.........Aku ingin berkarir dulu..........". Suara mas Ravi tertahan dan pelan menjawab pertanyaan ku
" Aku ingin punya anak mas. Sama seperti teman-temanku," pintaku bernada sedih. " Aku ingin menikah mas. Sama seperti perempuan lain yang punya suami," kembali dengan nada memelas aku ucapkan kalimat tersebut dan menatap netra mas Ravi.
Tanpa aku sadari, kata - kata itu yang terlontar dari mulutku. Aku juga tidak tahu kenapa keinginan mendalam ku yang seharusnya hanya aku yang tahu. Seharusnya tidak boleh keluar dari mulutku untuk mas Ravi. Ternyata keluar begitu saja. Seperti air yang menjulang tinggi di sumber oasis Padang pasir.
Perasaan ku berkecamuk antara bingung dan lega karena bisa mengutarakan apa yang aku inginkan selama ini.
Entahlah aku tidak tahu. Aku salah atau tidak, menyampaikan keinginanku pada mas Ravi. Tapi, tidak bolehkah aku yang sudah berumur tiga puluh satu ini dan sebentar lagi tiga puluh dua menginginkan suatu pernikahan ? Apalagi pada pasangannya yang sudah lama dalam membina hubungan ?
Tidak terasa air mataku jatuh. Aku takut mas Ravi marah dan meninggalkan aku. Aku sangat mencintai mas Ravi. Karena itulah aku tidak pernah menuntut apa - apa dari mas Ravi. Baik itu materi atau yang lainnya. Aku berpikir kalau aku terlalu banyak menuntut, mas Ravi akan meninggalkan aku dan memilih gadis lain yang lebih segalanya dari aku. Apalah aku yang hanya wanita biasa dibanding teman - teman sekantor mas Ravi yang cantik - cantik.
Aku juga semakin malu dengan perkataan ku pada mas Ravi. Aku mengangkat wajahku menguatkan hatiku menatap mas Ravi. Hanya helaan nafas panjang dan berat yang mas Ravi berikan padaku. Wajahnya tetap datar dan tenang.
Mas Ravi berdiri dari tempat duduk dengan gerakan yang wajar. Seolah tidak mendengar apa yang barusan aku katakan. Seolah - olah tidak terjadi apa - apa. Seolah tidak tahu perasaanku yang bergejolak.
" Aku harus packing sekarang. Besuk pagi - pagi sekali aku berangkat." Mas Ravi tidak memandangku dan berkata dengan suaranya yang datar. Seakan aku tidak ada di depannya.
Aku tidak bisa berkata apa - apa. Hanya tatapan mata yang terus melihatnya, sampai mas Ravi keluar dari cafe ini.
Aku masih duduk terdiam mematung. Berusaha menahan air mataku yang semakin deras. Notif di HP ku berbunyi. Aku melihat ada notif dari M Banking yang menandakan ada uang masuk di rekeningku.
...Tak lama HP ku berbunyi lagi. Ada pesan WA dari mas Ravi. Aku membacanya dengan perasaan kecewa...
..." Aku barusan transfer uang untuk bayar makanan dan uang jajan untukmu selama dua minggu aku keluar kota." ...
...Selalu dengan cara seperti ini mas Ravi mengalihkan pertengkaran kami. Kadang aku sampai menolak pemberiannya. Uang pemberian mas Ravi selalu aku simpan. Aku tidak pernah menyentuh atau memakai uang pemberiannya. Aku merasa uang dari gaji ku sudah cukup untuk hidupku satu bulan. Hidup dengan orang tua dan di kota kecil seperti ini, cukup bagiku dengan uang dua setengah juta....
...Aku mengagumi mas Ravi dia tetap menghormati ku dan menjagaku. Dia selalu berkata akan melakukan semuanya setelah menikah. Itulah yang membuat aku tetap bertahan dengan mas Ravi. Hanya satu yang kurang dari mas Ravi tidak pernah mau membicarakan pernikahan denganku...
Aku memarkirkan sepeda motor matic pemberian mas Ravi di ruang tamuku. Rumahku memang kecil tidak ada garasi. Di rumahku ada dua motor yang satu punya bapak dan punyaku.
Ibu langsung menyambut ku begitu mendengar suara motorku. Wajah sakit beliau terlihat jelas, berusaha berdiri dari duduk beliau.
" Ibuu jangan berdiri nanti tidak kuat. " seruku panik pada ibu.
" Ibu masih kuat kok, ibu nungguin anak ibu. " Tetapi yang dikatakan ibu tidak sesuai dengan keadaan beliau yang pucat pasi.
" Arin sudah datang kok bu, sekarang kan masih jam sebelas malam."
" Iya tapi ibu kuatir nak, Arin kok tumben terlambat sampai malam apa ada lembur?" ibu berusaha untuk berbaring kembali dengan bantuan ku.
" Iya Bu. Arin, lembur ada barang toko yang datang," jawabku gugup karena berbohong.
Ibuku seolah tahu kalau aku membohongi beliau. Begitulah ibuku beliau sangat sabar. Berusaha memahami kami anak - anaknya.
Ibu tidak pernah bertanya padaku apa aku punya pacar atau tidak ? Tapi aku yakin beliau bisa merasakan apa yang aku rasakan. Beliau bisa mengetahui kalau aku punya pacar. Hanya tidak berani bertanya kepadaku karena takut aku tersinggung.
minta dukungan dan like nya.......
sampai ketemu pada bab berikutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 123 Episodes
Comments
Joen Marlina Lengkey
baru mampir dan masih nyimak
2022-01-23
1
TUYUL
waah udah up
semangat
2020-11-17
1