Bab 2

Al langsung lari ke arahnya seperti telah mengenalnya sangat lama, yang langsung diangkatnya tinggi-tinggi membuat keponakanku itu tertawa. Dia kini menatapku masih dengan senyum lebar di wajahnya, sebelah tangannya menggendong Al dengan sangat enteng, padahal dia cukup berat untuk ukuran anak umur 2 tahun.

“Genki desu ka?” (apa kabar teman?)

“Baik,” jawabku sambil mengalihkan pandangan dan kembali melanjutkan makanku.

Berbeda pada saat kami hanya berbalas email selama ini, melihatnya kembali membuat perasaanku campur aduk antara bahagia dan kekecewaan yang kembali muncul, tapi yang pasti apapun itu melihat dan mendengar suaranya masih memiliki efek yang kuat terhadap jantungku.

“Kamu belum berubah sama sekali,” ucapnya sambil duduk di sofa dengan Al di pangkuannya.

“Masih tetap jelek ya, Mas.”

“Hahaha…” Dia tertawa mendengar ucapan Dirga yang langsung mendapat delikan dariku.

“Masih galak juga.”

Aku kini mendelik padanya setelah mendengar apa yang dia ucapkan membuatnya kembali tertawa.

“Kamu pasti belum makankan? Ayo makan sekalian, Ibu masak banyak tadi.”

“Gampang, Bu, tar saja.”

“Tar kapan? Kamu pasti sibuk berlatihkan.”

“Makan dulu, Yud, Al biar sama Teteh.”

“Teteh sudah makannya?”

“Sudah, ibu-ibu yang punya anak kecil kalau makan kaya gak dikunyah, harus ngebut kalau gak gitu gak bakalan sempet makan.”

“Hahaha emak-emak memang jagoan.”

Aku mengerutkan keningku melihat kedekatan semua keluarga Kak Dimas yang aku kira baru bertemu sekarang tapi ternyata mereka cukup dekat.

“Bagaimana Jepang? Senang tinggal di sana?” dia bertanya sambil mulai makan.

“Lumayan,” jawabku singkat membuatnya mengangguk mengerti.

Aku tak tahu kenapa aku bisa sejutek itu kepadanya, satu sisi aku merasa bersalah tapi sisi lain aku juga belum siap kalau harus kembali ramah padanya seperti dulu walaupun aku telah setuju untuk berteman dengannya tapi tetap saja hatiku masih terluka mengingat masa lalu.

“Menyenangkan juga percuma, tetap jomblo dia,” ucap Dirga sambil tertawa.

“Kata siapa jomblo? Enak saja!” Aku menjawab dengan cukup kencang membuat semua keluargaku menatapku, berbeda dengan sang Letnan yang terlihat santai dengan makanannya. Aku juga heran kenapa aku berbicara seperti itu, seolah-olah tengah membuktikan padanya kalau aku telah melupakannya.

“Kamu punya pacar di Jepang?” tanya Kak Dimas sambil menatapku.

“Iya,” jawabku yakin.

“Orang Jepang?” tanya Ibu terkejut.

“Bukan, orang Indonesia tapi Ayahnya tugas di sana jadi dia ikut ke sana.”

Tiba-tiba semua terdiam membuat ruangan menjadi hening, yang terdengar hanya suara TV dan rengekan Al yang sepertinya sudah ngantuk, membuat Teh Wulan langsung membawanya ke kamar mereka.

“Ibu bisa tenang sekarang karena pacarnya Kekey bukan orang Jepang, jadi Ibu tak perlu belajar bahasa Jepang dari Doraemon.”

“Hahaha, Mas Yudha bener tuh, Bu… tenang saja pacarnya Kak Kekey berarti bukan Nobita.”

“Tapi Suneo,” lanjut sang Letnan membuat semua orang tertawa, mendengar itu aku langsung cemberut, untung saja ponselku berbunyi dan ku lihat yang menghubungiku adalah Rey temanku di Jepang yang tadi ku ceritakan.

“Lihat nih! Dia telpon!” aku berdiri dengan penuh kemenangan meninggalkan mereka semua untuk masuk ke dalam kamar dan menerima panggilan itu.

“Halo.”

“Hei, gimana rasanya pulang ke rumah?”

“Menyenangkan dan menyebalkan.”

“Hahaha, kenapa menyebalkan?”

“Hehehe biasa mereka selalu menggodaku.”

“Oh hahaha, mungkin mereka kangen sama kamu.”

“Iya.”

Rey kini sedang bercerita tentang kegiatannya hari ini dan aku seperti biasa jadi pendengar yang baik setiap kali dia menghubungiku ataupun bertemu, sedangkan di luar kamar terdengar tawa dari sang Letnan, Dirga, Ayah dan Kak Dimas yang sedang menggoda Ibu karena gak jadi dapat menantu orang Jepang, membuatku ingin bergabung dengan mereka.

Biar kuceritakan sedikit tentang Rey Wiryawan, dia adalah putra Dubes RI di Jepang dan sudah 4 tahun tinggal di sana bersama keluarganya. Secara fisik dia ya lumayanlah (menurutku masih jauh di bawah sang Letnan) hanya saja penampilan yang modis dan up to date membuatnya jadi menarik, berbeda sekali dengan pria-pria yang selama ini berada di sekelilingku yang terlihat cuek dalam penampilan dan lebih menyatu dengan alam, dia lebih suka nongkrong di café dan mall bersama teman-temannya yang memang dari kalangan atas.

Memang berbeda dengan typeku selama ini, tapi dia juga sangat baik, dia tahu bagaimana menyenangkan seorang perempuan dan bagaimana minta maaf kalau memang dia bersalah. Pernah dia terlambat ketika janjian denganku, dan dia datang dengan satu buket bunga sebagai permintaan maaf membuatku lupa kalau tadi aku sempat kesal. Itulah Rey yang selalu menghiburku disaat ku rindu rumah.

Aku kembali keluar kamar setelah mengakhiri panggilan dengan Rey, ku lihat di ruang tengah hanya ada Ayah dan ibu yang sendang nonton TV, aku terus berjalan ke teras belakang ketika kudengar suara petikan gitar, dan disanalah ku lihat sang Letnan duduk sambil bermain gitar milik Dirga.

“Dimana yang lainya?” aku bertanya setelah sebelumnya membulatkan hati kalau akan memerlakukannya seperti seorang teman, lagian sekarang dia tahu kalau aku sudah memiliki kekasih yang artinya dia juga harus tahu kalau aku sudah bisa melupakannya.

Sang Letnan menatapku sambil tersenyum tanpa menghentikan permainan gitarnya.

“Dirga pergi, Kak Dimas lagi nemenin Kak Wulan nidurin Al.”

Aku mengangguk kemudian duduk di kursi sampingnya, mendengarkan petikan gitarnya yang terdengar merdu sebelum akhirnya berhenti dan sang Letnan menaruh gitarnya di kursi sampingya.

“Kenapa berhenti?” tanyaku heran.

Sebenarnya bukan karena apa-apa aku ingin dia terus bermain gitar tapi lebih karena rasa canggung yang kurasa setelah dia berhenti main gitar membuat jantungku kembali menggila.

“Kan kamu mau cerita.”

“Siapa yang mau cerita?”

“Kamu.”

“Engga, iiih GR.”

“Hahaha… ya udah kalau gitu aku saja yang nanya.”

“Nanya apa?”

“Nanya tentang pacar kamu itu.”

Aku terdiam menatapnya.

“Jadi… apa dia baik sama kamu?”

Aku menatapnya yang juga menatapku, dan jujur saja aku tak bisa menebak apa yang ada dipikirannya saat itu.

“Baik,” jawabku membuatnya mengangguk.

“Dia sayang sama kamu?”

“Sayang.” Aku menjawab tanpa berpikir hanya karena ingin melihat reaksinya, dan ternyata dia tetap terlihat tenang.

“Kamu bahagia?”

“Bahagia.” Aku kembali menjawab sambil menatap matanya langsung seolah ingin memberitahunya kalau aku bisa bahagia berhubungan dengan lelaki lain.

Dia kembali tersenyum sambil mengangguk sebelum kembali bertanya, “Jadi, bagaiman tinggal di Jepang? Suka?”

Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaannya yang berbeda.

“Kenapa tidak bertanya aku suka apa tidak sama dia?”

Dia terdiam beberapa saat kemudian tertawa mendengar pertanyaanku.

“Itu tidak penting.”

“Kenapa tidak penting?”

“Karena yang lebih penting adalah kamu bahagia, dia baik dan sayang sama kamu, kalau kamu mau gak baik atau gak sayang sama dia mah biarin saja yang menderitakan dia bukan kamu.”

Aku diam terkejut mendengar ucapannya, seperti biasa dia memang selalu memberi jawaban yang tak pernah kuduga.

“Kalau aku tidak sayang sama dia berarti aku juga menderita dong karena terpaksa berhubungan sama dia.”

“Kalau kamu tidak sayang sama dia, kamu gak bakalan pacaran sama dia… aku kenal kamu, Key.”

Aku terdiam belum terbiasa mendengarnya memanggilku dengan panggilan yang sama seperti yang lainnya.

“Aku ini teman kamu dan penjaga hatinya kamu, bukan teman dia dan penjaga hatinya dia, jadi yang menjadi urusanku adalah kebahagianmu bukan kebahagiannya orang lain,” lanjutnya membuatku mengingat kalau dia pernah berkata kalau sekarang dia adalah penjaga hatiku untuk memastikan kebahagianku.

“Jadi bagaimana rasanya tinggal di negri orang berbulan-bulan?” dia kembali bertanya membuatku harus mengatur perasaanku yang bercampur aduk untuk beberapa saat sebelum akhirnya menjawabnya.

“Lumayan.”

“Awalnya pasti menyenangkan lihat salju, menikmati suasana yang berbeda, tapi setelah beberapa hari kita mulai kangen rumah, masakan rumah, kita bahkan kangen macet-macetan sama panas juga.”

“Iyaaa, benar banget!”

Aku mulai bercerita panjang lebar tentang pengalamanku di Jepang, dan setiap aku berhenti bercerita dia akan bertanya tentang apa saja yang membuatku kembali bercerita dengan semangat. Itulah sang Letnan yang selalu bisa membuatku bercerita apa saja dan dia akan menjadi pendengar yang baik.

Perlahan dinding kecanggungan yang sebenarnya aku sendiri yang bangun mulai runtuh, aku sendiri juga heran kenapa aku bisa secepat itu membuka diri padanya? Padahal beberapa menit lalu aku masih merasakan kekecewan, walaupun sudah tak semarah dulu.

Mungkin karena perjuangannya selama beberapa bulan ini yang tak pernah menyerah untuk mendekatiku dan benar-benar berperan sebagai teman. Tak adalagi kata-kata romantis atau gombal yang diucapkan, tidak ada lagi kata rindu dan cinta yang terlontar ketika kami jauh, hanya apa kabarmu hari ini? Apa semua baik-baik saja? Dan aku bersyukur untuk itu, karena dengan itu aku bisa kembali manata hati dan belajar untuk membuka diri kepada lelaki lain, walaupun belum sepenuhnya memercayai mereka.

“Kamu sendiri gimana?” aku bertanya, dan aku masih canggung kalau harus memanggilnya dengan sebutan Mas Yudha seperti dulu.

“Aku? baik-baik saja,” jawabnya singkat sambil tersenyum dan kembali mengambil gitar setelah mendengar ceritaku, seolah kisahnya tidak sepenting kisahku yang perlu mendapat perhatian lebih darinya.

“Curang!”

“Hahaha... curang kenapa?”

“Aku tadi ceritain semuanya, kamu enggak… teman itu harus saling terbuka,” ucapku membuatnya menatapku kemudian tersenyum.

“Baiklah, teman, apa yang mau kamu tahu?”

“Bagaiman kabarmu?”

“Baik-baik saja.”

“Tuhkan curang!”

“Hahaha… kamu kan nanya kabar, aku sudah jawab kalau aku baik-baik saja, curangnya dimana?”

“Ya cerita kaya aku tadi dong, aku kan ceritanya kumplit.”

Sang Letnan tertawa kemudian mulai bercerita.

“Aku kan sudah cerita semuanya di email, aku sekarang tugas di Batujajar (Tempat Kopassus di Bandung) jadi kalau mau sih, bisa pulang tiap hari. Tapi Batujajar-Sukajadi itu sama saja kaya ujung ke ujung, jadi aku milih tinggal di mess kalau tak mau tubuhku remuk gara-gara capek di jalan.”

“Pulangnya seminggu sekali?”

“Ya gak juga, kalau libur dan bisa saja baru pulang ke Sukajadi sama ke sini, numpang makan, hehehe.”

Aku tersenyum mendengarnya, dia kembali menatap ke depan sambil memetik gitar melantunkan melodi dari lagu barat tahun 90an, aku sepertinya pernah mendengarnya tapi aku lupa ini lagu siapa.

“Kalau… Widy gimana kabarnya?” aku bertanya dengan ragu, tapi jujur saja aku ingin mengetahui berita soal terbaru tentang dia dan mantan tunangannya itu.

“Widy? Kalau soal dia kamu tanya Kak Dimas saja, kayanya dia yang lebih tahu kabar Widy daripada aku.”

Dia berkata dengan santai, aku tak tahu bagaimana dia bisa sesantai itu seolah tak terpengaruh dengan bahan pembicaraan kami saat ini. Dia kembali asik bermain gitar, dengan lagu yang sama, membuatku penasaran dengan lagu yang sedang dia mainkan.

“Ini lagu siapa?”

“Hehehe… cari tahu sendiri.”

Dia kini menggumamkan nadanya sambil menatap kejauhan kemudian menatapku sambil tersenyum.

“Belum ketebak?”

Aku menggeleng, dia kembali menggumamkan nadanya sambil menatapku dan itu membuat jantungku kembali menggila. Sudah sejak lama aku tak pernah merasakan perasaan seperti ini lagi, ketika debaran memacu desiran darah yang terasa hangat mengisi dada.

“PR kamu, cari lagu apa itu,” ucapnya sambil menaruh gitar kemudian berdiri, sedangkan aku masih duduk berusaha menormalkan kembali debaran dada yang memacu, “Pulang dulu ya,” lanjutnya sambil mengacak-acak rambutku pelan dan pergi meninggalku dengan dadaku yang seolah mau meledak.

“Sudah malam, Yud, nginep saja, besok pagi baru pulangnya.”

Aku mendengar Ayah berbicara ketika sampai di ruang keluarga dimana semua orang kini tengah duduk sambil nonton TV. Aku melihat jam dinding dan ternyata sudah jam 10 malam, aku tak tahu kalau tadi kami ngobrol lumayan lama.

“Gak apa-apa, Yah, jam segini mah masih rame jalanan juga, tak perlu khawatir.”

Sang Letnan memakai jaket perka berwarna hijau armi membuatnya terlihat keren.

“Nanti ke sini lagikan?” tanya Kak Dimas sambil berdiri.

“Kak Dimas pulang ke Semarang kapan?”

“Sabtu.”

Sang Letnan mengangguk mengerti, “Insyaallah sabtu saya ke sini lagi, Kak,” ucap sang Letnan sebelum akhirnya pamit pada semua orang, dan aku dengan gontai berjalan di belakangnya mengantarkannya pulang sampai di teras. Dia menaiki motornya kemudian memakai helm.

“Nanti…” Aku ingin berkata nanti hubungi aku kalau sudah sampai mess, tapi harga diriku seolah mengunci mulutku membuatku hanya tertunduk sambil memainkan kaki-kakiku di atas pekarangan.

“Nanti apa?” tanya sang Letnan sambil duduk di atas motor dan menatapku di balik helmnya, aku hanya menggeleng sebagai jawaban membuatnya terdiam beberapa saat kemudian menyalakan mesin motornya.

“Ya udah, aku pergi dulu… assalamualaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Aku berdiri menatap kepergiannya sampai motornya benar-benar tak terlihat sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah dan langsung masuk kamar. Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur, memikirkan hari ini. Pulang ke Indonesia berkumpul dengan keluargaku adalah sesuatu yang paling aku tunggu-tunggu selama tinggal di luar, tapi jujur saja bertemu dengannya di hari pertama kepulanganku… aku tak pernah membayangkan itu akan terjadi.

Aku pikir kalau kami bertemu mungkin akan canggung mengingat apa yang sebelumnya terjadi tapi tadi benar-benar di luar ekspektasiku. Semua terkesan biasa seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa dengan kami, dan kami hanyalah teman lama yang baru saja bertemu kembali.

Mungkin awalnya aku merasa canggung, tapi melihatnya begitu santai bercengkrama dengan keluargaku, bahkan kami sempat membicarakan tentang pria yang kini dekat denganku, dan melihat caranya memerlakukanku membuatku mulai merasa nyaman dekat dengannya… sebagai teman.

Ya, karena kini dia hanyalah salah satu temanku tak lebih! Cerita masa lalu kami telah berakhir di bukit bintang Yogyakarta saat itu. Walaupun aku sudah tahu cerita yang sebenarnya, dan dia tak salah dalam hal itu, tapi tetap saja hatiku telah hancur. Aku mungkin tak lagi marah, hanya saja… aku kecewa.

Sekarang aku ingin mencoba menulis lembaran baru dengan cerita baru, sedangkan dia… dia akan ada di dalamnya tapi hanya sebagai teman.

Jam menunjukkan pukul 11 lebih ketika ponselku berbunyi.

Aku sudah sampai mess, cuma mau ngasih tahu takut temanku khawatir… selamat malam teman.

Aku mambaca pesan yang masuk kemudian tersenyum, “Selamat malam teman.”

*****

Terpopuler

Comments

sakura🇵🇸

sakura🇵🇸

belum selesai dengan masa lalu mending sendiri dulu aja padahal🤭 menyiksa diri g sih?kasian juga pasangan yg sekarang...kayak jd batu loncatan aja

2025-04-21

0

Dwi Sasi

Dwi Sasi

Hmmm....

2022-11-24

0

Rizkha Nelvida

Rizkha Nelvida

terkadang susah susah gampang Nemu cerita bagus,,terkadang ada yg rekomen terus bc,,karyamu salah satu list kesukaan🤗

2022-04-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!